Lihat ke Halaman Asli

Buatlah Istrimu Menyesal ... (Cinta Bagian Dua)

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang kenalan lama datang ke rumah bersama anaknya. Mula-mula agak enggan aku menemuinya, karena yang kudengar tentang dia selama ini adalah kabar yang tidak menyenangkan. Plus heboh pula. "Aku sakit, mbak. Aku menderita manic depressive", katanya. "Apa itu ?" "Suatu keadaan batin yang selalu terombang-ambing di antara perasaan senang bukan main dan sedih bukan main", jawabnya. Wow, bipolar disorder, sebuah gangguan jiwa yang pernah kusaksikan dalam acara Oprah. Sedikit yang kuingat tentang obrolan Oprah saat itu, kecuali yang seram-seram, diantaranya: nyaris mustahil diobati, dan bisa mengubah orang baik-baik jadi ... pembunuh ! Namun yang paling kukenang adalah perasaanku setelah menonton acara itu. Aku ingat betapa gelinya aku melihat berbagai nama telah dibuat untuk membedakan bermacam-macam gangguan jiwa, padahal -menurutku- pada dasarnya penyebabnya sama, yaitu : salah urus diri (pikiran) sendiri !

Hanya dibutuhkan waktu sekian menit untuk mengetahui hampir segala hal tentang tamuku ini. Ia mengeluh tentang begitu banyak hal, mulai dari gaji yang kecil, fasilitas kerja yang kurang, istri yang tidak memahami, ibu yang menuntut dan sakit-sakitan, kerabat yang tidak peduli, bahkan presiden dan perilaku bisnis etnis tertentu pun masuk dalam topik yang mulanya direncanakan bertajuk 'Mengapa hidupku menyedihkan'. "Israel kok belum disebut ?", tanyaku, cuma iseng sebenarnya. Belakangan aku menyesal menanyakannya, karena sekitar lima belas menit kemudian dia dengan berapi-api mengutuk bangsa-bangsa lain, bahkan termasuk bangsa yang jarang dikutuk itupun terkutuk di matanya. Haduh. Sesudah itu dia menemukan jalan untuk membanggakan diri. Dia bangga pada dirinya, meskipun miskin. Dia merasa beruntung, walaupun sering sial. Dia bahagia, katanya lagi, walaupun sesekali mendapat tikaman dari belakang. Pokoknya, selagi dia membanggakan dirinya itu, bertebaranlah kata-kata 'sakit', 'takut', 'kalap', 'menyerang orang tanpa disadari', keinginannya untuk mati, dan sejenisnya. Matanya memandangku lekat-lekat, seolah ingin memastikan bahwa ucapannya meninggalkan kesan. Jika upayanya kurang berhasil, andalan lainnya segera muncul, yaitu ...omongan cabul. "Kata dokter, aku memerlukan kepercayaan diri, bahkan kalau perlu sedikit perasaan superior. Karena rendah diri bisa membuat penderita bipolar menginginkan mati. Tapi terlalu percaya diri bisa membuat mereka jadi Lia Eden", katanya. Seolah merupakan semacam pembelaan untuk mata tajamnya yang begitu bernafsu memenangkan pertarungan entah apa itu.

"Ngomong-ngomong, apa sih artinya cognitive behavioural therapy ? Dokter juga memintaku melakukannya ....", katanya. Lalu kupanggil anak gadisku yang calon psikolog itu untuk bergabung. Tapi kehadiran anakku malah memicu keisengan sang tamu. Di depan anak laki-lakinya, ia merayu anakku untuk bersedia menjadi menantunya. Kecanggungan dan garuk-garuk kepala langsung mewabah. Hampir saja terjadi 'communication disorder'. "Kesibukan apa sih yang kau lakukan untuk menghibur dirimu ? Maksudku, sesuatu yang kau suka melakukannya, dimana pikiran, perasaan dan tenagamu tercurah penuh. Mas suka mengurus perkututnya, aku suka membaca dan menulis. Bagaimana denganmu ?", tanyaku mencoba menyelamatkan situasi dari pembicaraan yang menyimpang itu. "Wah, aku tidak suka apapun. Aku paling suka melamun", jawabnya mantap, terlalu mantap untuk diucapkan pada seorang anti pelamun yang amat radikal seperti kami. Padahal melihat dampak yang begitu ekstrim padanya, aku makin yakin bahwa seharusnya melamun itu diperlakukan sebagai tindakan subversif di negeri ini ! "Apakah lamunanmu membuat masalah-masalahmu teratasi?" Dia tersentak sejenak. Lalu dengan cepat mengalihkan pembicaraan pada drama rumah tangganya, pada istri yang selalu melaporkan daftar keluhan sepanjang hari, istri yang menjengkelkan karena kerjanya hanya chatting dan nonton sinetron sepanjang hari. "Aku cuma ingin dia belajar dan mengembangkan diri, Mbak", katanya. Topik ini terhenti begitu saja, karena tahu-tahu ia sudah menyanyikan lagu Nobody's Child.Sungguh mengherankan bahwa harapan sebesar itu pada istrinya keluar dari mulut orang yang mengaku malas membaca dan suka melamun.

Sepanjang waktu, kulihat anaknya hanya bisa tertunduk malu. "Jangan salahkan dirimu", bisikku kepadanya, ketika si ayah sedang ke kamar kecil."Kamu punya pengalaman yang hebat dengan ayah seperti itu. Kamu memang belum mengerti sekarang. Tapi kalau kau mau bersabar, kau akan tahu betapa besarmanfaat pengalaman ini bagi masa depanmu", Mas ikut menambahkan. Malamnya, kami membawa tamu kami ke tempat karaoke. "Semua orang berlomba-lomba punya mobil bagus", katanya mengomentari mobil kami. "Padahal tak ada satupun yang dibawa mati. Semua orang juga pengen ke Surga, tapi aku mau ke Neraka saja. Di sana ada MarilynMonroe". Aku duduk di depan, tapi tak ada hambatan untuk membayangkan senyum tengilnya itu sejelas-jelasnya. "Ah, sudah jelas akhiratmu beda dengan akhiratku", komentar suamiku. "Aku sih mau bawa mobil ke sana. Tenagaku pasti dibutuhkan, karena Tuhan punya kebun dan sungai-sungai. Pekerjaanku selama ini kan berkebun dan mengurus sungai-sungai." "Iya, kami berencana untuk tetap sibuk di akhirat kami nanti. Sedangkan pekerjaanmu itu belum tentu berguna loh di sana !", kataku. Dia tertawa.

*_*

Esoknya, wajahnya lebih segar setelah menyanyi semalaman. Ia bahkan bisa tidur nyenyak tanpa bantuan obat-obatnya. "Menurutmu, mengapa aku sering stress, Mbak ?", tanyanya sambil menemaniku duduk di lantai. "Karena pikiranmu berisik, seperti mall yang hiruk-pikuk, seperti macam-macam alat-alat musik yang saling bersaing, bukannya saling mendukung. Pikiranmu selalu melompat kesana-kemari tanpa tema, mengingatkanku pada lemari acak-acakan yang tak jelas juntrungnya", jawabku. Agak terkejut sebenarnya mendengar ia menanyakan hal yang sefokus itu. "Aku memang banyak pikiran, Mbak. Aku sedih memikirkan ibuku, kakakku, keponakanku ...", lalu rinciannya mulai berhamburan ke lantai, ke tembok dan ke sandal-sandal kami. "Apakah dengan memikirkan semua itu, masalahmu teratasi ?" "Mereka berbuat dosa besar, Mbak ...", jawabnya. Dan kisah tentang dosa-dosa besar itu pun melengkapi penyesalan yang sudah berserakan sebelumnya. Maka sebelum ruanganku penuh sesak, buru-buru aku menepisnya dan berkata : "Aah, mengapa kau kotori pikiranmu dengan dosa-dosa besar orang lain ? Dosa-dosa kita saja sudah banyak kok ..." Selanjutnya amat mudah ditebak. Huh, seharusnya aku tahu, bahwa dia itu semacam tabloid yang dijajakan di perempatan jalan. Kau cukup baca judulnya, dan kau tahu semua isinya tanpa perlu membaca semuanya ! Yah, tapi mestinya berbagai kisah perselingkuhan dan petualangan seksual gak penting itu tidak perlu digambarkan sedetil itu, dong... Karena bagiku itu hampir terasa seperti intimidasi terselubung. "Apakah kau masih selingkuh ?", tanyaku dengan nada datar. "Tidak lagi. Sejak anakku terkena kasus narkoba, dan aku bertanya padanya mengapa dia senakal itu... Dia bilang: Aku cuma melakukan kenakalan remaja. Tapi kenakalan ayah adalah kenakalan dewasa..." "Oke. Tulis semua kisahmu tadi. Kurasa orang lain perlu mendengarnya", kataku menahan haru, membayangkan anaknya yang manis itu sempat merana sejauh itu. "Jadi menurutmu menulis lagi akan membuat pikiranku bertema ?Tapi apakah tulisanku akan diminati penerbit ?", tanyanya. "Tentu saja. Kurasa seorang penulis dengan gangguan bipolar itu mestinya memiliki nilai jual. Tapi ingat Mas, karyamu harus bermanfaat dan bisa menginspirasi orang lain ..." "Tentang manfaat itu, apakah kau sendiri bisa melihat ada sesuatu yang baik padaku, yang mungkin bisa menginspirasi orang lain ?", tanyanya. "Sangat !Malah sejak kemarin aku merasa telah melihat orang yang paling beruntung di dunia...", jawabku. "Siapa ?" "K.a.m.u... !   Kau itu seorang bedebah yang suka main gila dengan perempuan sembarangan, tapi istrimu masih setia padamu. Padahal kalau aku jadi istrimu, sudah kukembalikan kau ke toko sebagai barang rusak. Dan aku gak mau sekedar garansi diperbaiki. Aku minta yang baru !", kataku datar. Sumpah tidak pakai ledakan, walau ketika dituliskan terlihat seperti ada ledakan ... Dia tersenyum. Untuk pertama kalinya aku melihat ada kedewasaan di wajahnya. "Dan anakmu itu", kataku sambil menunjuk seorang pemuda yang baru saja bergabung, "Kalau aku stress, aku berharap anakku akan menjagaku sama baiknya seperti dia ..." Dia tersenyum lagi. Untuk sesaat ketengilan itu seolah akan pergi selamanya.

^_^

"Jadi kau juga bisa stress juga, Mbak ?", tanyanya. Sangat predictable seperti biasa. "Ya iyalah ! Tapi kalau aku stress, aku tahu itu sebuah pertanda bahwa aku harus lebih banyak memikirkan apa yang selama ini kumiliki, bukan apa yang belum atau bukan lagi punyaku. Stress itu tidak boleh lama-lama, karena itu membuatmu mengasihani diri sendiri. Itu membuatmu selalu minta dimaklumi" Jawabanku ini membuatnya tertunduk. Saat itu tak ada orang lain selain kami berdua. "Laki-laki tidak boleh menangis ya, Mbak ?", tanyanya dengan suara amat lirih. "Yah, tidak mau menangis juga tidak apa-apa. Lagu-lagu getirmu itu, Nobody's Child, Perjalanannya Ebiet, menurutku itu sih semacam tangisan yang dikonversi saja. Bagus malah...", jawabku. Ia lalu minta pindah duduk di kursi, karena lantai membuatnya depresi, katanya. Padahal aku suka lantai tanpa karpet, di situlah aku merasa lebih membumi.(Padahal mungkin saja bukan lantai itu yang membuatnya merasa begitu ...)

Dia lalu membalik-balik buku catatannya. "Semalaman aku sudah menemukan empat topik, Mbak. Tapi ngomong-ngomong, mengapa bukan kau saja yang menuliskankisahku?", tanyanya sambil menulis-nulis. "Ya enggaklah ! Ini kan cognitive therapymu ! Aku akan membantumu kalau kau sudah memperlihatkan sejumlah bahan yang memadai. Lemarimu yang acak-acakan itu harus kau tentukan sendiri klasifikasinya, temanya dan sebagainya ...", jawabku. Sunyi sejenak. "Tapi penyesalanku banyak sekali ...", katanya lirih. "Bagus itu. Hmmm... Moment of Regrets : Berbagai hal yang pernah kusesali ...", gumamku. Dia buru-buru menuliskan kata-kata tersebut. Tapi salah eja, malah jadi Moment of Regreat !  Tapi kurasa bagus juga itu. How to make your regrets a regreat ! Hanya kurasa kusimpan dulu ide itu untuk nanti. "Buatlah penyesalanmu itu berguna bagimu, juga bagi orang lain ...", itu sajalah dulu yang kusampaikan. "Dan buatlah istrimu menyesal suatu hari ...". Isengku mulai muncul. "Menyesal ?" "Ya, menyesal karena salah mengerti tentang kau. Ternyata kau seorang yang tak ada duanya di dunia ini ... Kau seorang yang layak dijadikan teladan. Misalnya loh ..." Dia tersenyum lagi.

+_+

"Kau ternyata pintar sekali, Mbak. Aku jadi makin berminat untuk besanan denganmu", katanya sambil menyeringai. Tas dan berbagai bawaannya sudah terkemas rapi.Anakku yang sedang siap-siap pamit untuk berangkat kuliah itupun menyeringai mendengarnya. Begitu juga anaknya. Tapi tak ada lagi kecanggungan di tengah-tengah kami. "Ya, aku sudah mendengarnya sebanyak sembilan kali hari ini", jawabku. "Sekali lagi dong, Om", kata anakku. "Siapa tahu upaya yang ke sepuluh dapat bonus payung".




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline