"Saya bermimpi melihat sebuah tanah baru yang penuh harapan, Tuan. Namanya Te-Pito-o-Te-Henua", kata Hau Maka kepada Hotu Matua, kepala suku Hiva. Baru mendengarnya saja hati Hotu Matua sudah serasa dipenuhi harapan. Ia tidak ingin membuang-buang waktu. Segera dipilihnya tujuh orang sukarelawan -termasuk Hau Maka- untuk menemukan Te-Pito-o-Te-Henua, sebuah istilah Tahiti yang artinya Pusar Bumi itu. Ribuan kilometer dijelajahi oleh para pelaut Polinesia yang pemberani itu, hingga sampailah mereka pada sebuah titik di samudera Pasifik, dimana mereka benar-benar mendapati sebuah pulau kecil dengan kawah yang besar. Semuanya benar-benar sesuai dengan gambaran dalam mimpi Hau Maka !
Begitu terasing, seperti sebutir kacang yang mengapung sendirian di tengah kolam renang yang amat luas. Begitu jauh dari manapun, hingga tak ada pemandangan ke luar yang terlihat kecuali hamparan samudera. Bahkan daratan 'terdekat' yang bisa tertangkap oleh mata hanyalah ...bulan.
Meskipun kecil, pulau segi tiga yang hanya berukuran 22 x 11 kilometer ini bagaikan surga. Hutan yang lebat, barisan pohon kelapa, beragam satwa, tempat berbiaknya macam-macam burung dan hewan laut, makanan melimpah, semua itu bak kapal mewah yang sudah pasti akan sangat memanjakan penumpangnya. Lebih menarik lagi, pulau itu tidak pernah ditemukan oleh manusia sebelumnya ! Betapa senangnya memiliki kabar gembira untuk disampaikan kepada kepala suku ! Tak lama lagi, Pusar Bumi itu akan menjadi rumah baru mereka, menggantikan kepulauan Marquesas, rumah lama mereka yang porak-poranda.
Hotu Matua kemudian memboyong sekitar 100 orang yang terdiri dari keluarga dan orang-orang kepercayaannya ke pulau surgawi tersebut. Mereka kerasan menjadi bagian dari pulau kecil itu, tak ada yang keberatan meski terisolir dari mana-mana. Bukankah mereka sendiri sudah saling memiliki ? Bukankah ada mekanisme regenerasi, yaitu kawin-mawin dan beranak-pinak ? Dengan begitu, seluruh warga Pusar Bumi -yang kelak dikenal dengan nama Rapa Nui itu- akan benar-benar diisi oleh para ...brothers-in-law. Dan ditambah dengan dukungan Alam sebesar itu, maka hidup mereka sudah pasti akan mengalir seindah dongeng ! Demikianlah rencananya. Tapi sayangnya bukan demikian jalan ceritanya ! Kurang-lebih seribu tahun kemudian, pulau yang selalu terisolir dan tertutup itu sekali lagi ditemukan oleh peradaban luar. Kali ini pengunjungnya adalah kapten Jacob Roggeveen, seorang navigator Belanda yang menginjakkan kakinya pertama kali di pulau itu pada hari Paskah (Itu sebabnya pulau itu memiliki nama Eropa Easter Island, Pulau Paskah). Ia menuturkan, betapa gersang dan menyedihkannya pulau tersebut. Tak ada hijauan, tak ada satupun pohon, tak ada satwa liar seperti burung dan sumber protein lainnya, apalagi hewan yang diternakkan. Bahkan tak ada perahu untuk menangkap ikan (dan melarikan diri, jika diperlukan...) ! Tapi anehnya, terdapat ratusan patung megalitik nan besar dan megah berbaris di seluruh pesisir, meski kebanyakan di antaranya bertumbangan. Mereka menyebut patung-patung batu itu sebagai moai.
"Mengherankan. Untuk apa mereka membangun moai raksasa yang jumlahnya hampir 900 di pulau sekecil itu ? Bagaimana cara mereka membawanya dari bukit bebatuan sampai jauh ke pesisir ?", demikian pertanyaan para ilmuwan.
"Adanya patung raksasa menandakan bahwa peradaban dan teknologi mereka pernah maju. Tapi mengapa kehidupan mereka sekarang ini justru memperlihatkan ketertinggalan ?" "Dan jika pulau gersang itu sudah menjadi neraka, mengapa mereka tidak pindah ke tempat lain ?" "Serius gitu tak ada burung ? Ya ampun ...bukankah tarian mereka yang penuh goyang pinggul itu memerlukan bulu-bulu burung ?" ....(Ups, ini sih bukan kata ilmuwan . Ini mah kata saya...;-))
Sampai hari ini, semua keheranan dan rasa ingin tahu tentang riwayat pulau itu hanya bisa dilampiaskan melalui spekulasi, sains dan eksperimen. Patung-patung batu itu bermeter-meter dan berton-ton beratnya, tak mungkin mereka berjalan sendiri sejauh belasan kilometer dari bukit menuju pesisir. Dengan demikian, pasukan yang pernah terlibat dalam proyek pembangunan yang besar (dan aneh) itu juga tak mungkin kecil, apalagi 'lemah' seperti yang tersirat pada wajah warga lokal yang ada sekarang.
"Meskipun kita tak melihat satupun pohon di pulau itu, sejumlah besar pohon pasti telah digunakan untuk menggelindingkan moai raksasa dari satu tempat ke tempat lain", kata para arkeolog. "Dan berdasarkan analisa Pollen pada tanah, pulau itu jelas-jelas terbukti pernah memiliki hutan yang lebat" ... "Sejumlah makam juga menunjukkan bahwa penduduknya pernah membengkak. Jadi mereka pernah punya sumber daya manusia yang cukup untuk membangun ratusan monumen raksasa." " Tapi ledakan penduduk itu jugalah yang mungkin menggerakkan mereka untuk menghabiskan sumber daya Alam secara membabi buta"...Berbagai eksperimen dilakukan untuk mengetahui bagaimana cara masyarakat terisolasi itu memindahkan moai.
Perdebatan di kalangan para ilmuwan itu tampaknya masih jauh dari selesai. Jika hutan sengaja dikorbankan demi patung-patung batu itu, pasti ada yang sangat istimewa pada monumen-monumen itu. Tapi anehnya, jika monumen mahal yang dibiayai hutan itu sedemikian penting, mestinya para warga lokal tidak membiarkannya merana dan ...tersungkur !
"Mungkinkah leluhur kami begitu bodohnya hingga sampai hati menghabisi pohon terakhir ? Nenek moyang kami sudah pasti pelaut, karena mereka datang dari Polinesia, dan memilih tempat yang jauh dari mana-mana ini. Mana ada pelaut yang lupa bahwa pohon sangat dibutuhkan untuk membuat perahu ? Mereka juga pemakan ikan. Mana mungkin nelayan lupa bahwa mereka perlu perahu kayu ?", ucap seorang warga lokal yang kebingungan memahami adat-istiadat dan sepak-terjang leluhurnya sendiri. "Kami juga menemukan tulang-belulang tikus yang amat banyak di pulau kalian. Dalam lingkungan yang sudah kehilangan keseimbangan alami seperti itu, mahluk kecil yang tadinya bukan bahaya itu bisa jadi bahaya ketika populasinya meledak, karena predator alaminya musnah. Tikus inilah yang menyempurnaan berbagai pengrusakan yang telah dimulai oleh leluhur kalian. Tikus-tikus itu pasti bukan hanya merusak induk tanaman, tapi juga memakan semua benih tanaman", jawab para ilmuwan. "Benar. Kau tidak perlu terlalu jahat untuk menebang seluruh pohon. Cukup sedikit kebodohan, sedikit ketakpedulian, dan sedikit ketamakan. Sedikit ini dan sedikit itu, maka cukuplah sudah semua itu untuk mengundang mimpi buruk", kali ini tetangga saya yang angkat suara ;-)."Salam lekom mister presiden, eh ... oom Moai. Wajah Anda kok familiar yah. Anda yakin bahwa Anda produk Polinesia, bukan ... Indonesia ?" ;-)
Moai-moai itu akhirnya ditegakkan kembali setelah selama 250 tahun dibiarkan tersungkur. Mereka benar-benar merupakan pemandangan yang sangat mengagumkan, dengan ekspresi yang amat bervariasi, belum lagi profil rahang yang kokoh dan hidung yang tegak itu. Barangkali moai-moai raksasa itu memang dibuat untuk memamerkan kekuasaan dan kebanggaan keluarga atau klan ... juga untuk menjaga mereka dari kejahatan yang berasal dari luar. Jika benar itu yang menjadi tujuannya, sayang sekali, karena perpecahan di antara mereka sendiri itulah yang kemudian menjadi tragedi yang memilukan.
"Kami juga menemukan sejumlah besar sisa tulang-belulang manusia yang mengisahkan bahwa mereka sempat mengalami masa-masa perang, kelaparan, bahkan ...kanibalisme"
"Benar. Terbukti mereka juga memiliki sebuah gua di bagian tenggara pulau yang diberi nama Ana Kai Tangata. Artinya : Gua tempat memakan manusia."
^_^
Demikianlah. Ketika kehancuran sistemik di tataran internal sudah terjadi, maka kehancuran oleh pihak eksternal hanyalah soal waktu. Dan ketika ecocide (pengrusakan ekosistem) sudah dimulai, maka tak ada lagi yang akan melindungi mereka dari genocide (pembasmian etnis), bahkan homicide (pembunuhan manusia) yang dilakukan oleh mahluk remeh-temeh seperti ..... bakteri dan virus.
Antara tahun 1800 - 1900, warga lokal yang sudah melemah dan hanya berjumlah sekitar 4000 orang itu sekali lagi mengalami bencana. Dua pertiga di antara mereka diculik dan diperbudak oleh penjajah Chili dan Peru, sisanya menderita sipilis dan macam-macam penyakit mematikan yang ditularkan oleh pendatang. Jika dahulu Hotu Matua, leluhur mereka, memboyong sekitar 100 orang ke surga kecil itu, seribu tahun kemudian jumlah mereka kembali ke angka yang hampir sama, yaitu 111 orang.