Lihat ke Halaman Asli

Marahalim Siagian

TERVERIFIKASI

Konsultan-sosial and forest protection specialist

Bioskop Rakyat, Enaknya Nonton Berduaan

Diperbarui: 25 November 2019   12:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ist

Di era 60an hingga 80an, gedung bioskop merupakan tempat utama bagi rakyat Indonesia untuk mendapatkan hiburan. Stasiun televisi hanya satu yakni TVRI.  Kalau di Jambi, hanya segelintir orang yang punya televisi dan kebanyakan masih hitam putih, besarnya pun masih setengah lemari pakaian.

Di kampung-kampung, saudagar karet mungkin punya uang untuk membeli televisi (TV), namun listrik belum masuk. Pakai Aki basah menjadi lebih mahal. Praktis, hanya ada sedikit TV. 

Televisi pada zaman yang masih pakai antena bertiang bambu yang ditancapkan di pekarangan rumah setinggi-tingginya agar dapat menangkap siaran televisi dengan gambar yang jelas (tidak buram) atau ditaruh di atap rumah, pada bubungan yang paling tinggi.

Tua-muda, apalagi muda-mudi yang lagi kasmaran membawa pasanganya di malam minggu untuk menonton film ke gedung bioskop. Gendung-gedung bioskop itu awalnya hanya ada di pusat kota propinsi, lalu ke kota kabupaten bahkan ke kota kecamatan. 

Penduduk dari pinggiran (kota) datang menonton bioskop dengan sandal jepit dan kain sarung. Laki-lakinya menyelipkan golok di pinggang untuk berjaga-jaga di jalan karena akan pulang larut malam.

Harkopo Lee masih ingat semua itu. Ia bagian dari sejarah industri film lebar di Jambi. Keluarga Lee adalah migran dari Hongkong, datang ke Jambi di tahun 1934. Tiga dekade, keluarga ini menjadi pemilik jaringan bioskop paling banyak dan utama di Kota Jambi.

Beberapa poster judul film populer era 70an dan 80an (Doc. Harkopo Lee)

Mereka mulai dengan Bioskop Mega di akhir tahun 60an, lalu Bisokop Duta, Bioskop Murni, Bioskop Ria, Bioskop Sumatera, Bioskop President 1 dan 2, Bioskop Mayang dan Bioskop Situmang--semua di kota Jambi.

Industri film bioskop mencapai puncaknya di tahun 80an. Memasuki era 90an, penonton bioskop mulai sepi. Pemilik usaha bioskop lain memilih merger agar bisa bertahan, karena industri bioskop (tenyata) bisnis yang ketat. 

Pengusaha bioskop harus mendekati produser-produser film agar mendapatkan filmnya, bahkan sebelum film itu selesai dibuat--masih syuting, mereka memilih beberapa judul film dengan membaca manuscripnya saja, kemudian bersaing dengan pengusaha bioskop lain dengan cara tender agar mendapatkan hak memutar film itu di bioskop mereka.

Memasuki era 80an atau awal 90an, keluarga Lee dapat mengakusisi bioskop lain, lalu menjadi pemain utama. 

Namun, disaat bersamaan, tren penonton bioskop di kota-kota besar mulai menurun. Alat pemutar video kaset sudah mulai masuk ke rumah-rumah penduduk kota, kemudian diikuti era vcd player, dvd  player, pasar potensial film layar lebar bergerser ke pinggiran--di kota kabupaten dan kota kecamatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline