Lihat ke Halaman Asli

Mara Nur Asifa

Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Padjadjaran

Mengupas Film Adaptasi "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" dari Novel Karya Eka Kurniawan

Diperbarui: 29 Juni 2024   16:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Seorang pemuda berusia 19 tahun dengan Honda Prima hitamnya siap untuk memenangkan botol bir kosong yang ada di tengah jalan aspal dan ia siap mengalahkan lawannya demi menjadi seorang jawara, ia diteriaki kumpulan pemuda sebayanya yang berjejer di pinggir jalan dengan harapan jagoannya dapat memenangkan balapan motor pada hari itu. 

Pemuda 19 tahun itu bernama Ajo Kawir. 

Dengan itulah film adaptasi dari salah satu novel karya Eka Kurniawan bermula: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas menceritakan kisah yang belum pernah saya temui pada film manapun karena tema yang diangkatnya begitu sensitif dan unik.

Pengadaptasian novel populer menjadi sebuah film merupakan salah satu upaya pengembangan industri kreatif di bidang film yang tentu saja akan berpengaruh besar pada aktivitas ekonomi kreatif. 

Meskipun film terlahir dari sebuah pengadaptasian novel, tetap saja dalam pembuatannya memerlukan ide dan inovasi baru sehingga mampu menarik selera pasar yang akan menjadi salah satu sumber ekonomi.

Ketika saya menonton film dan membaca novel tersebut terdapat banyak perbedaan di dalamnya, dalam novel aslinya seluruh kejadian diceritakan secara gamblang dan detail sehingga pembaca tidak kebingungan dalam memahami alur ceritanya. 

Sedangkan ketika diadaptasi menjadi sebuah film banyak menghilangkan adegan-adegan dewasa (seks) yang diceritakan detail dalam novel. Penghapusan bagian tersebut dapat dimengerti, menimbang bahwa masyarakat Indonesia sendiri masih menganggap tabu jika adegan dewasa yang berlebihan ditayangkan di bioskop. 

Terdapat juga sedikit pengubahan cerita ketika diadaptasi ke dalam film, hal ini juga merupakan upaya Edwin sebagai sutradara untuk menyiasati penerimaan pasar dan bagi saya selagi tidak mengubah makna asli novelnya hal itu sah dilakukan.

Judul filmnya juga tidak diubah sedikitpun dari judul asli novelnya, tanpa berpikir panjang saya langsung menonton film ini tanpa dibekali pengetahuan dasar apa pun karena dirasa tidak tahan lagi membendung rasa penasaran mengenai alur ceritanya. 

Dari awal menonton film ini saya tidak menaruh curiga apa pun, jujur saya sedikit kaget dengan adengan dewasa yang disuguhkan dan hal itu membuat saya kurang suka menontonnya karena tidak terbiasa dengan tontonan dewasa. Namun, untungnya suasana lawas tahun 1989 dalam film ini begitu terasa nyata sehingga ada alasan lain untuk menikmatinya, padahal film ini baru saja dirilis pada tahun 2021. 

Bukan hanya itu, film ini juga menambah pengetahuan saya mengenai kebiasaan berpakaian dan berdialog pada tahun '80-an, hal ini didukung dengan dialog antar-tokoh yang terkesan baku dan cukup kaku. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline