Lihat ke Halaman Asli

Mendidik Jenius, Membangkitkan Seniman*)

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13364643231836661469

Di antara semua jenis kerakusan, ada salah satu yang menyehatkan, asalkan ia dikaitkan dengan... belajar. Dan di antara semua pengidap "kelainan" ini, ada yang disebut sebagai omnivorous learner, karena mereka nyaris melahap segala rupa. Selalu ada hal-hal yang merangsang nafsu belajar mereka setiap harinya, seakan dunia ini merupakan wahana permainan.  Ada yang memuaskan nafsunya melalui berbagai pertanyaan, bacaan, maupun eksperimen. Namun tidak sedikit yang melampiaskan hasrat ini melalui eksplorasi fisik, sebagaimana dilakukan para penyuka olah tubuh, penjelajah Alam, penggemar fotografi, dan -tentu saja- kanak-kanak. Di antara semua bentuk keliaran (yaitu perilaku yang cenderung memilih jalan yang tak biasa), ada yang sangat bermanfaat, asalkan ia berurusan dengan ... hasrat belajar.  Keliaran semacam ini seperti pernyataan tanpa kata-kata, bahwa kita mungkin telah menyederhanakan hal-hal yang tak sederhana, atau bahkan bertindak tergesa-gesa. Siapa tahu pertanyaan terbaik itu belum pernah diajukan ? Atau jangan-jangan jawaban terbaik itu sedang dalam proses perbaikan ? Kehidupan selalu berubah, keragaman perspektif adalah berkah, membuat upaya memaksakan jawaban tunggal atas sebuah persoalan itu ... payah.  Adalah Leonardo Da Vinci, salah satu sosok rakus dan liar yang seumur hidupnya berumah di dalam ‘dunia penuh kemungkinan’ semacam itu. Seniman eksentrik itu diam-diam melanggar sejumlah aturan pada jamannya, membedah mayat yang makin membusuk di waktu-waktu istirahatnya, demi sebuah hasrat untuk mempelajari anatomi tubuh manusia. Namun sosok Da Vinci terpenting yang seringkali luput dari pengamatan kita adalah ... kanak-kanak. Termasuk di antaranya adalah jiwa kanak-kanak dalam diri kita. Mari kita lihat betapa alamiahnya rakus dan liar yang satu ini; jelas ini sama sekali bukan kelainan ! Sebuah tes untuk menguji adanya kemampuan divergent thinking dilakukan terhadap 1.600 kanak-kanak berusia 5 tahun, atas prakarsa George Land dan Beth Jarman, pengarang buku Breakpoint and Beyond: Mastering the Future Today.  Divergent thinking -atau berpikir lateral menurut Edward de Bono- ini merupakan tanda-tanda awal akan adanya kapasitas kreatif, karena menggambarkan berapa derajat kebebasan berpikir seseorang.  Hasil tesnya ternyata sangat mencengangkan, karena 98 % dari seluruh bocah kindergarten tersebut memiliki skor setingkat para jenius ! Sebagai pembanding, dari sejumlah 280.000 orang dewasa yang pernah mengikuti tes -yang biasa digunakan NASA dalam merekrut ilmuwan yang paling inovatif itu-, hanya ada sedikit saja yang bisa dikategorikan sebagai jenius seperti mereka. Dan yang dimaksud sedikit itu adalah ... 2 % ! Kejutan itu tidak berakhir sampai di sini. Dalam waktu lima dan sepuluh tahun kemudian, kanak-kanak yang sama kembali diundang untuk menjalani tes serupa. Namun mereka -yang kini sudah mengenal pendidikan formal- itu bukan lagi merupakan kumpulan besar jenius cilik. Hanya ada 30 % yang masih tetap jenius -saat mereka mencapai usia 10 tahun, jumlah itu bahkan melorot lagi ke tingkat 12 % -saat usia mereka 15 tahun !  Inilah saat dimana judul sebuah film Disney : "Honey, I Shrunk the Kids" tidak lagi terdengar seperti metafora, melainkan menjelma menjadi kenyataan yang amat brutal.  Dan sumber kenyataan brutal itu tak lain adalah ...sistem pendidikan ! .

.

Pertanyaannya : Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita ? Sistem ini sesungguhnya juga merupakan korban, tepatnya korban dari cara berpikir kita yang semakin menjauhi hal-hal alami. Lihatlah bagaimana siswa sekolahan digelandang dalam ‘mekanisme penertiban’ yang dioperasikan seperti mesin pabrik, seakan-akan mereka hanyalah produk bernomor seri yang harus berakhir sebagai output yang seragam.  Semua proses dijalankan secara linier dan mekanistis, lengkap dengan penerapan standardisasi yang membuat para siswa itu makin mirip dengan makanan cepat-saji, demikian kelakar seorang pakar kreativitas dan inovasi bernama Sir Ken Robinson.  Bahkan atas nama kendali dan ketertiban, jawaban yang ‘benar’ sengaja dibatasi -untuk tidak menyebut hanya satu-, itupun masih dengan catatan bahwa yang dimaksud ‘benar’ adalah yang disepakati para guru. .

13366368251863075512

. Apa yang selanjutnya terjadi pada kanak-kanak itu adalah ... tragedi. Ketika pendidikan formal berhasil mengubah individu -yang tadinya unik itu- menjadi ...robot yang lebih tertarik untuk menghafal jawaban tunggal, sesungguhnya berbagai kekuatan alami dalam diri mereka sedang bersiap-siap untuk tidur panjang.  Salah satu kekuatan itu adalah divergent thinking, sebuah kapasitas kreatif yang mampu menginterpretasikan pertanyaan dengan begitu banyak cara, sehingga memungkinkan mereka untuk menemukan jawaban yang lebih kaya.  Sayangnya, siswa tidak diperkenankan untuk mempercayai dan mengembangkan interpretasinya sendiri; mereka bahkan belajar untuk bergantung pada persetujuan orang lain, dimana guru dan lembar kunci jawaban tunggal adalah sandaran pertama mereka.  Dengan semua gambaran ini, tidaklah mengherankan jika potensi kreatif mereka tertidur, atau bahkan pingsan !  Tentunya juga tidak mengejutkan menyaksikan antusiasme anak-anak muda yang semakin memudar terhadap pendidikan formal.  Ketika anak-anak desa semakin banyak -dan semakin awal- meninggalkan sekolah karena tidak merasakan manfaatnya, rekan-rekannya di kota tetap memburu sekolah - meski didasari motivasi yang tidak berasal dari hasrat terdalamnya.  Tirani dalam sistem pendidikan itulah yang -dengan suntikan anastesinya- telah melukai dimensi batin dan membunuh hasrat belajar siswa yang sesungguhnya dilahirkan sebagai jenius alami. Apakah artinya belajar ? Apakah gunanya pendidikan ? Belajar adalah aktivitas batin; jelas bukan belajar namanya jika sebagian dimensi batin kita tertidur, dan hasrat terdalam kita tak hadir.  Juga tak akan pernah ada jejaknya, jika belajar itu dilandasi motivasi yang tidak berasal dari dalam diri.  Kita adalah Alam, karena itu kita membutuhkan ruang pertumbuhan alami. Segala yang alami itu selalu bertumbuh secara innate process, dimana puncak kepuasan terjadi setelah keunikan kita yang tersembunyi itu terekspresikan.  Jika hasrat alami ini dihalang-halangi, maka kita akan menghadapi sabotase diam-diam yang dilakukan oleh dimensi batin yang diabaikan dan terluka tadi.  Sabotase ini mencapai puncaknya saat seseorang merasakan berbagai indikasi seperti : kekosongan, mati rasa, dan ... tidak peduli.  Selanjutnya ... perlukah kita terheran-heran -sekali lagi- menyaksikan betapa banyak orang-orang yang berpendidikan, namun tidak diiringi dengan kepedulian ?  Sepertinya ketidakpedulian itu bukanlah semacam kejahatan, melainkan ekspresi dari ... rasa sakit yang tersembunyi. Sungguh mengenaskan mengetahui bahwa sistem pendidikanlah ternyata penyebab tragedi kemanusiaan sebesar ini, tepatnya sistem pendidikan yang dijalankan secara mekanistis. .

1336637709171330471

.

Adalah seniman besar bernama Pablo Picasso yang mengatakan bahwa : “Setiap anak terlahir sebagai seniman”, meski ia ragu apakah jiwa seni tersebut akan tetap bertahan setelah anak-anak  tumbuh besar.  Ada juga Albert Einstein yang mengatakan bahwa pendidikan seharusnya merupakan seni, dengan puncak pencapaian yang berupa “bangkitnya kecintaan pada ekspresi kreatif dan pengetahuan”.  Seni memang berhubungan dengan upaya menemukan segala sesuatu sebagai pengalaman estetis, dimana bersatunya jiwa dan raga kita di dalam prosesnya membuat kita merasakan pengalaman puncak yang menggetarkan. Pengalaman estetik inilah yang selamanya akan hidup, bahkan menghidupkan hasrat terdalam seseorang, entah itu digunakan untuk terus bertanya, terus mencari, terus mengagumi, serta terus melibatkan diri dalam kehidupan yang lebih besar.  Seni mendidik semacam inilah yang selayaknya menjadi tumpuan harapan kita, sembari menggantikan pendekatan mekanistik yang tanpa jiwa ... Jelas kita tidak membutuhkan guru yang cenderung menyederhanakan masalah dengan cara memaksakan suntikan pengetahuan sedemikian rupa, karena dampak semua suntikan semacam itu adalah anastetik (an-aesthetic : mati rasa, tidak merasakan getaran). Pendidik seyogyanya memiliki sentuhan personal, karena hanya sentuhan personal sajalah yang bisa membangkitkan hasrat personal siswa. Pendidik juga berperan bagai penanam yang memfasilitasi ruang-tumbuh siswa, memupuk bakat alamiahnya sedemikian rupa, hingga mencapai tingkat dimana sang siswa tidak perlu lagi bersandar pada bimbingannya. Dengan cara inilah pendidik memuliakan kekhususan yang dilekatkan Tuhan pada setiap diri, sambil mengembangkan selera estetis siswa untuk terus mencari hal-hal yang menggetarkan batinnya sendiri. Akhir kata, biarlah kerakusan dan keliaran itu berlangsung alami tanpa perlu penertiban, selama itu menyangkut hasrat belajar. Karena kelak pada waktunya, di dalam batin yang selalu dihidupkan itu akan terdengar sebuah panggilan yang berasal dari hasrat tertinggi. Hasrat di tingkat itulah yang akan mentransformasikan sang pembelajar menjadi sosok yang merasakan kerinduan yang teramat sangat, entah untuk sekedar peduli, berbagi, dan berpartisipasi. Dan sungguh, kita teramat sangat menantikan kebangkitan semacam itu. [*]

. *) A Tribute for Sir Ken Robinson, as well as for they who say : "Life is suppose to be magic"  in so many ways ...  ;-) **) Semua gambar dipinjam dari www.ted.com : Sir Ken Robinson, Changing Education Paradigm.

***) Gerakkan kursor pada gambar, maka Anda akan menemukan catatan kecil saya ... ;-)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline