Sejak wacana pemberlakuan kembali Ujian Nasional (UN) mencuat pasca pergantian Menteri Pendidikan, banyak pemerhati pendidikan bertanya-tanya: apakah kita masih memegang tujuan utama pendidikan atau terjebak dalam rangkaian ujian yang mengukur deretan nilai belaka? Pertanyaan ini membawa kita pada perdebatan klasik tentang hakikat belajar dan tujuan pendidikan.
Jika kita melihat ke belakang, filsuf Yunani seperti Plato hingga para pemikir modern menggarisbawahi bahwa belajar sejatinya bukan sekadar mengumpulkan nilai, melainkan sarana memupuk karakter, pemikiran kritis, dan kemampuan beradaptasi.
Lalu, bagaimana jika UN kembali diterapkan? Apakah ini akan memperkuat esensi pendidikan atau justru mereduksi makna belajar?
Memahami Tujuan Belajar dalam Pandangan Filsuf
Bagi Plato, pendidikan adalah jalan menuju kebenaran, yang ia gambarkan dalam alegori gua. Ia percaya bahwa belajar bukan hanya soal penguasaan informasi, tetapi proses membebaskan diri dari kebodohan dan ilusi, hingga mencapai cahaya pengetahuan yang lebih tinggi.
Di abad pertengahan, filsuf Thomas Aquinas memperkenalkan pentingnya nilai moral dalam belajar, menekankan bahwa tujuan utama pendidikan adalah mengenal diri dan Tuhan, sehingga manusia dapat menjalani hidup yang baik.
Pada abad modern, John Locke memperkenalkan gagasan tentang tabula rasa, bahwa manusia lahir sebagai kertas kosong dan pendidikan bertugas mengisi kertas ini dengan pengalaman hidup yang membentuk karakter.
Pandangan-pandangan ini menegaskan bahwa tujuan belajar adalah memahami diri sendiri dan dunia dengan cara yang lebih mendalam. Belajar tidak hanya berarti menguasai informasi, tetapi juga mengembangkan kemampuan berpikir kritis, moral, dan empati.
Pemikir postmodern seperti Fritjof Capra kemudian memperkenalkan konsep "jejaring kehidupan," bahwa segala sesuatu di dunia ini saling terkait, termasuk dalam konteks pendidikan. Belajar bukan hanya tentang individu, tetapi memahami diri sebagai bagian dari jaringan sosial dan ekosistem yang lebih luas.
Jika kita menerima pandangan ini, maka kembali pada UN justru menimbulkan paradoks. Di satu sisi, pendidikan diharapkan mengembangkan kreativitas dan karakter; di sisi lain, UN mendorong siswa untuk berfokus pada penguasaan materi yang dapat diujikan, sering kali melalui metode drilling soal yang kaku. Apakah ini benar-benar belajar, atau hanya sekadar penguasaan pola-pola jawaban?
Paradoks Belajar untuk Hidup atau untuk Nilai