Jika aku membaca novel Desersi sebelum perjalanan ini, akan ciut nyaliku.
Pra persepsi akan sangat mempengaruhi bagaimana kita bersikap terhadap suku bangsa lain yang baru kita kenal.
Ranau, 20 November 2005
Setelah habis digasak pacet, akhirnya kami sampai di Mirau. Lelah setelah berjalan mulai dari jam 8 pagi dan tiba jam 2 siang.
Pertama kami disambut di rumah penduduk yang sangat kotor namun sangat ramah. Setelah perkenalan dan cakap basa-basi, kami mulai dimintai kopi dan gula.
Lalu, seorang ibu tua dengan suara keras meminta obat paramex susul menyusul dengan orang lainnya, hingga malam tiba.
Orang yang dapat pertama mungkin telah memberitahu lainnya bahwa kami membawa stok obat paramex yang banyak.
Mengapa obat paramex sangat digemari di sini dan mereka memakannya layaknya menelan gula-gula. Pertanyaan itu tidak pernah bisa aku jawab.
Habis paramex, beberapa penduduk terutama orang tua meminta celana, baju, senter, dan lain-lain. Kalau dikabulkan semua, aku bisa pulang telanjang.
Tetapi, mereka tidak hanya meminta. Mereka juga memberi banyak. Penduduk silih berganti memberikan kami makanan dengan berbagai variasi.
Menurut penduduk, mereka sedang dalam masa paceklik. Hal ini bisa saja betul karena makanan yang mereka sajikan nyatanya hampir mengunakan bahan yang sama. Namun, diolah dengan cara berbeda-beda sehingga menciptakan variasi rasa.
Dari Mirau, kami akan melanjutkan perjalanan ke Avang melewati tiga gunung yakni; Angan, Kabong, dan Telou. Jika Gunung Angan tinggi, Gunung Kabong lebih tinggi, serta Gunung Telau sangat tinggi.