Lihat ke Halaman Asli

Yulius Maran

Educational Coach

Kuliah: Sebuah Keharusan atau Pilihan?

Diperbarui: 18 Mei 2024   22:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar https://pixabay.com/

Perdebatan tentang urgensi kuliah setelah SMA selalu menjadi topik hangat. Di satu sisi, banyak yang beranggapan bahwa ijazah sarjana adalah kunci utama untuk membuka gerbang karir yang sukses. Ijazah ini sering dianggap sebagai bukti kompetensi dan dedikasi yang dapat meningkatkan peluang kerja serta menjamin pendapatan yang lebih tinggi. Di era persaingan global, memiliki pendidikan tinggi sering kali menjadi pembeda utama dalam proses rekrutmen.

Di sisi lain, tak sedikit yang mempertanyakan relevansi pendidikan tinggi di era modern, di mana banyak lulusan SMA yang mampu meraih karir gemilang tanpa perlu gelar sarjana. Fenomena ini diperkuat oleh perkembangan teknologi dan akses informasi yang memungkinkan siapa saja untuk belajar secara mandiri dan mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan industri. Banyak tokoh sukses dalam teknologi dan bisnis yang menunjukkan bahwa pengalaman dan keterampilan praktis bisa lebih berharga daripada ijazah formal.

Fenomena kesenjangan sosial juga turut mempengaruhi perdebatan ini. Biaya kuliah yang mahal membuka dikotomi semakin lebar antara yang kaya dan miskin. Akses kuliah bagi yang miskin sangat sulit, seringkali mereka harus bekerja sambil kuliah atau mengambil pinjaman yang membebani keuangan mereka di masa depan. Sementara itu, mereka yang berasal dari keluarga kaya bisa bebas memilih kuliah di mana saja, karena uang bisa membuat akses ini lancar tanpa harus khawatir tentang biaya.

Data menunjukkan bahwa di Indonesia, rata-rata biaya kuliah di universitas negeri berkisar antara 3 juta hingga 7 juta rupiah per semester, sementara di universitas swasta bisa mencapai 10 juta hingga 30 juta rupiah per semester. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), hanya sekitar 40% lulusan SMA yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, dan sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke atas. Hal ini mencerminkan kesenjangan sosial yang signifikan dalam akses pendidikan tinggi, yang semakin mempertegas perlunya kebijakan yang lebih inklusif dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.

Data Pengangguran: Fakta yang Perlu Dipertimbangkan

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022, tingkat pengangguran di Indonesia mencapai 5,9%. Data yang lebih detail menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terendah terdapat pada kelompok usia 15-19 tahun (13,6%) dan 20-24 tahun (16,9%). Kelompok usia ini didominasi oleh para lulusan SMA yang baru memasuki dunia kerja. 

Di sisi lain, tingkat pengangguran pada kelompok usia 25-29 tahun (10,3%) dan 30-34 tahun (7,8%) menunjukkan tren penurunan. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan tinggi memang berkontribusi dalam menurunkan tingkat pengangguran seiring bertambahnya usia dan pengalaman kerja. Namun, penting untuk dicatat bahwa data ini tidak menunjukkan hubungan sebab akibat yang mutlak. Faktor lain seperti demografi, jenis kelamin, dan latar belakang ekonomi juga dapat mempengaruhi tingkat pengangguran.

Banyak contoh nyata di mana lulusan SMA berhasil membangun karir yang sukses tanpa perlu gelar sarjana. Contohnya, Putu Gede Andika: Pendiri Cokelat Monggo, sebuah perusahaan cokelat terkenal di Bali, yang memulai usahanya dari nol tanpa ijazah sarjana. Atau Nadya Karina, Pendiri Naura Kitchen, sebuah usaha kuliner rumahan yang berkembang pesat dan telah meraih berbagai penghargaan, meskipun ia hanya lulusan SMA. Selain itu ada Ayudia Bing Slamet: Aktris dan influencer terkenal di Indonesia yang memulai karirnya sejak usia muda dan tidak memiliki ijazah sarjana. 

Skema Pendampingan Karir: Membangun Fondasi Sejak Dini

Program pendampingan karir yang efektif sejatinya sudah dimulai sejak usia dini. Kolaborasi solid antara pendidik di level TK, SD, SMP, dan SMA sangatlah penting untuk membantu peserta didik memahami minat, bakat, dan potensi mereka. 

Kurikulum Merdeka, dengan fleksibilitasnya, membuka ruang bagi peserta didik untuk mengeksplorasi diri dan memilih jalur pendidikan yang sesuai dengan aspirasi mereka. Program pendampingan karir di tingkat SMA dapat memanfaatkan momentum ini untuk membantu siswa dalam memilih mata pelajaran yang tepat, mengembangkan keterampilan karir, dan mempersiapkan diri untuk dunia kerja. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline