Lihat ke Halaman Asli

Karena Orang Saleh Tinggalnya di Kuburan

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13097076781495904673

Pagi 2 Juli 2011, sesudah jogging,seperti biasa aku duduk manis di 'singgasana' kecilku sambil menulis-nulis. Seekor kupu-kupu hitam memasuki ruangan, terbang berkeliling, dan baru keluar hampir sejam kemudian. Aku sempat bertanya-tanya, apakah pesan yang dibawanya ?Dari dulu aku senang menghubungkan antara kunjungan kupu-kupu ke dalam rumah dengan kunjungan tamu atau rejeki.Entah mengapa waktu itu melintas dalam pikiranku, bahwa kunjungan tamu kali ini akan lebih 'intensif' dari biasanya. Tak lama sesudah itu ada ketukan di pintu ruang kerjaku. "Tetangga sebelah bertanya, bolehkah ia memangkas pohon bunga kupu-kupu kita yang ada di samping garasi ?", tanya Jajat, driver kami. "Boleh, tapi secukupnya saja ya. Pastikan kamu yang mengawasi. Kami suka pohon itu." Aku baru akan melanjutkan aktivitasku yang sempat terputus, namun sebuah pengalaman yang menyedihkan tiga tahun lalu tiba-tiba terkenang. Waktu itu sebuah pemangkasan dilakukan secara berlebihan terhadap pohon beringin di depan rumah kami, dengan alasan 'mengganggu kabel listrik dan telepon'. Segera aku menghambur keluar untuk mengawasi sendiri bagaimana proses pemangkasan pohon itu berlangsung. Aku tidak ingin mengulang kembali rasa sedih, protes dan marah-marah yang pernah terjadi waktu itu. Sayangnya aku terlambat ! Pohon bunga kupu-kupu itu sudah nyaris gundul, meskipun sosoknya masih cukup tinggi. Tetangga depan rumah itu tampak sedang mengatur-atur para pekerja. Dengan nada dingin aku bertanya kepadanya: "Mengapa tidak menunggu ijin saya ?" "Cuma sedikit kok. Lagipula dia akan tumbuh dengan cepat", jawabnya sambil menghindari tatapan mautku. Itu masih belum seberapa ternyata. Potongan dahan dan ranting memenuhi jalan, membuat mataku serasa berkunang-kunang. Benar saja, dua pohon beringin yang pernah kupersoalkan tiga tahun lalu karena dipangkas terlalu banyak, sekarang malah mengalami ...penebangan ! "Mengapa beringin itu ditebang ? Itu kan tidak tumbuh dengan cepat ?", tanyaku dengan nada tinggi. "Tidak tahu. Itu sih keputusan RT. Saya hanya nitip mangkasin pohon kupu-kupu ini", jawabnya agak takut sambil menunjuk pohon kupu-kupu di depan rumah KU ...Ya,mungkinkarena di halamannya sendiri sudah tidak lagi ada pohon kupu-kupu, jadi ia ingin sedikit bersenang-senang dengan cara ... mengerdilkan pohon tetangga. Alangkah mudahnya untuk menuruti rasa murka di dalam dada ini ! Tapi aku malah memilih jalan yang lebih sulit, yaitu : melambatkan nafas, lalu menggeram dalam nada datar pada kunyuk-kunyuk itu: "Ada apa dengan tata-krama? Apa susahnya bicara dan berunding ?"

***

Aku sudah tak bisa melanjutkan aktivitas menulisku. Amarah ini butuh pelampiasan, sementara pak RW sedang tak bisa dihubungi. Gerutu dan sumpah-serapah juga mengalir lewat Telkomsel. Inilah salah satu kegunaan Telkomsel ternyata, yaitu memudahkan orang yang berada di Bandung (aku) dan di Malang (suami) untuk saling berbagi kekesalan hati.

"Goblog sekali tetangga yang mengebiri pohon kupu-kupu kita itu ! Mana dia tahu bahwa aku sengaja memeliharanya untuk menjadi wind breaker, supaya kamar Dimas tidak terlalu berangin dan tidak langsung tersorot matahari ?" "Dan pohon beringin itu ... Sejak kapan pohon beringin mengganggu ? Kalau ia dianggap menggelapkan sebuah jalan, apa manusia terlalu malas, terlalu lemah, atau terlalu arogan untuk menggunakan lampu yang sudah lama ditemukan itu ? Lagipula, kalau itu masalahnya, apa susahnya meminta kita memasang lampu ?" "Jelas mereka tidak tahu bahwa sebuah lingkungan yang sehat itu membutuhkan 6 pohon untuk menyediakan udara sehat bagi setiap orang, atau 15 juta pohon untuk 2,5 juta penduduk Bandung. Tapi masa sih mereka tidak tahu bahwa pohon itu bukan milik bapaknya ? Kalau begini, siapa yang melakukan penggelapan sebenarnya ?" "Di Australia, orang memangkas ranting kecil pohon yang ada di depan rumahnya tanpa ijin saja sudah didenda $ 2000. Ini malah aparat RW yang menghabisi kekayaannya sendiri. Kok Indonesia banget ya."

***

Ya, Indonesia banget itu terasa sejak aku berbicara dengan tetangga yang lancang itu. "Pak RT yang bertanggung-jawab", katanya. "Pak RW yang menyuruh kami. Kami hanya diminta memancung", kata tukang-tukang jagal itu. "Saya cuma menyetujui anggarannya. Ide ini dari pak RT", kata pak RW setelah ia berhasil kuhubungi. Dan coba tebak apa kata pak RT ?Yak, betul. Ia menyalahkan semuanya, baik pak RW yang tidak mau menunggu dia sebelum eksekusi itu dimulai, juga para tukang jagal yang terlalu bernafsu menghabisi. Cuma setan gundul dan Yahudi saja yang belum sempat dituding, juga Snouck Hurgronje dan SBY. Bahkan Jajat,driver kamipun hampir disalahkan, karena ia sempat menyaksikan kedatangan para tukang jagal itu, namun tidak segera memberitahukannya kepadaku.

"Bukankah Bapak yang memerintahkan eksekusi, dan bukankah pihak Bapak juga yang memegang gergajinya ?", tanyaku pada pak RT, sang penuduh itu. "Tahukah Bapak, bahwa kami sengaja memelihara semak belukar di rumah, karena kami menyukai burung-burung liar di sini ? Orang memang rata-rata membuat taman yang apik di rumah mereka, tapi kami memilih taman belukar untuk burung perkutut dan tekukur liar yang suka bermain di halaman kami", kataku sambil mengenang burung kolibri berdada kuning kunyit, oranye dan ungu yang suka menghisap madu bunga kupu-kupu. Dari lantai atas, sesekali aku beruntung bisa menyaksikan kemewahan itu. Menjelang hujan, burung-burung walet berhamburan dan membuat tarian liar yang membuat waktu seakan berhenti. "Tahukah Bapak mengapa di tempat kita masih ada burung-burung seperti itu? Karena pemukiman kita ini dekat kuburan kuno, dan kuburan kuno itu penuh pohon besar yang tak diganggu. Cuma orang mati yang saleh di negeri ini, Pak, karena mereka tidak menebang pohon. Itu sebabnya burung-burung liar merasa aman di komplek orang mati", kataku lagi.

***

Ucapan simpati dan belasungkawa masih mengalir lewat Telkomsel dan fesbuk.

"Mestinya Bunda ikuti cara orang Bali dengan melilitkan selendang pada pohon yang dianggap wingit. Selendang itu sebuah pertanda bahwa pohon itu ada penunggunya, yaitu Bunda", kata Fahmi menghiburku. Sungguh aneh negeri ini, segala yang aman-sentosa itu baru bisa terjadi kalau ada misteri yang menakut-nakuti. That makes us a really fear-based community, the worst one in fact ! "Sampaikan salam marahku juga pada pak RT-mu ya", kata Ering, seorang istri perwira. Aku jadi berkhayal, andai aku juga punya simbol keperwiraan semacam itu, mungkin tak akan ada tetangga dan aparat lokal yang petentang-petenteng di pemukimanku. Namun berikutnya aku jadi tahu, betapa Indonesianya pikiranku tadi. Mungkin kekuasaan uang telah membuat RT dan RW menuruti keinginan sedikit orang untuk menjagal sebuah kehidupan (baca : pohon), misalnya. Dan hampir saja aku berpikir untuk mengimbangi arogansi kekuasaan tadi dengan ...bedil dan meriam (simbolnya maksudku). Jadi ...tidak. Jelas aku berkata tidak pada kekuasaan dalam bentuk semacam itu. Mengapa ? Karena kejahatan tidaklah terjadi gara-gara satu-dua orang yang bersikap sepihak dan terlalu agresif. Kejahatan terjadi karena orang-orang (yang sebenarnya) baik, tapi selalu mengeluh -atas pengabdian tanpa bayaran tersebut- dan melakukan pembenaran atas pekerjaan yang dilakukannya secara setengah-setengah.Walaupun terdengar mengerikan, aku harus menyampaikan bahwa sikap mediokriti ini merupakan bentuk korupsi.Ya, kita memang bisa menunjuk siapa aktor utama korupsinya, namun sesungguhnya kitapun ikut menyokong sistem korup tersebut. (Kurasa aku akan menyisihkan topik ini untuk engkau semua, kawan. Barangkali saja engkau tahu bagaimana caranya membuat pekerjaan mengurus keRukunan Warga itu menjadi pengabdian yang tidak perlu terasa seperti mencuri waktu produktif para pelaksananya.) Untuk sementara, tampaknya aku harus puas dengan permintaan maaf Bapak RT, walaupun kurasa dosanya padaku itu tidaklah seberapa, hanya soal kelancangan saja. Aku berharap, ia tidak melakukan penjagalan semena-mena pada pohon-pohon lainnya. Bukan karena aku yang meminta, tapi karena pohon-pohon itu bukan milik kita sendiri. Harus ada alasan yang lebih kuat untuk mengeksekusi sebuah kehidupan, mengingat jasa sebuah pohon itu terlalu besar untuk dilihat oleh mata kecil dan otak bodoh kita ini.*)

***

"Bagaimana mungkin manusia mengira ruhnya lebih besar daripada ruh semut dan ruh kupu-kupu ? Kita cuma lebih besar casingnya, cangkang luarnya saja", demikian kata seorang sufi.

"Mereka adalah mahluk perintis yang telah dihadirkan ratusan juta tahun lebih awal dari kehadiran kita di Bumi ini, demi menyiapkan lingkungan yang layak kita tinggali", demikian kata para ilmuwan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline