Lihat ke Halaman Asli

Ketika Aku Cinta Menulis

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menulis!  Mendengar kata itu, mukaku sudah lemas, semangat hidup meredup. Perutku yang tadinya kenyang, jadi lapar lagi. Mataku pun juga begitu. Semakin mengantuk. Tetapi itu masa lalu. Sekarang malah sebaliknya. Menjadi lebih senang menulis. Awalnya memang susah, susah banget mungkin. Lebih susah itu daripada tidak punya uang dan tidak makan selama dua hari. Setahap demi setahap pun aku coba lalui. Berawal mencoba menulis catatan harian atau istilah kerennya diary. Segala yang kulakukan kucoba kutulis. Dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi. Aku tulis secara detail. Tempat menulisku pun bukan seperti sekarang ini. Bisa dibersihkan tanpa ada sisa. Bisa di edit-edit. Dan bahkan bisa dibuat jadi lebih indah tulisannya. Dulu aku menulis di buku biasa. Boleh di sebut semacam kumpulan-kumpulan kertas HVS yang tidak di pakai lagi dan kusatukan serta aku steples dengan rapi. Balpoinnya pun terkadang susah ada keluar tintanya. Sehingga harus aku banting-banting baru bisa keluar. Meskipun begitu, aku selalu motivasi diriku. Aku harus bisa menulis karangan. Minimal satu paragraf. Terkadang rasa bosan menghinggapiku. Di saat itu, aku benar-benar tidak memegang balpoin. Menyentuhnya pun mungkin tidak. Aku kalau lagi bosan atau malas, suatu pekerjaan pasti tak akan kusentuh. Karena itu akan membuat aku lebih benci nantinya pada pekerjaan itu.

Hari-hari terus kulalui dengan coretan-coretan di buku tulisku. Kalau bukunya sudah penuh, terpaksa aku harus keluar, pergi ke belakang kantor yang tidak jauh dari gubuk tempat tinggalku. Di belakang gedung kantor, kucoba memunguti kertas-kertas yang sudah dibuang dan kupilah-pilah yang kira-kira masih bisa digunakan. Kalau kuperkirakan, masih ada bagian kertas yang digunakan untuk menulis, meski itu hanya seperempatnya lagi, aku tetap ambil. Setelah kulihat kantung hitam yang kubawa dari rumahku sudah penuh. Aku kemudian pulang. Di rumah aku baru merapikannya. Aku susun serapi mungkin dan kemudian kusteples. Jadilah buku tulisku yang kusebut diaryku meski tidak seindah diary-diary yang ada di toko buku. Biasanya butuh waktu selama 2 minggu, diaryku itu pun sudah penuh. Kalau sudah penuh, kusimpan rapi di dalam lemari bajuku.

Andai saja, saat itu aku berhenti dan meninggalkan kegiatan menulis itu. Barangkali aku tidak sebaik keadaanku sekarang ini. Tidak bisa ke Jawa, tinggal di tempat mewah seperti ini. Bersekolah sampai ke Eropa. Dan yang paling berharga dalam hidupku, aku mungkin tidak bisa mengajak kedua orang tua ku pergi haji. Rezeki yang kudapatkan untuk semua itu, berasal dari tumpukan-tumpukan diary yang selama ini kusimpan rapi dalam lemari. Kertas-kertas yang kupungut selama ini di belakang kantor dekat rumahku dan juga balpoin yang membantu memperjelas apa yang kugoreskan di atas kertas itu berubah seketika menjadi tumpukan rezeki yang merubah segala dalam hidupku. Sungguh tidak dalam waktu sekejab, butuh sekitar 15 tahun sejak aku duduk di bangku kelas 4 SD.

Sesungguhnya Tuhan tidak tidur dan melihat hamba-Nya yang berusaha. Ketika aku sudah memasuki dunia perkuliahan, kecintaanku terhadap menulis semakin menggila. Walaupun tempat kuliahku, mulanya tidak jauh dari tanah kelahiranku, yakni Universitas Haluoleo. Aku tidak berkecil hati dengan teman-teman SMAku dulu yang duluan kuliah di Jawa. Di kampus, aku tidak hanya tinggal diam. Istilahnya bagi mereka yang diam, yaitu 3K (Kos, Kampus, Kampung). Aku aktif mengikuti segala kegiatan di kampus, seperti seminar, diskusi dan juga aku sering nongkrong organisasi yang bergerak dibidang jurnalistik kampus. Aku tidak begitu pusing dengan uang kiriman dari orang tua, karena memang aku sering mengirimkan tulisanku di media cetak yang ada di Kendari. Lagipula aku seorang lelaki yang tidak begitu khawatir kalau pulang tengah malam karena habis nongkrong di kampus. Berbeda halnya kalau perempuan. Tetapi, aku sempat tidak berani keluar dari kamar kosku. Saat itu suasana di kendari mencekam. Mahasiswa Unhalu tawuran dan saling menebas pakai samurai. Salah seorang seniorku harus tewas di tangan teman sekampusnya sendiri karena tidak sepaham dengan dia. Waktu itu benar-benar mencekam. Suasana itu mulai mereda ketika pihak kepolisian turun tangan menengahinya. Polisi pun akhirnya harus keluar masuk kampus dan juga berjaga di lingkungan kampus berjaga-jaga ada tawuran lagi.

Sesudah kondisi kampus mulai normal, aku pun kembai berakitifitas lagi. Ada sebenarnya keinginan untuk pindah kampus, karena memang kondisi di Unhalu tidak begitu kondusif. Seringkali ada perkelahian yang berujung pada tawuran. Walaupun polisi sudah berjaga siang malam. Tetapi, aku harus tetap sabar. Ternyata kesabaranku terbalas oleh Tuhan. Antara percaya dan tidak, aku seakan melayang terbang jauh. Teman-temanku di kampus sudah pada tahu. aku benar tidak menyangka, kumpulan diaryku yang sempat kutumpuk di lemariku harus dibukukan menjadi sebuah novel. Tulisanku itu diterima oleh penerbit yang cukup terkenal di kendari. Bahkan novel ku itu pun bisa menjadi best seller. Dan dari situlah perubahan demi perubahan terjadi.

Aku tidak bisa menghitung lagi, berapa banyak nikmat Tuhan yang telah diberikannya kepadaku. Dan aku terkadang merasa malu kepada-Nya karena seringkali lalai dalam berucap syukur bila nikmat itu tiba. Tuhan sungguh Maha Kuasa. Hanya dengan melalui tulisan, semuanya bisa berubah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline