Lihat ke Halaman Asli

Apa dan Bagaimana Asymmetric Warfare Berlangsung

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1380786157359966792

Peperangan asimetris atau asymmetric warfare kini kerap diperbincangkan orang dan banyak kalangan sebab dinilai sebagai kecenderungan baru dalam jagat politik dan keamanan. Tak boleh dipungkiri, bahwa kharakter, ciri, serta sifatnya lebih soft dan seolah-olah lebih murah daripada peperangan simetris (symmetric warfare) yang mutlak harus mengerahkan kekuatan militer secara terbuka lagi cenderung high cost. Kendati watak dan perilaku asimetris lebih ‘lembut – murah’ dibandingkan hingar-bingar perang simetris, namun dalam hal korban serta kerugian-kerugian yang diderita sebuah negara tidak kalah ‘besar’ akibatnya daripada kerugian dan korban pada perang secara militer. Demikian pula capaian hasil atau tujuan, tidak akan jauh berbeda antara keduanya atau mungkin sama bahkan bisa jadi lebih hebat lagi. Istilah lain asymmetric warfare yang mengemuka selain disebut perang non militer, dalam bahasa populer juga dinamai smart power, atau perang non konvensional, irreguler dan lain-lain. Berdasar penelusuran di berbagai literatur, inti dari definisi asymmetric warfare bisa dirangkum sebagai berikut: “suatu model peperangan yang melibatkan dua aktor atau lebih, dikembangkan melalui tata cara tidak lazim di luar aturan perang konvensional. Memiliki spektrum dan medan tempur yang luas meliputi hampir di setiap aspek astagatra (geografi, demografi, sumber daya alam/SDA, ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya, dll)”. Barangkali inilah benang merah asymmetric warfare yang NETRAL. Pertanyaanya: kenapa netral, apakah ada definisi yang tidak netral atau tendensius? Dewan Riset Nasional (DRN), 2008, Jakarta misalnya, menekankan asymmetric warfare lebih kepada keadaan dimana ada ketidakberimbangan kekuatan antara aktor-aktor yang berkonflik. Kemudian substansi pengertian menurut Wikipedia.com, 2 Juli 2013, hanya menyoroti perbedaan kekuatan dan strategi atau taktik yang berbeda. Sedangkan Robert Tomes, 2004, dalam buku Relearning Counterinsurgency Warfare, Parameter, US Army War College lain lagi. Ia lebih spesifik mendefinisikan perang asimetris, karena selain melihat perbedaan para aktor yang berkonflik juga mencermati cara berinteraksi dan upaya saling mengeksploitasi kelemahan-kelemahan lawan. Sudah barang tentu hal tersebut terkait dengan strategi dan taktik perang unconvensional. Berikutnya Land Warfare Doctrine 1, 2008, The Fundamentals of Land Warfare, Australia’s Department of Defence, cenderung menekankan tentang kemunculan asimetris. Asimetris dapat pula diartikan dengan perbedaan tujuan, komposisi pasukan, kultur, teknologi dan lain-lain. Artinya tatkala ada perbedaan perbandingan antara pihak-pihak yang berperang maka disitu asimetris akan lahir. Hingga kini, memang belum ada definisi baku yang dapat dijadikan referensi tunggal soal asymmetric warfare. Masih debatable, beragam pengertian, terdapat aneka penafsiran baik arti, maksud maupun bagaimana perang asimetris itu sendiri. Ketika beberapa literatur mencoba memberi contoh bahwa perang asimetris itu semacam “perlawanan” al Qaeda terhadap Amerika Serikat (AS), atau penembakan-penembakan anggota Polri oleh orang tak dikenal (OTK) —-bukannya salah— menurut hemat penulis kok kurang tepat. Walau pendapat apapun soal asimetris, sebenarnya syah-syah saja, wong namanya juga kebebasan berpendapat. Akan tetapi penulis tidak ingin terjebak debatisasi, atau saling menyalahkan, merasa benar sendiri, dan lainnya, karena kebenaran ilmu dan pengetahuan pun sifatnya juga nisbi, relatif dan masih bergerak sesuai tuntutan zaman. Alasan pokok kenapa demikian, sebab jika sebuah peperangan dianalogikan sebagai “sistem”, maka dua contoh peristiwa di atas cuma sebatas metode belaka. Ya, bahwa penembakan dan teror hanya ujung terakhir (hilir) dari sebuah sistem. Bukankah di dalam sistem itu ada unsur man power, ada manajemen, ‘mesin’, materiil, terdapat marketing, ada metode, dll? Pertanyaan: bagaimana disimpulkan sebuah sistem (asimetris) jika yang dikaji hanya cara dan metode (al Qaeda dan OTK)-nya saja? Sekali lagi, terlalu sederhana —jika tidak boleh mengatakan didangkalkan— memberi contoh perang asimetris melalui kedua peristiwa tadi. Penulis cenderung sepakat bila dua contoh di atas dinilai sebagai tindakan (taktik) gerilya. Entah gerilya kota, hutan, gerilya teknologi, dan lain-lain. Motivasi gerilya memang bermula dari ketidakseimbangan kekuatan berbagai sumberdaya antara pihak-pihak yang saling bertikai. Inti ilmunya: “memukul lawan disaat ia lengah dan lemah!”. Seandainya kita menelan bulat-bulat gambaran permisalan atas ‘perjuangan’ (al Qaeda dan OTK) tanpa kritik sama sekali, niscaya akan terkesan, bahwa asymmetric warfare seolah-olah hanya domain, atau cara —perlawanan— yang berasal dari kelompok miskin, negara terjajah, golongan marginal, dll terhadap kelompok kaya, kaum pejajah, atau negara-negara lebih kuat dan lebih super daripadanya. Bukankah di era kini, justru peperangan asimetris —atau smart power— menjadi pola favorit di kalangan negara kolonial Barat guna melebarkan sayap imperialisme di negara-negara ‘target’? Menyimak perdebatan tentang apa dan bagaimana peperangan asimetris terjadi, selayaknya ditelusuri dulu asal muasal kenapa ia ada (being), nyata (reality) dan berada (existance). Tak bisa tidak. Ini penting, mengingat urgensi peranan “sesuatu” dari perspektif filsafat mutlak harus menyatu unsur ketiganya. Ada-nyata-berada. Sesuatu yang ada pasti nyata dan yang nyata niscaya berada, berperan, berekspresi, dan lain-lain. Bila sesuatu yang ada namun tidak nyata, pasti tidak memiliki peran sama sekali. Mimpi misalnya, ia ada tetapi toh tidak nyata. Karena tatkala orang terbangun maka mimpi pun bubar. Sekedar bunga tidur semata. Tak memiliki peran signifikan (mimpi) dalam kelanjutan kehidupan orang. Entah bagi individu-individu atau sosok tertentu yang tergolong sakti, “waskita”, atau weruh sak durunge winarah —- katanya mimpi bisa merupakan isyarat, wangsit, petunjuk, dll. Banyak contoh. Tetapi tulisan ini tidak membahas hal yang sifatnya transendental. Entar dikira dukun! Latar belakang bahasan asymmetric warfare adalah kecenderungan perubahan atas pola dan model (pattern) kolonialisme di abad XXI dari hard power menjadi smart power. Tak kurang, Wakil Menteri Pertahanan RI Sjafrie Samsoedin, Senin (14/3) mengatakan, dunia strategi dan pertahanan sedang memasuki babakan baru, yakni perang asimetris. ”Kita harus menanggalkan cara berpikir perang konvensional. Banyak hal yang terjadi tanpa disadari adalah dampak perang asimetri. Media digunakan sedemikian rupa mengumbar sensasi. Perang asimetri itu bukan menghadapkan senjata dengan senjata atau tentara melawan tentara”. Selanjutnya maksud hard power ialah symmetric warfare yang kharakternya lebih mengkedepankan kekuatan militer secara terbuka daripada tata cara lain. Ini ciri perang konvensional sejak dahulu kala. Kemudian istilah-istilah semacam hard power, atau symmetric, peperangan militer, dan lainnya akan digunakan penulis bergantian karena secara makna tidak berbeda. Dan sekali lagi, kebalikan dari hard power adalah smart power, atau perang non militer yaitu asymmetric warfare itu sendiri. Bombardier, Kavaleri dan Infanteri Sebagaimana tulisan terdahulu (silahkan baca: Mencermati Kesamaan Kharakter Kolonialisme antara Pola Simetris dan Asimetris www.theglobal-review.com), kecuali berbagai model perang gerilya, maka manuver militer modern dimanapun pada peperangan simetris (militer) pasca intelijen memberi input awal (prakiraan) perihal mapping sasaran, pola lazimnya diawali bombardier oleh pesawat-pesawat tempur guna mengacaukan dan melumpuhkan wilayah target. Inilah tahap permulaan. Setelah daerah sasaran porak-poranda, kacau-balau, atau melemah akibat serbuan pesawat, maka tank-tank kavaleri mengambil alih manuver untuk mempertebal serangan secara detail, terutama di titik-titik yang masih berdaya tatkala serangan bombardier belum dapat melumpuhkan lawan atau daerah target. Ini tahapan kedua. Sedangkan tahap terakhir ialah masuknya infanteri untuk menduduki wilayah. Dalam sebuah pertempuran, manakala pasukan infanteri telah masuk di daerah operasi, itu merupakan indikasi bahwa tahap akhir daripada inti peperangan tengah dijalankan, meski tak menutup kemungkinan peranan angkatan udara (bombardier) dan kavaleri masih diperlukan. Itulah pola lazim peperangan simetris secara garis besar oleh militer dimana pun. Hasil diskusi terbatas di Global Future Institute (GFI), Jakarta (17/1/2013), dengan merujuk beberapa literatur dan artikel sejarah, ditemukan tahapan tak kalah penting dalam sebuah peperangan yang bertujuan menjajah bangsa lain. Artinya selain dijumpai ketiga pola di atas —bombardier, kavaleri dan infanteri— temuan GFI ini boleh dianggap sebagai model berulang dalam kolonialisme, yaitu pengaburan atau pembengkokan sejarah leluhur bagi negara yang dijajah. Adapun langkah pengaburan sejarah suatu bangsa lazimnya melalui beberapa tahapan. Pertama, penghancuran bangunan fisik bangsa terjajah agar generasi baru tidak dapat menemui, mengenang, atau menyaksikan bukti-bukti atas kejayaan nenek moyangnya, sehingga otomatis selain tak mampu menarik hikmah dan nilai-nilai emas histori, juga tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Kedua, memutus hubungan histori dengan leluhur melalui penciptaan stigma dan opini bahwa nenek moyangnya dulu bodoh, tidak beradab, primitif, dan lain-lain. Ketiga, dibuat sejarah baru versi penjajah. Inilah pola berulang dalam kolonialisasi. Pendudukan militer Paman Sam dan sekutu di Irak merupakan contoh aktual perihal pemutusan histori bangsa. Oleh karena pasca Presiden Saddam Hussein digantung (2007), hampir semua situs-situs kuno, perpustakaan, pusat sejarah dan kebudayaan Irak dihancurkan oleh tentara koalisi pimpinan Amerika Serikat (AS). Bisa ditebak, generasi Irak yang lahir dekade 2000-an niscaya tak akan dapat mengenali dan sulit menemukan bukti-bukti kejayaan ‘Negeri 1001 Malam’. Betapa hampir seluruh peninggalan sejarah dimusnahkan, nyaris tak ada sisa! Demikian pula bagi negara dan wilayah-wilayah lain yang menjadi obyek jajahan. Kisah suku Indian di Benua Amerika misalnya, selain terusir dari tanah leluhur, dirampas hasil buminya, distigma pula sebagai kaum suka perang, haus darah, tidak beradab dan lain-lain. Ketika dulu (mungkin kini masih) menonton film cowboy kemudian tanpa sadar penonton bertepuk tangan senang tatkala suku Indian dikejar dan dihalau oleh kaum imigran (cowboy), maka bisa dikatakan mindset dan culture set kita telah tersihir serta terseret arus agenda yang diciptakan oleh Barat. Betapa dahsyatnya peran media. Inilah yang tengah berlangsung dan sungguh memprihatinkan, justru banyak elemen berbagai bangsa tidak menyadarinya. Ada retorika menggelitik: bagaimana generasi Indonesia bisa melihat kebenaran atas kejayaan Sriwijaya dan Majapahit wong sudah sekian abad dijajah oleh asing? Jangan-jangan sejarah nusantara di buku-buku sekolah juga versi kaum penjajah? Isu, Tema dan Skema Mengurai lebih jauh perang non miiter pada catatan ini, maka pola perang simetris (militer) sebagai pedoman awalnya. Artinya, breakdown dan pembahasan asymmetric warfare melalui analog atas pola symmetric warfare sebagaimana diurai sekilas tadi. Pertanyaannya: bukankah ilmu, teori, dll diketemukan manusia —salah satunya— melalui penelitian (research) serta analogi peristiwa? Tersirat memang ada kesamaan karakter antara peperangan simetris dengan model perang asimetris (non militer). Bombardier di awal serangan contohnya, dalam asimetris identik dengan tebaran atau pelemparan isue-isue di suatu wilayah yang hendak ditarget. Semacam bombardir tetapi melalui rumor, hasutan, berita, isu, kejadian, ‘penciptaan kondisi’, dll. Inilah awalan. Contoh Arab Spring kemarin, negeri target semacam Tunisia, Yaman, Mesir dan lain-lain diterpa dahulu dengan aneka isu demokrasi, korupsi, kemiskinan, pemimpin tirani, secara gegap gempita melalui berbagai media dan jejaring sosial sehingga dalam benak rakyat hanya ada satu kata: “rakyat menjadi miskin akibat bercokol rezim tirani dan koruptif”. Inilah penciptaan opini. Tahap berikut dalam manuver simetris pasca bombardier ialah masuknya kavaleri. Manuver tank-tank kavaleri sebagai penebalan serangan, dalam analog asimetris dimaknai sebagai TEMA. Secara empiris, Arab Spring atau Musim Semi Arab yang melanda Jalur Sutera merupakan “tema gerakan” via kekuatan massa setelah opini dibentuk sebelumnya melalui isu-isu yang digencarkan media, jejaring sosial, dan lain-lain. Tahap terakhir dalam peperangan secara militer ialah masuknya pasukan infanteri ke wilayah target. Pada analog asimetris atau non militer, manuver infanteri ini disebut SKEMA gerakan. Inilah inti stategi peperangan yakni ‘pendudukan’ sebuah wilayah target. Dan pendudukan dalam konteks asimetris ialah penguasaan (ekonomi) negara dimaksud serta pencaplokan SDA cq perubahan —kudeta— rezim sebagai titik mula. Lengsernya Ben Ali di Tunisia, Abdullah Ali di Yaman, Mobarak dan seterusnya cuma kunci pembuka skema untuk penguasaan ekonomi yang lebih luas. Hal lain yang perlu dicatat, bahwa geliat penguasaan ekonomi niscaya berimplikasi juga terhadap pemberdayaan sumberdaya alam (SDA) menjadi hardcash. Itu mutlak. Maka wajar jika kebanyakan negara koloni adalah wilayah serta jalur-jalur kaya SDA sebagaimana kelompok negara di lintasan Silk Road atau Jalur Sutera (Asia Tengah, Timur Tengah dan Afrika Utara). Oleh sebab mencaplok SDA negara dimaksud identik menguasai ekonominya, demikian sebaliknya. Dengan demikian, apapun asymmetric warfare di muka bumi, bahwa isu-isu dan tema boleh bervariasi serta beragam warna, akan tetapi SKEMA tidak akan berubah sepanjang masa, bahkan identik dengan tujuan symmetric warfare dimana inti skema selalu ‘satu tarikan nafas’ antara penguasaan ekonomi dan pencaplokan SDA. Bedanya hanya soal penggunaan peluru (symmetric) dan tanpa mesiu sama sekali (asymmetric). Dalam kenyataan empiris, antara perang militer dan non militer lazimnya berpola menurut karakter masing-masing. Namun sering pula keduanya bersinergi secara simultan dengan intensitas berbeda. Gejolak politik (Arab Spring) di Jalur Sutera dan gerakan reformasi di Jakarta dekade 1998-an adalah contoh aktual atas implementasi tersebut. Meski samar namun toh terbaca. Mana sinergi, siapa berpola tunggal. Siapa duluan, pihak mana yang mengakhiri, dll. Ketika Ben Ali jatuh, atau terjungkalnya Abdullah Ali, Pak Harto dan Mobarak dari kekuasaan misalnya, itu jelas olah smart power atau asymmtric warfare, karena skema kolonial Barat dapat tertancap di Tunisia, Yaman, Indonesia dan Mesir tetapi tanpa ada letusan peluru tanpa tercium bau mesiu. Sedangkan keroyokan militer AS dan sekutu di Irak (2003) serta Afghanistan (2001) merupakan kerja symmetric warfare atau hard power, kendati langkah awal peperangan di kedua negara —langkah awal saja— mengikuti pola-pola smart power. Misalnya, isu Afghanistan tentang teroris al Qaeda, sedang stigma di Irak perihal senjata pemusnah massal. Agaknya peristiwa di kedua negara (Irak dan Afghanistan), agak berbeda dengan kasus di Libya (2011). Tumbangnya Gaddafi dari tampuk kekuasaan jelas merupakan olah sinergi antara hard power dan smart power. Artinya tatkala smart power dianggap gagal, maka gerakan massa melalui isue demokrasi dan pemimpin tirani diubah seketika bahkan tata cara (kadar)-nya ditingkatkan menjadi perang sipil, dimana para pemberontak justru dilatih, disupply dan dibiayai oleh Barat (Baca: Memahami Sinergi antara Hard dan Smart Power di Libya, di www.theglobal-review.com dan beberapa analisis lainnya di web GFI). Secara kasuistis, pola peperangan di Libya identik dengan konflik di Syria. Tak jauh beda. Ada kemiripan urut-urutan eksekusi. Misalnya, gagal menggusur Presiden Bahsar al Assad via gerakan massa, pihak Barat menaikkan kualitas “tema” melalui perang sipil. Arab Spring dalam perspektif asymmetric warfare memang hanya sebatas tema. Sementara ketidaksamaan pola dalam perang di kedua negara tadi sejatinya bukan pada isu dan stigma semata, tetapi juga soal resolusi PBB. Dengan kata lain, bila tebaran isue di Libya soal kepemimpinan tirani, demokrasi, pelanggaran HAM dan lainnya, sedang stigma melekat di Syria tentang sektarian, senjata kimia, dll. Lebih jeli lagi memotret perbedaannya, jika isue di Libya mampu menerbitkan resolusi PBB bagi NATO untuk menggempur Gaddafi secara legal, sementara isue dan stigma di Syria —hingga tulisan ini diterbitkan (25/9/2013)— belum mampu mengunduh resolusi secuilpun sebab senantiasa dijegal oleh veto Cina dan Rusia (Baca: Mencermati pola Kolonialisme di Syria dan Mesir, dan silahkan baca juga: Mencari Motif Utama Serangan Militer Barat ke Syria, di web GFI www.theglobal-review.com). Contoh lain topik. Terpisahnya Timor Timur dari Ibu Pertiwi adalah hasil olah sinergi sebagaimana kasus di Libya. Mudah memeta tahapannya. Isue yang dilempar soal pelanggaran HAM oleh aparat; kemudian “tema”-nya selain terbitnya resolusi PBB, hadirnya pasukan asing, juga jajak pendapat atau referendum; sedangkan “skema”-nya adalah minyak di Celah Timor. Bedanya soal perlawanan. Gaddafi melawan meski telah turun resolusi PBB, sedang Indonesia tidak melakukannya. Dan tampaknya, lokasi minyak tersebut (Celah Timor) kini tengah digarap korporasi minyak dari Australia dan Thailand. Coba bila kemarin tak pernah ditemukan minyak di Celah Timor, atau seandainya Timor Timur hanya penghasil singkong dan ketela, mungkinkah ada pelanggaran HAM serta jajak pendapat disana? Lalu, benarkah lepasnya Sipadan dan Ligitan dari NKRI dahulu karena asymmetric warfare yang dilancarkan oleh Malaysia, sementara pemerintah Indonesia sebagai pihak yang ditarget justru mengkedepankan diplomasi ala kadarnya? Sekali lagi, tanpa peluru dan asap mesiu, kedua pulau itupun lepas dari pangkuan NKRI. Selamat jalan Sipadan Ligitan! Dari kajian kolonialisme, kendati implementasi kedua peperangan memiliki dimensi, ciri, dan urut-urutan tindakan menurut kharakter masing-masing, tetapi skemanya tetap lestari. Sebagaimana diurai sekilas di atas, bahwa skema kolonialisasi tak lepas dari ‘satu tarikan nafas’ berujung pada penguasaan ekonomi dan pencaplokan SDA. Ya. Mencermati asymmetric warfare boleh diurut dari isue, tema dan skema. Atau sebaliknya —apabila telah berlangsung— diruntut melalui skema, tema dan isu. Mulai darimana dipersilahkan, tergantung bagaimana kejelian. Maraknya flu burung misalnya, itu hanya isue permulaan. Tema yang diangkat niscaya daging langka atau daging mahal. Kemudian skema yang ditancapkan adalah “jerat impor”. Entah ujud jerat dimaksud guna membuka kran impor daging, atau menambah kuota impor, dan lain-lain. Inilah spektrum dan medan asymmetric warfare dalam aspek ekonomi jika dicermati melalui isu, tema, dan skema. Silahkan analog pada contoh bidang pangan lainnya. Mungkin analog dalam impor kedelai, atau tembakau, jagung, dan lainnya. Sekarang kita dibalik. Permisalan pola smart power dicermati melalui urutan skema, tema dan isu. Adalah kerjasama Indonesia-Malaysia bidang geologi di wilayah perbatasan. Ini cuma open agenda, sedangkan hidden agenda yang merupakan SKEMA kolonial yakni ‘pencaplokan’ SDA milik Indonesia oleh Malaysia. Tak kurang, Dikdik Pribadi, Kepala Bidang Program dan Kerjasama Badan Geologi Kementerian ESDM di Nunukan, Sabtu malam (15/6/13) mengungkapkan, kerja sama ini merupakan program pemerintah Indonesia yang “interstate” bahwa di wilayah perbatasan cukup banyak potensi alam yang perlu dikelola bersama antara Indonesia dengan Malaysia, meliputi geologi correlation (korelasi geologi), bidang kebencanaan yang disebabkan faktor geologi, ground water (air tanah) dan geologi resources (sumber daya geologi). Saat ini, kerjasama itu telah mengarah pada tahap eksplorasi. Luar biasa! Selanjutnya keniscayaan tema yang bakal diangkat ialah perjanjian bilateral, atau Memorandum of Understanding (MoU) para pihak, dll. Mari cermati isu yang kelak akan ditebar dan dimunculkan. Kemungkinan besarperihal (isue) keterbatasan dana pemerintah, minimnya teknologi explorasi, kurangnya tenaga ahli di Indonesia, dan sebagainya. Pertanyaan timbul: bukankah UUD menyuratkan bahwa bumi, air dan segala isi yang terkandung di dalamnya dikelola oleh negara dan digunakan sepenuhnya demi kemakmuran rakyat (Indonesia)? Kenapa yang dimakmurkan justru kedua negara sesuai isyarat pejabat ESDM tadi? Isyarat Bung Karno di awal kemerdekaan dulu mutlak disimak, bahwa berbagai tambang yang dimiliki bangsa Indonesia tidak usyah terburu dieksploitasi sampai bangsa Indonesia memiliki tenaga ahli yang cukup untuk mengelolanya sendiri. Agaknya hal inilah yang diabaikan banyak elit dan pengambil kebijakan di republik ini. Entah sampai kapan. Ketika masalah pertambangan kian berkembang, ternyata bukan hanya soal tenaga ahli, namun yang mutlak dicegah adalah monopoli kawasan tambang oleh segelintir perusahaan-perusahaan asing difasilitasi oleh segelintir elit negeri. Inilah yang kini terjadi. Kembali pada kerjasama geologi Indonesia Malaysia di perbatasan, maka sudah selayaknya dirumuskan kembali pada tataran kebijakan yang lebih tinggi guna mengkontra asymmetric warfare oleh Malaysia di perbatasan: BATALKAN. Tak bisa tidak. Mumpung belum berlarut seperti kasus Freeport, Blok Mahakam dan banyak lagi Blok tambang yang kontrak karyanya terus menerus diperpanjang dengan alasan sumberdaya (manusia, uang dan teknologi) Indonesia belum mampu. Berikut akan digambarkan sepintas terkait perbandingan budget seperti disinggung pada awal tulisan ini. Pertanyaannya: apakah peperangan asymmetric lebih murah dari aspek biaya daripada symmetric warfare? Memang belum ada studi ataupun belum ditemui data perbandingan secara spesifik. Alasan pokok kenapa trend kolonial sekarang bergeser dari hard power ke smart power, salah satu urgensinya karena perang non militer dinilai lebih murah daripada hingar-bingar hard power yang belum tentu menjamin kemenangan, sebagaimana kegagalan militer AS dan sekutu sewaktu menginvasi Afghanistan dan Irak. Selanjutnya arti murah disini bukan bermakna rendahnya cost, atau tak banyak budget dalam menjalankan peperangan non militer, bukan itu maksudnya. Olah smart power yang cenderung non kekerasan —manuver tanpa asap mesiu— tampaknya lebih favorit di mata kaum kolonial di tengah gaduh demokrasi, HAM dan isue-isue lingkungan. Hal yang perlu dicermati pada kancah peperangan asimetris —sebenarnya perang simetris pun demikian— adalah kuat dan berperannya (pemanfaatan) media massa serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam geliat konstalasi, terutama para LSM dan media (mainstream) yang berafiliasi kepada asing. Maksud afiliasi disini selain memiliki link up ke luar, khususnya kelompok LSM tertentu yang memperoleh gelontoran dana dari asing. Itu alasan utama. No free lunch. Entah sponsornya negara, LSM donor, person, lembaga internasional, dll maka sinyalir kiprah LSM dimaksud niscaya tak lagi netral manakala mengemban aspirasi (rakyat), sebaliknya mungkin akan sarat (pesanan) kepentingan dari pihak sponsor (Silahkan baca: Indonesia Diserbu! http://www.theglobal-review.com). Ciri menonjol lain yang mutlak diwaspadai, bahwa LSM dan media di atas memiliki kecenderungan menghadapkan —kalau tidak boleh disebut mengadu domba— antara pemerintah versus rakyatnya melalui “kompor” media massa, sehingga pesan yang disampaikan cenderung mengeksploitasi benih-benih ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan yang diterbitkan, ataupun kegagalan serta penyimpangan program-program pemerintah. Secara lebih detail, merujuk hasil diskusi terbatas GFI (19/9), pimpinan Hendrajit, pihak LSM sengaja menciptakan isue untuk djadikan agenda. Kemudian agenda berubah program dan ujungnya (proposal) proyek. Tapi ini mekanisme intern, tak dibahas dalam catatan ini. Kembali ke topik smart power. Dalam tataran ISUE misalnya, tidak sedikit LSM yang didirikan, atau media online tertentu di-launching hanya untuk melayani kepentingan asing melalui menyebarkan isue guna membentuk opini publik. Atau seringkali isue dihembuskan melalui “sosok ciptaan”, kemudian sosok tersebut diherokan berbagai media seakan-akan (dicitrakan) berani melawan hegemoni Barat padahal justru ia sendiri bekerja untuk kepentingan Barat. Inilah false flag operation yang tidak disadari banyak elemen bangsa-bangsa di dunia (Baca juga: Edward Snowden dan Operasi Bendera Palsu, http://www.theglobal-review.com). Lain LSM bidang “isue”, lain pula LSM yag mengawaki TEMA. Bahkan dalam rangka mengusung sebuah “tema”, bukan sekedar memakai LSM saja, tetapi sering pula diawaki lembaga non pemerintah —institusi ekstrayudisial, komisi, dan lainnya— yang proses pendiriannya atas inisiasi asing atau lembaga donor berkedok capacity building, pengawasan, dan lainnya. Sedangkan untuk SKEMA kolonial biasanya dioperatori oleh elit tertentu ataupun (komprador) pejabat yang sengaja ‘ditanam’ pada departemen atau kementerian-kementerian strategis. Kenapa demikian, oleh karena komprador inilah yang kelak menelorkan berbagai kebijakan pemerintah namun pro asing. Maka terdapat fenomena pada institusi dan lembaga tertentu yang dianggap strategis, khususnya institusi terkait food and energy security banyak dijadikan sarang serta “peternakan” bagi asing. Selanjutnya akan digambarkan secara sederhana bekerjanya isu, tema dan skema pada asymmetric warfare serta bagaimana ia diawaki. Kiranya anatomi Arab Spring mampu menjawab keremangan maksud dalam perang non konvensional selama ini. Tak dapat dipungkiri. Tatkala ‘Musim Semi Arab’ menggoyang Jalur Sutera, ternyata “isue”-nya ditebar oleh Julian Assange lewat WikiLeak. Siapa tak kenal Assange? Kemudian “tema” gerakan ialah aksi massa non kekerasan diusung oleh Central Applied Non Violence Action and Strategies (CANVAS), anak organisasi National Endowment for Democracy (NED), LSM milik Pentagon. NED dijuluki sebagai LSM spesial ganti rezim; sedang eksekusi “skema” diawaki Mohamad Morsi melalui kendaraan Ikhwanul Muslimin (Baca: Revolusi Warna, Virus Ganti Rezim di Berbagai Negara, dan baca juga: Mencermati Pola Kolonialisme di Syria dan Mesir, http://www.theglobal-review). Adakah link up antara Assange, NED dan Morsi? Belum ditemui data dan informasi pasti, hanya upaya-upaya mereka seperti “disatukan” oleh media mainstream. Inilah bukti keadaan (circumstance evidence) yang harus disimak. Tak bisa tidak. Bukti keadaan tersebut mirip upaya tiga faksi pemberontak di Syria ketika berusaha menggusur Bashar al Assad. Mereka terkesan terpecah belah, tetapi sesungguhnya saling bekerjasama pada penciptaan opini publik: “betapa kejam dan brutalnya rezim Assad dalam membantai rakyatnya sendiri”. Dengan kata lain, ada invesible hand meremot dinamika konflik Syria dari kejauhan agar para pemberontak tetap satu tujuan meskipun berbeda cara dan jalan (Baca lengkap: Mencermati Pola Kolonialisme di Syria dan Mesir, www.theglobal-review.com). Pertanyaan lagi: apakah pelembagaan isu, tema dan skema tersebut tanpa biaya? Tentunya tidak. Dalam asymmetric warfare yang melanda Indonesia di bidang tembakau misalnya, kampanye (penyebaran isu) anti rokok yang dikeluarkan Bloomberg Initiative relatif besar. Ini sebagain kecil datanya: (1) Dinas Kesehatan Kota Bogor: 228.224 dolar AS 2009-2010; (2) Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: 280.755 dolar AS 2008-2010; (3) Dirjen Pengendalian Penyakit Tidak Menular: 529.819 dolar AS 2008-2010; (4) Komnas Perlindungan Anak Indonesia: 455.911 dolar AS dan 210.974 dolar AS 2008-2010; (5) Swisscontact Indonesia: 360.952 dolar AS 2009-2011; (6) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI): 454.480 dolar AS 2008-2010; (7) Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA): 366 dolar AS 2010-2012, dan lain-lain. Data soal pendanaan untuk pelembagaan isue-isue di atas, belum termasuk fatwa haram merokok yang konon juga tidak gratis. Sesuai dokumen GFI dalam pernyataan sikapnya (5/7/20120), ternyata Indonesia Corruption Watch (ICW) pun menerima USD 45.470. Luar biasa! (Baca: Pernyataan Sikap Global Future Institute (GFI) tentang Upaya Asing Hancurkan Industri Rokok dan Petani Tembakau di Indonesia, http://www.theglobal-review.com). Dari data-data ini dapat dibaca, bahwa salah satu serangan asimetris asing —baru salah satu lho, banyak sektor lainnya— terhadap perekonomian Indonesia sesungguhnya ‘satu komando’ dan sistematis karena melibatkan lintas elemen bangsa di internal negeri. Mereka tahu, atau pura-pura tidak tahu sebab turut menikmati? Bukankah secara koridor, aktivitas ICW di luar ranah kampanye anti rokok? Ada alasan pembenar memang, bahwa gelontoran dana tersebut dikemas dalam paket kampanye good governance terkait transparansi dan akuntabilitas pemerintah soal kebijakan tembakau (Baca: Heboh RPP Tembakau: Monster Kebohongan Versus Kepentingan Nasional RI, http://www.theglobal-review.com). Analisa Karen Brooks mungkin dapat dijadikan rujukan akhir untuk menyudahi bahasan tentang asymmetric warfare ini. Ia mengisyaratkan, bahwa Arab Spring di Mesir sejatinya belajar dari aksi-aksi massa di Jakarta era 1998-an yang berujung ambruknya rezim Orde Baru. (Baca: Karen Brooks, Indonesia’s Lessons for Egypt, 17 Februsari 2011, http://www.cfr.org/indonesia/indonesias-lessons-egypt/p24156). Agaknya telaahaan Brooks, disamping informatif, inspiratif, juga mutlak ditelusuri terkait perkembangan situasi dulu, kini dan kedepan. Maknanya sudah jelas kok. Ketika Arab Spring dalam kajian ini dinilai sebagai asymmetric warfare yang digelar oleh Barat di Jalur Sutera, bukankah pola NED sewaktu menggoyang Mesir justru meniru pola gerakan reformasi di Jakarta? Tampak tidak begitu sulit jika berniat membuka kunci tabir lengsernya Pak Harto dulu. Ya. Bahwa gelombang reformasi yang melanda Indonesia beberapa tahun lalu sebenarnya merupakan pagelaran peperangan non militer yang dijalankan Barat dengan difasilitasi oleh lakon lokal dan dibantu elemen-elemen internal di republik ini, berbahan isu Anti-Korupsi, Anti-Kolusi, Anti-Nepotisme (Anti-KKN) yang ketika itu marak terjadi (sekarang justru lebih marak lagi). Sadarkah kita? Demikianlah gambaran sederhana tentang apa dan bagaimana asymmertic warfare itu berlangsung. Contoh dan permisalan mungkin ada yang tidak detail, kurang lengkap, atau kurang menggigit, dll. Silahkan cari dan analogkan sendiri pada hal lain. Yang ingin penulis tekankan, bahwa peperangan non militer bukanlah domain negara miskin, atau semata-mata ‘milik’ kaum lemah, atau kelompok marginal, guna melawan golongan dan negara yang lebih kuat daripadanya, sebagaimana ilustrasi di awal tulisan soal geliat OTK dan al Qaeda. Bukan! Tidak begitu. Akan tetapi seperti halnya peperangan konvensional yang memakai kekuatan militer, perang non militer juga sebuah “sistem” dalam peperangan, hanya sifat dan karakter pertempurannya selain tanpa asap dan letusan peluru juga spektrum serta medan perangnya sangatlah luas. Demikianlah adanya, demikian sebaiknya. Penulis adalah  Research Associate Global Future Institute (GFI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline