SUDAH ada belasan tiang yang berdiri kokoh. Ketika tiang pertama didirikan, saya ikut menyaksikan. Disebuah tanah lapang berdekatan dengan hutan. Terpisah dari perkampungan.
Ratusan warga dengan semangat yang sama, mendirikan tiang kayu ulin yang sudah diukir. Prosesi awal pembangunan balai adat Lepau Kenyah, kampung Tepian Buah, Kecamatan Segah, kabupaten Berau.
Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana megah dan besarnya balai adat yang dibangun itu. Ukurannya 58 m x 36 m. Rencananya akan ada perhelatan akbar akan dilaksanakan, Mubes Dayak Kenyah Lepoq Jalan dengan undangan yang ratusan bahkan ribuan orang. Karenanya itu, balai adat ini dibangun bersama infrastruktur lain disekitarnya.
Seperti bangunan lama yang masih terlihat di beberapa kampung (Lamin) yang masih tetap kokoh. Dengan bahan kayu ulin yang diameter besar untuk tiang utamanya dan beberapa tiang lainnya, diyakini balai adat yang dibangun kelak selain dinikmati generasi sekarang, generasi berikutnya akan menikmatinya.
Membangun rumah adat, sama dengan mengukirkan sejarah bagi generasi berikutnya. Ditempat ini pula, akan terus dipertahankan nilai luhur yang ada dan tumbuh dimasyarakat dayak Kenyah khususnya, yang tidak akan tergerus arus budaya yang masuk. Disadari, perlu monumen abadi yang dipersembahkan dalam bentuk balai adat.
Dan, saya kembali lagi berkunjung ke lokasi itu, beberapa pekan setelahnya, sudah ada belasan tiang pohon ulin utuh yang telah berdiri. Tegak dengan formasi teknologi tradisional dayak dalam membangun rumah adat mereka. Tiang itu tak lagi mulus seperti yang saya saksikan sebelumnya. Semua sudah berukir.
Suku dayak kenyah dan suku dayak umumnya, dikenal sebagai pemahat dan pembuat ukiran mempunyai nilai seni yang tinggi serta mengandung makna filosofis dalam kerajinan tangan termasuk ukiran. Setiap ukiran, menurut kepercayaan memiliki makna simbol tersendiri dan dipercayai ada roh pelindung.
Saya mencermati, tiang yang sudah dirikan dengan jarak yang sama. Ada aura dari setiap goresan ukiran hingga ke ujung paling atas tiang. Tak ada warna dipoleskan. Semua memanfaatkan warna alami kayu ulin kecoklatan.
Tak jauh dari lokasi bangunan utama, ada dua orang asyik mengerjakan proses pengukiran kayu dari pohon ulin dalam posisi rebah. Dengan sabar mengerjakan motif dalam satu tiang itu. Saya berfikir, dua seniman itu orang hebat.
Bayangkan, dalam satu batang pohon ulin yang diketahui keras dan berserat, bisa diselesaikan hanya dalam tempo dua hari. Saya tidak berani mengganggu konsentrasi dua orang pengukir itu. Sebab, salah sedikit saja, motif dan simbol yang sedang dikerjakan bisa salah.
Mereka hanya mengatakan, setiap batang bisa diselesaikan selama dua hari, baik dengan motif yang sama maupun motif lainnya. Saat itu, mereka sedang mengerjakan 'tiang lima'. Tidak banyak tahu arti 'tiang lima' yang dimaksud. Apakah di luar bangunan utama atau tiang yang akan ditempatkan dibagian depan atau samping bangunan utama.