Lihat ke Halaman Asli

Marcelinus Vito Otniel

Mahasiswa S1 Teknik Informatika di Universitas Kristen Satya Wacana

Buzzeropolis 2024: Menguak Seni Bermain dengan Fakta dalam Labirin Media Sosial Politik

Diperbarui: 21 Januari 2024   11:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Agenda nasional yang monumental negara Indonesia sebentar lagi akan terselenggara. Dengan periode lima tahun sekali, negara ini akan menyelenggarakan pesta demokrasi sesuai dengan peraturan konstitusi. 

Pemilu, pilar demokrasi yang memberikan momentum penting untuk menggantikan kepemimpinan dalam pemerintahan eksekutif dan legislatif. Agenda ini menjadi panggung megah yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk menyuarakan suara mereka. 

Dalam era kemajuan digital yang terus berkembang, media sosial kini menjadi platform yang sangat berpengaruh dalam membentuk opini publik dan membentangkan naratif politik. 

Media sosial adalah wadah yang rapuh dan sering digunakan sebagai sarana penyebaran informasi palsu. Dengan jumlah pengguna aktif yang cukup besar, terutama di Indonesia, para pelaku penyebar hoaks memiliki peluang besar untuk beroperasi.

Pemanfaatan media sosial sebagai instrumen kampanye politik semakin menjadi fenomena yang signifikan. Facebook, Instagram, Youtube, dan TikTok menjadi platform-media yang diandalkan oleh pasangan calon untuk menyampaikan pesan kampanye. 

Namun, kemampuan politisi lokal dalam menggunakan media sosial sebagai alat kampanye bervariasi, dan ini dapat berdampak merugikan bagi sebagian politisi. Bahkan, dalam konteks Pemilu, media sosial kerap menjadi sarana penyebaran kampanye hitam dan pesan negatif. Meskipun tujuan utama dari kampanye politik adalah menyampaikan ide-ide terbaik untuk memenangkan dukungan publik, namun penggunaan media sosial tidak jarang dimanfaatkan untuk tujuan yang kurang positif.

Pengakuan luas terhadap penggunaan buzzer dalam mempromosikan produk melalui media sosial telah menjadi hal umum. Istilah "buzzer" populer di Indonesia, terutama dengan berkembangnya penggunaan media sosial di negara ini. Pemanfaatan media sosial sebagai sarana promosi bisnis dianggap sebagai strategi paling efektif. Fenomena buzzer memiliki potensi besar untuk mempengaruhi hasil dan dinamika kompetisi politik.

Buzzer, terkait erat dengan momen politik, untuk menjadi buzzer kini dapat berasal dari berbagai latar belakang. Seseorang tidak perlu terkenal atau memiliki kreativitas khusus; yang dibutuhkan hanyalah memiliki jumlah pengikut yang signifikan di media sosial, bahkan mencapai satu juta pengikut.

Pekerjaan sebagai buzzer dianggap tidak terlalu sulit karena mereka dapat menghasilkan pendapatan yang besar dengan membuat akun media sosial, mengiklankan produk dan layanan, serta mengatur jadwal mereka sendiri. Dalam domain komunikasi politik, media sosial menawarkan platform dimana para buzzer dapat berinteraksi secara langsung dengan pemilih potensial.

Dalam hal strategi komunikasi, mereka sering memanipulasi media dengan cara menghasilkan disinformasi, membingungkan pembaca, atau melaporkan akun secara massal. 

Kegiatan yang ditujukan untuk mempengaruhi opini publik dan penyerangan serta penggulingan lawan politik yang dilakukan oleh Politisi, Partai Politik, dan Kontraktor Swasta. Buzzer menggunakan strategi yang berbeda untuk meningkatkan pesan mereka. Salah satunya, buzzer, memanfaatkan akun bot secara ekstensif menggunakan otomatisasi mesin dan algoritma media sosial untuk menghasilkan tweet berfrekuensi tinggi dan menjangkau topik yang sedang trend.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline