Lihat ke Halaman Asli

State Under Attack: Kritik Good Governance

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

State Under Attack

Good  governance

Is there any hidden agenda?

Oleh: Imam Sutrisno (Mantan Ketua DPC GMNI Solo)


Makalah ini memuat tinjauan akademik tentang konsep dan praktek konsep Good  governance di Indonesia. Menggunakan kajian pustaka dan hasil penelitian terkini yang terkait dengan landasan ontologi serta praktek Good  governance sebagai pijakan analisis.
Terbagi menjadi lima bab, bab pertama membahas tentang landasan ontologi dari konsep good  governance serta menyoal kesesuaiannya dengan landasan konstitusional Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bab ke dua, berisi kajian kritis terhadap ideologi Ordo-liberal dari sudut pandang keilmuan economic antropology, Bab tiga memaparkan hasil penelitian di Kota Malang beserta kesimpulan penulis. Bab empat  memuat analisis komparatif good  governance dengan konsep alternatif  pembanding yang  diambil dari makalah berjudul “Sebuah Eksampelar Otonomi Daerah (Membumikan “Grassroots  governance” dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia)”, Karya Susanto Polamolo. Kemudian di bab terakhir berisi kesimpulan.

***
Hal tersebut menegaskan bahwa teory good  governance yang berlandasakan ideologi Ordo-liberal adalah teori yang lahir “dari dan untuk” kepentingan pasar. Dengan kata lain dalam wujud aslinya good  governance tidak lebih dari sekedar agenda lanjutan negara-negara maju dan multi national coorporate dalam melancarkan neo-imperialisme ekonomi terhadap negara-negara dunia ke-tiga. Fakta ini menegaskan bahwa reformasi yang diharapkan membawa perubahan subtansial ternyata belum mampu “memotong” tradisi intervensi asing (dengan ideologi liberalnya) yang kian menggerogoti sendi-sendi perekonomian rakyat.
Hal terpenting yang patut dikhawatirkan atas bahaya penerapan ekonomi pasar yang liberalistik adalah asumsi dasar dan pemaknaannya yang sempit tentang aktivitas ekonomi. Dalam kajian economic anthropology, dijelaskan bahwa sistem perekonomian pasar didasarkan pada persaingan antara pembeli dan penjual. Semua pihak berhubungan untuk memperoleh keuntungan bagi pihaknya sendiri, dan transaksi dilakukan tanpa perlu mengenal lawan transaksi. Keuntungan dan persaingan adalah kata-kata kunci yang diyakini dipentingkan oleh setiap anggota masyarakat. Melalui hal tersebut perekonomian pasar menjanjikan efisiensi alokasi sumber daya, namun ia tidak pernah menjanjikan pemenuhan kebutuhan bagi setiap orang. (Adam & Jesica Kuper, 2002)
Demikianlah sistem perekonomian pasar membangun atmosfer relasi sosial yang kian kompetitif, “dingin”, dan pada akhirnya menciptakan manusia-manusia yang individualistik. Relasi sosial tereduksi menjadi sebatas kompetisi untuk mengejar keuntungan yang tidak sekedar didasarkan pada pemenuhan kebutuhan semata, namun lebih dari itu kompetisi dalam bentuknya yang paling sempurna kemudian menjadi semakin identik dengan ekspansi modal menuju akumulasi profit. “...akumulasi profit ini, tidak bisa tidak, hanya dimungkinkan melalui ketimpangan dalam masayarakat dalam hal akses dan otonomi dalam berproduksi. Kapitalisme, dengan demikian dapat hidup hanya melalui eksploitasi ketimpangan ini”. (Jaringan Riset Kolektif)
Perekonomian pasar dan segenap teori serta kebijakan pendukungnya tidak pernah mampu lepas dari unsur liberal-individualistik. Good  governance lahir dengan mengemban misi mendorong transformasi cara berfikir dan perilaku masyarakat dunia untuk sepenuhnya menjadi liberal dan yang terpenting individualistik. Otoritas dan kedaulatan negara dilucuti -atau diformat- sedemikian rupa agar tidak lagi menjadi penghambat penetrasi pasar. Hal ini nampak dari hegemoni keseragaman pemahaman yang dibangun oleh lembaga-lembaga donor internasional tentang istilah “kesejahteraan”. Kesejahteraan dalam pemahaman sepihak penganut ideologi pasar dipersempit maknanya menjadi sebatas peningkatan “daya beli”. Faktor penyempitan makna inilah yang kemudian menyebabkan kronisnya perilaku kompetitif-liberalistik yang sering kali mengabaikan unsur-unsur nilai,moral dan makna kolektivitas.
Salah satu tolak ukur keberhasilan ekonomi pasar adalah terciptanya kondisi dimana seluruh individu terlibat sepenuhnya dalam pasar, memiliki daya saing sekaligus daya beli yang tinggi. Dalam wujud perkembangannya yang paling sempurna dunia akan dipenuhi oleh  manusia/individu yang masing-masing berkompetisi dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sendiri, dititik itulah kita akan benar-benar menjumpai manusia sebagai “Homo Homini Lupus” (Manusia yang satu adalah serigala bagi manusia lainnya).
Dengan kata lain, melegitimasi dan menerapkan paham Ordo-liberal dalam wujud good  governance sebagai sarana pengaktifan mode kerja-kerja logika pasar dalam masarakat sama artinya dengan mengabaikan unsur-unsur sosialistik yang sejatinya ada dan bersemayam dalam diri dan jiwa setiap manusia. Tidak akan ada istilah “masyarakat” sebagai bentuk kolektivisme individu. Tersisa hanyalah kumpulan individu yang berinteraksi dalam relasi yang sepenuhnya kompetitif dan “dingin”.
Kita tentunya tidak ingin terjebak dalam kondisi dimana manusia hanya menjadi pemangsa atas manusia yang lain dengan mengatasnamakan upaya-upaya ekonomi dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Jika kita tetap merasa “baik-baik saja” dengan potensi bahaya dibalik kepentingan yang tersembunyi dalam Ordo-liberal dan good  governance yang menjadi sarananya, nampaknya pertanyaan serius perlu kita ajukan kepada diri kita sendiri. Sudahkah kita menjadi manusia yang memanusiakan manusia? Seperti yang pernah dipesankan oleh Sam Ratoelangi tentang kosep humanisme : “Sitou Timou Tumou Tou” (Manusia yang memanusiakan manusia). Baca Selengkapnya




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline