Lihat ke Halaman Asli

Yulius Maran

Educational Coach

Pilkada: Antara Harapan Kesejahteraan & Bayang-Bayang Politik Uang

Diperbarui: 27 November 2024   01:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi gambar: generate AI /DokPri

Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah sejatinya adalah wujud nyata demokrasi langsung, di mana rakyat diberi hak untuk menentukan pemimpin yang akan membawa perubahan dan kesejahteraan bagi daerah mereka. Proses ini menjadi harapan bagi banyak pihak, terutama masyarakat akar rumput, untuk melihat perbaikan layanan publik, peningkatan infrastruktur, dan pengentasan kemiskinan melalui kepemimpinan yang jujur dan kompeten. Namun, harapan itu sering kali terbentur oleh kenyataan pahit dalam praktiknya.

Di balik semangat demokrasi yang diagungkan, fenomena politik uang terus menjadi bayangan gelap yang mengintai proses pemilihan. Serangan fajar---istilah untuk pembagian amplop berisi uang menjelang hari pencoblosan---hingga berbagai bentuk "bantuan" terselubung selama masa kampanye, menjadi praktik yang sudah mengakar. Praktik semacam ini tidak hanya merusak nilai-nilai demokrasi, tetapi juga menciptakan ketidakadilan di antara kandidat yang bertanding. Kandidat yang memiliki modal besar sering kali lebih mendominasi daripada mereka yang hanya mengandalkan visi dan misi yang berkualitas.

Pertanyaannya kemudian, apakah demokrasi yang kita jalankan masih sesuai dengan makna sejatinya? Ataukah justru telah bergeser menjadi ajang kapitalisasi suara, di mana hak memilih rakyat diperjualbelikan? Jika politik uang terus menjadi senjata utama dalam pilkada, maka demokrasi yang ideal, di mana rakyat memilih secara bebas dan berdasarkan pertimbangan rasional, akan sulit terwujud. Proses ini justru berpotensi merusak legitimasi hasil pemilihan dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi itu sendiri.

Antara Kenyataan dan Paradoks Demokrasi

Fenomena politik uang dalam pilkada bukanlah hal baru. Dari serangan fajar---amplop berisi uang yang dibagikan menjelang hari pencoblosan---hingga pemberian hadiah terselubung selama masa kampanye, semua ini kerap terjadi secara sistematis. Berdasarkan penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW), praktik politik uang masih menjadi strategi utama yang digunakan oleh kandidat untuk meraih dukungan, terutama di wilayah dengan indeks pembangunan manusia rendah.

Menurut Dr. Marcus Mietzner, seorang pakar politik Asia Tenggara, salah satu alasan maraknya politik uang di Indonesia adalah karena "personalisasi politik" di mana kandidat lebih banyak mengandalkan popularitas pribadi dan jaringan informal daripada visi misi yang ditawarkan. Hal ini menciptakan ruang bagi manipulasi suara melalui imbalan materi.

Praktik politik uang mencerminkan betapa demokrasi kita cenderung bergeser menjadi kapitalisme politik. Kandidat yang memiliki modal besar lebih berpeluang memenangkan pilkada dibandingkan mereka yang memiliki ide-ide cemerlang tetapi minim dana. Kekuatan uang seolah menjadi alat penggerak utama untuk menciptakan persepsi, menggiring opini publik, hingga membeli suara.

Prof. Jeffrey Winters dari Northwestern University menyebut fenomena ini sebagai "oligarki dalam demokrasi," di mana segelintir orang dengan kekayaan besar mendominasi proses politik. Dalam konteks pilkada, para calon kepala daerah kerap didukung oleh para pemodal besar yang memiliki kepentingan politik jangka panjang. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan setelah terpilih sering kali tidak berpihak pada rakyat, melainkan pada segelintir elit yang mendukung mereka.

Warga yang Apatis: Demokrasi yang Gagal di Akar Rumput

Di sisi lain, masih banyak warga yang apatis terhadap pilkada. Mereka malas memahami visi misi calon pemimpin dan cenderung memilih kandidat berdasarkan popularitas atau iming-iming uang. Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI), ditemukan bahwa lebih dari 30% responden mengaku tidak masalah menerima uang dari kandidat asalkan tetap memilih sesuai hati nurani. Namun, kenyataan di lapangan sering kali berkata lain.

Menurut Dr. Burhanuddin Muhtadi, penerima politik uang cenderung merasa berutang budi kepada kandidat yang memberi mereka uang, sehingga peluang memilih sesuai hati nurani menjadi semakin kecil. "Ketika uang menjadi faktor utama, demokrasi kehilangan substansinya," tegas Burhanuddin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline