Lihat ke Halaman Asli

Maratus Sholikhah

mahasiwa semester 5

Riba dalam Ekonomi Islam

Diperbarui: 9 November 2020   20:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

        Ekonomi islam melarang terjadinya praktik riba. Apa itu riba? Riba berasal dari kata ziyadah yang artinya tambahan, secara teknikal riba berarti mengambil harta tambahan dari seseorang yang meminjam sejumlah uang kepada pihak yang meminjami uang, karena si peminjam uang tidak dapat membayar hutang pada waktu yang ditentukan atau karena adanya penambahan masa pembayaran hutang. Riba diharamkan karena akan memberikan beban kepada orang yang sedang mengalami kesulitan sedangkan Islam merupakan ajaran yang tidak memberatkan umatnya. Riba termasuk dalam golongan transaksi terlarang yaitu dalam kategori haram selain zat nya(haram li-ghairihi).

        Dewasa ini hampir seluruh lapisan masyarakat telah melakukan kegiatan perekonomian yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan, salah satunya di dunia perbankan baik konvensional maupun syariah. Namun banyak dari masyarakat yang menyadari bahwa praktik perbankan(konvensional) mengandung unsur riba. Padahal dalam islam sudah dijelaskan larangan riba terdapat dalam QS. Ar-Ruum: 39, QS. An-Nisa’:160-161, QS. Ali Imran:30, QS. Al-Baqarah:278-279

        Transaksi yang umum dilakukan pada yaitu pinjam meminjam, dalam bank konvensional kesepakatan penambahan biaya pembayaran dilakukan sebelum serah terima pinjaman(uang), nasabah harus menyetujui penawaran sejumlah bunga yang harus dibayar diluar uang pokok pinjaman sebagai kompensasi untuk bank tersebut, hal ini disebut sebagai riba. Hal ini dilarang dalam islam karena dapat memberatkan salah satu pihak. Sedangkan pada bank syariah, dalam setiap pembiayaan tidak memberatkan nasabahnya, dan menggunakan sistem bagi hasil yang dilakukan sesuai dengan jumlah nominal uang yang ada bukan berdasarkan dari ketentuan yang diawal sudah ditetapkan besarnya.

         Ekonomi islam menempatkan keadilan untuk semua pelaku bisnis, dalam ekonomi Islam tidak mengenal istilah kreditur maupun debitur melainkan mitra kerja yang sama-sama menanggung resiko dengan rasa tanggung jawab. Ajaran islam melarang riba dan mendorong investasi, hal ini dikarenakan terdapat perbedaan antara riba(membungakan uang) dengan invetasi. Invetasi yaitu kegiatan usaha yang mengandung resiko karena adanya ketidakpastian. Sehingga, perolehan return-nya tidak pasti dan tidak tetap. Berbeda dengan membungakan uang dimana kegiatan  yang kurang mengandung resiko karena perolehan return berupa bunga yang relatif pasti dan tetap. Investasi dapat dilakukan dengan melakukan kerjasama dalam bisnis ekonomi islam yaitu musyarakah dan mudharabah, pihak yang bermitra akan mendapatkan bagi hasil(profit) dan loss sharing bukan mendapatkan bunga. Bagi hasil(profit) dan loss sharing sebagai sistem kerjasama yang mengedepankan keadilan dalam bisnis islam. Hal ini dapat dijadikan solusi alternatif pengganti sistem bunga.

     Dampak riba dalam perekonomian:

1. Sistem ekonomi ribawi menyebabkan krisis ekonomi, yang terjadi sejak tahun 1930 sampai sekarang.

2. Sistem ekonomi ribawi membuat kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia, hal ini ditunjukkan dengan data IMF yang menunjukkan bahwa kesenjangan terjadi sejak tahun 1965 sampai hari ini.

3. Suku bunga menyebabkan pengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya pengangguran. Apabila tingkat suku bunga tinggi maka akan menyebabkan investasi menurun, jika investasi menurun akan menurunkan tingkat produksi dan akan meningkatkan jumlah pengangguran.

4. Teori ekonomi yang membuktikan bahwa suku bunga berpotensi menimbulkan inflasi.

5. Sistem ekonomi ribawi telah menjerumuskan negara-negara berkembang dengan jebakan yang dalam, sehingga membayar bunga saja kesulitan apalagi untuk membayar pokok hutannya.

         Di indonesia pernah terjadi krisis moneter pada tahun 1997 dimana pada saat itu ekonomi Indonesia menalami keterpurukan. Hal ini disebabkan oleh pengelolaan kebijakan moneter yang tidak efektif. Bank tidak dijadikan sebagai lembaga yang membantu pemerintah dan masyarakat justru bank menjadi lemmbaga yang dijadikan alat penjarahan dana pemrintahan dan masyarakat oleh para konglomerat. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang awalnya mencapai rata-rata 7% pertahun turun drastis menjadi 15% pada tahun 1998. akhirnya pemerintah menutup 55 bank mengambil alih 11 bank dan 9 bank lain dibantu untuk rekapitalisasi. Semua bank BUMN dan BPD harus ikut direkapitalisasi. dari 240 bank sebelum terjadi krisis moneter menjadi 73 bank swaswa yang bertahan tanpa bantuan pemerintah. Fakta tersebut menunjukkan perbankan konvensional labil dan tidak tahan menghadapi gejolak moneter yang diwarnai suku bunga yang tinggi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline