Saya pernah membaca di harian Kompas sekitar 1990-1992 ada tulisan seorang tokoh Muhammadiyah yang saya lupa namanya (maaf) tentang faham assetisme abad 16, manfaatnya bila diterapkan pada abad 20, sekarang abad 21. Bila ada yg tahu nama tokoh penulis tersebut mohon kirim message ke akun saya, atau bila mungkin dirilis lagi di Kompasiana. Tulisan yang sangat mengesankan dan terpateri diingatan saya (manula).
Sebelumnya tidak banyak petualang yg berani menjelajah pedalaman Africa dan pelaut2 penjelajah samudera dan menemukan benua Amerika yang pulang kenegaranya dengan sangat berhasil. Banyak yang pulang nama dan tanpa cerita manis sebuah mimpi, tewas entah dimana.
Yang berhasil membawa harta dan budak negro akan di undang untuk bercerita pengalaman masing2 dan peluang untuk untuk lebih banyak lagi yang bisa diperoleh. Orang2 kaya pemberi modal expedisi dan bangsawan, termasuk uskup dan rajapun mengundang mereka yang berhasil untuk diberi gelar bangsawan.
Demikianlah terjadi saling undang secara bergilir, pamer keberhasilan dan kekayaan, mendirikan puri, membuat istal kuda dan berburu bersama untuk mencari popularitas dan juga yang menyisihkan sebagian uangnya untuk mendirikan Panti Jompo, Rumah piatu dan penyandang cacat, Mendirikan sekolah2 ternama yang sampai kini masih berdiri dan menjadi perguruan ternama. Walau para pendirinya sekarang banyak yang sudah tiada, namun pemerintah kota dan negara sangat mempertahankan peninggalan mereka, terutama perguruan tinggi swasta yg menjadi Yayasan/ Fund/Foundation.
Tentu saja governement sangat terbantu dengan kiprah mereka, tanpa harus mengeluarkan anggaran, banyak berdiri Panti2 yg diberi imbalan gelar Sir, Lord, Count dsbnya.
Mereka menyebut kelompok/diri mereka di Berkati Tuhan, di ridhoï Allah maka mereka diberi anugerah yg berlimpah dan kesejahteraan hidup lebih daripada manusia umumnya.
Namun tragisnya mereka menamakan kaum duafa, cacat fisik, terkena lepra dan lemah sebagai kelompok yang terkena kutukan, dibenci Tuhan dan dimurka Allah. Walau dengan hartanya mereka mendirikan penampungan, rumah sakit dan tempat perawatan chusus, tapi stempel dimurka Allah menjadi suatu aib bagi keluarga yang memiliki anak cacat. Bahkan tak segan mereka membuang dan tidak mengakui sebagai anak mereka.
Sedang bagi pemuda pemudi yang sehat, mereka terpacu semangat dan menjadikan suatu tantangan dan peluang untuk menjadi sukses, belajar mati2an, bersekolah hingga sarjana dan berani mempertaruhkan nyawa untuk berpetualang, masuk lebih dalam di jantung Africa. Salah satunya David Livingstone yg menemukan danau besar dijantung Nigeria dan menemakan Danau Victoria sesuai nama Ratu Inggris yg bertahta saat itu. Columbus nekat mengarungi samudera untuk menemukan India yg achirnya menemukan Indian di Amerika.
Semangat belajar, perjuangan menuju sukses itu menjadikan mereka ksatria2 muda yang pemberani, berjiwa petualang, pantang menyerah walau harus pulang nama. Mereka yang tidak memperoleh peluang untuk bertualang juga menjadi tenaga2 profesional untuk menata negara melalui ilmu yang didapat.
Faham assetisme sangat menguntungkan Inggris, Belanda, Perancis, Portugis dan daratan Eropa menjadi penghasil ilmuwan besar yang sangat mengharumkan nama negara mereka. Kisah2 heroik para pendahulunya sangat MEMUPUK JIWA PEMBERANI DAN TIDAK CENGENG.
Bagaimana dengan Indonesia diabad modern ini untuk memetik suatu pelajaran dari semangat para penemu dan penjelajah tersebut. Anak2 muda kita banyak yang kurang berpikir untuk masa depan mereka sendiri tanpa semangat perjuangan yang tinggi. Cuma slogan ecek2 masalah tetek bengek yang sebenarnya bukan masalah negara sendiri, kotanya sendiri, wilayahnya sendiri, kampungnya sendiri. Perjuangan mereka harus diperjelas, dilakukan pembenahan cara berpikir, gejolak dan semangat juang muda mudi kita yang banyak dicekoki.