Di Indonesia kejahatan satwa liar menduduki peringkat ketiga, setelah kejahatan narkoba dan perdagangan manusia. Nilai transaksi hasil penelusuran PPATK diperkirakan lebih dari Rp 13 triliun per tahun dan nilainya terus meningkat. (Siti Nurbaya, Menteri KLHK dalam news.detik.com, Senin, 30/4/2018).
Apalah gunanya kita masih punya hutan tapi isinya kosong. Hutan yang kosong karena satwanya habis dijarah manusia, ibarat tubuh yang tidak melakukan metabolisme-hutan yang 'mati'.
Gajah dibunuh lalu gadingnya dicabut atau digergaji dari tubuhnya, kulitnya disayat untuk diperjual-belikan.
Harimau pun demikian. Hampir semua bagian tubuh harimau punya harga di pasar gelap, sehingga terus dicari dan diburu. Semakin langka semakin mahal.
Apakah hanya gajah dan harimau? Tidak. Trenggiling, binatang pemakan semut itu kulitnya dipercaya bisa digunakan membuat narkoba, maka trenggeling terus diburu dan diperdagangkan. Dijual dalam kondisi hidup maupun mati.
Lalu, ratusan jenis burung-burung, mulai dari yang bisa dilatih bicara seperti Beo dan beberapa jenis burung paruh bengkok. Burung-burung pengicau yang suaranya merdu.
Burung-burung yang bulunya indah, elang, semua ada pasarnya sehingga poacher (pemburu) dan pedagang satwa liar tidak berhenti-hentinya menjarahnya dari hutan kita yang berlum terjaga dengan baik.
Kalau mau diteruskan daftarnya ke kupu-kupu, lebah-lebah langka, herpetofauna (amfibi dan reptil)---akan panjang sekali, semua diburu untuk dipedagangkan. Peminat atau kolektor satwa liar, apalagi jenis-jenis yang endemik (hanya ada di Indonesia) harganya bernilai tinggi di pasar gelap.
Perburuan dan perdagangan satwa liar adalah salahsatu kontributor punahnya satwa liar dan satwa langka Indonesia.
Selain itu, penyebab lainya adalah konversi hutan untuk lahan pertanian, pembukaan hutan untuk penempatan penduduk (transmigrasi), perkebunan skala besar, serta hutan tanaman industri yang biasanya monokultur.