Sebenarnya saya menghitung cermat logistik yang kami bawa dalam ekspedisi Polahi ke interior Hutan Nantu, Suaka Marga Satwa Nantu (Pengunungan Boliyohuto) empat tahun yang lalu.
Ditambah dengan ikan sogili (sidat) yang kami beli dari keluarga Tahilu untuk dimakan bersama, mustinya logistik kami cukup. Nyatanya logistik itu cepat menipis.
Lebih jauh tentang komunitas Polahi di Gorontalo dapat dibaca pada artikel saya pada Kompasiana.
Namun kami punya alternatif. Bisa makan ubi kayu, labu, daun ubi kayu, membuat perangkap ikan, barangkali jamur dicari jika keadaan terpaksa. Ikan kaleng sarden, mie instan, roti, itu adalah jenis logistik yang cepat lunas.
Saya sengaja menyimpan dua bungkus kurma untuk jaga-jaga dalam tas pribadi saya. Selama hampir dua pekan dalam ekpedisi Polahi, kami akhirnya (terpaksa) ke luar hutan bersama keluarga Polahi (Tahilu dan keluarganya) tepat pada hari dimana sedang ada hari pasar di desa.
Berangkat dari pondoknya di tepi Sungai Hatibi, Tahilu mempersilakan kami berjalan duluan. Dia sendiri akan menyusul dengan anak bininya. Dua anaknya masih cukup kecil, sedangkan dua orang lagi sudah beranjak remaja (2 pria dan 2 perempuan).
Mungkin ada sekitar satu jam kami mendahului mereka. Nyatanya, mereka dapat menyalip kami di tengah perjalanan, padahal ada anak kecil berjalan bersama mereka.
Menjelang pendakian bukit terakhir, sebelum jalan menurun yang monoton hampir vertikal serta licin, kami bersitirahat di sebuah anak sungai.
Ada lapangan kecil di sekitar tempat itu, bekas bivak kami sebelumnya. Dalam hitungan saya, selambatnya-lambatnya kami sudah ada di desa sore hari. Maka saya mengeluarkan "jimat" buah kurma itu untuk dimakan bersama.
Saya mengeluarkan buah kurma dari tas dan membaginya rata. Buah kurma itu bukan buah kurma yang terbaik, permukaan bijinya sudah keriput.