Beberapa hari terakhir ini, di twitter kembali diperbincangkan wacana ekonomi liberal dan ekonomi kerakyatan. Perdebatan mengenai madzab ekonomi ini menjadi menarik, terutama jika dikaitkan dengan rencana pemerintah mengurangi subsidi BBM . Pengurangan subsidi selalu dikaitkan dengan madzab ekonomi liberal, sedangkan ekonomi kerakyatan berada di posisi yang bersebrangan yang justru mengharapkan hadirnya negara melakukan proteksi dan juga subsidi bagi penguatan ekonomi rakyat. Definisi Sebagai Titik Tolak "Neoliberalism describes a market-driven approach to economic and social policy based on neoclassical theories of economics that stresses the efficiency of private enterprise, liberalized trade and relatively open markets, and therefore seeks to maximize the role of the corporate sector in determining the political and economic priorities of the state " http://en.wikipedia.org/wiki/Neoliberalism Jika mengacu kepada definisi di atas maka paham neoliberalisme menekankan pentingnya pengurangan peran negara dalam kegiatan sosial ekonomi masyarakat, dengan mendorong perdagangan bebas serta lebih mengedepankan peranan korporasi dalam menentukan prioritas politik dan ekonomi dari negara. Karena keyakinan seperti ini, para ekonom penganut paham neoliberal menganggap campur tangan negara dalam melakukan kontrol ekonomi dapat menyebabkan distorsi dan inefisiensi dalam perekonomian. Salah satu langkah nyata di antaranya adalah pelepasan kontrol negara terhadap saham-saham BUMN, hingga pengurangan subsidi baik itu BBM, pendidikan , dan sektor lainnya. Neoliberal Masuk Indonesia Di Indonesia, paham ekonomi liberal menjadi mainstream utama sejak Presiden Soeharto banyak memakai lulusan-lulusan Universitas Berkeley sebagai konseptor pembangunan nasional. Tim yang dikomandani Widjojo Nitisastro ini kemudian banyak mengambil peran dalam penentuan lanskap pembangunan nasional sehingga belakangan muncul sebutan mafia Berkeley buat mereka. Para ekonom yang kebetulan juga menjadi pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini, akhirnya mewarnai seluruh pikiran-pikiran besar perekonomian sampai rejim Soeharto mengalami kejatuhan di tahun 1998. http://id.wikipedia.org/wiki/Mafia_Berkeley Kejatuhan Soeharto di tahun 1998, tidak dengan serta merta membebaskan Indonesia dari cengkeraman para ekonom neoliberal untuk kemudian melakukan penguatan ekonomi kerakyatan . Bahkan kedatangan IMF membantu Indonesia keluar dari krisis moneter 1997 semakin meneguhkan keberadaan para ekonom neoliberal dalam sejarah pembangunan Indonesia. Dalam upaya penyelamatan ekonomi Indonesia, IMF membuat banyak persyaratan yang merupakan pendekatan khas kelompok neoliberal. IMF terlihat memaksakan kepada pemerintah Indonesia untuk memangkas pengeluaran pemerintah untuk sektor sosial (subsidi), melakukan deregulasi ekonomi, dan melakukan privatisasi perusahaan milik negara. Peraturan ini menyebabkan berkurangnya subsidi pemerintah di bidang pendidikan, kesehatan, pangan dan perumahan, listrik, tari telefon dan bahan bakar minyak. Campur tangan IMF terhadap kebijakan ekonomi Indonesia, bahkan sampai pada kebijakan politik, seperti kasus cengkeh dan tari nol persen untuk impor beras, skandal bank Bali, audit Pertamina, RUU anti korupsi, dan penentuan pendapat di Timor Timur, revisi APBN, pengantian Menko dan BPPN, serta amandemen undang-undang BI. ( http://adwirman.blogstudent.mb.ipb.ac.id/2010/12/03/krisis-ekonomi-peran-imf-dan-ketegasan-pemerintah/) Neoliberal Yang Kehilangan Kiblat
Kejatuhan Uni Soviet dan terbukanya rejim komunis China seakan meyakinkan dunia bahwa liberalisme adalah jalan terbaik bagi tercapainya kesejahteraan umat manusia. Perdagangan bebas antar negara menjadi isu paling hangat dalam satu dasa warsa terakhir. Negara-negara maju dengan dimotori Amerika mengkampanyekan pentingnya perdagangan bebas bagi terciptanya ekonomi yang efisien. Negara-negara penguasa tehnologi berhasil membuka akses produknya ke negara-negara miskin dan berkembang. Negara-negara berkembang dieksploitasi sumber daya alamnya dengan murah dan dipaksa mengkonsumsi peralatan tehnologi yang sangat mahal. Ketika krisis finansial menerpa Amerika 2007, kepercayaan orang terhadap sistem ekonomi liberal sebagai satu-satunya jalan terbaik mulai kembali dipertanyakan. Amerika menjadi olok-olok dan sasaran kritik. Liberalisasi ekonomi dan perdagangan ternyata tidak bisa membebaskan nafsu eksploitatif para pelaku bisnis hingga akhirnya gelembung pecah di pasar uang Amerika. Negara yang dianggap sebagai kiblat neoliberalisme, dengan tanpa malu melakukan bail out dan nasionalisasi industri-industri besar yang bangkrut. Peran serta negara dalam kegiatan ekonomi secara telanjang ditunjukkan oleh Amerika dengan mengambil alih saham-saham korporasi besar. Amerika menjilat ludah sendiri justru ketika sistem ekonomi liberal hampir tidak mendapatkan perlawanan. Ekonomi Kerakyatan Sebagai Jawaban
Dengan kejatuhan ekonomi Indonesia 1997 dan kejatuhan Amerika tahun 2007 , seharusnya sudah cukup jelas bahwa paham neoliberal mempunyai cacat bawaan yang berbahaya. Menyerahkan ekonomi pada mekanisme pasar, dan mendorong korporasi sebagai pelaku perubahan sama saja memberikan pengasuhan anak kambing kepada serigala. Serigala bisa saja terlihat jinak, tetapi di dalamnya terdapat sifat bawaan pemangsa yang sewaktu-waktu muncul dan memakan kambing yang kita titiipkan. Mencita-citakan sistem pembangunan yang mensejahterakan dengan mempercayai korporasi besar melalui perdagangan bebas dapat melakukannya adalah utopia yang sama indahnya dengan sosialisme. Kita sudah memiliki kaidah ekonomi yang jelas sebagai pegangan. Dalam pasal 33 ayat 2 UUD 1945 jelas disebutkan bahwa " Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara." Negara harus tetap memegang kontrol dalam kegiatan ekonomi terutama yang menguasai hajat hidup orang banyak. Negara juga harus memperhatikan sektor-sektor ekonomi yang melibatkan peran serta rakyat secara langsung. Potensi ekonomi rakyat ini sama pentingnya dengan konglomerat atau apa yang dinamakan dengan investor. Dalam pembangunan ekonomi liberal, kejatuhan ekonomi disebutkan akan terjadi jika ada pelarian modal oleh investor. Ekonomi kecil tidak dihitung sebagai variabel pembangunan yang signifikan. Ekonomi Kerakyatan di Indonesia Konsep ekonomi kerakyatan diantaranya digagas ekonom Peru Hernando De Soto. Inti konsep De Soto adalah bahwa aset atau hak milik di Negara-negara berkembang tidak dapat dimanfaatkan alias mati (dead capital). Modal yang mati ini berupa rumah di tanah yang tidak jelas pemiliknya, perusahaan yang tidak berbadan hukum, dan industri tersebar yang tidak dilihat investor. Karena tidak tercatat maka kekayaan laksana ”berlian” seperti itu tidak siap dialihkan jadi modal sosial. Di Indonesia pelaku-pelaku ekonomi (rakyat) yang modalnya kecil, bahkan gurem, berasal dari pinjaman koperasi yang kecil-kecil, arisan kampung, pegadaian, atau dari keluarga dekat, tidak dianggap sebagai investasi karena investasi harus merupakan kredit besar berasal dari Bank Penggagas ekonomi kerakyatan Prof. Mubyarto menuliskan dengan baik korelasi pemikiran De Soto ini dengan konteks krisis di Indonesia. "Mereka yang bukan pakar ekonomi disuruh percaya adanya “pelarian modal besar-besaran” ini agar untuk menahannya, atau untuk menarik kembali modal tersebut, pemerintah harus memberikan perangsang khusus berupa tax holiday atau tingkat suku bunga tinggi atau perangsang lain. Jika hal ini dilakukan maka terjadilah yang paling dikhawatirkan De Soto, modal dan kekayaan dalam negeri yang potensial lebih diabaikan (dimatikan) lagi." http://www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_2.htm Belajar Dari Kearifan Lokal Jadi sudah jelaslah, bahwa sistem ekonomi Indonesia berakar pada ekonomi kerakyatan. Yang melibatkan ribuan para pelaku industri kecil rumahan dan menengah dan tidak semata-mata konglomerasi besar. Para pelaku industri kecil inilah yang kemudian justru berperan dalam proses pemulihan ekonomi Indonesia dari krisis 1997. Ketika para konglomerat memilih kabur ke luar negeri dan meninggalkan banyak kewajiban bisnis, para pelaku industri kecil tetap berada di tanah air dan bangkit kembali. Neoliberalisme adalah hasil dialektika peradaban. Dia telah berhasil memenangkan diskursus panjang melawan sistem ekonomi sosialisme. Tetapi kehidupan manusia selalu menghasilkan kompleksitas berbeda. Seiring berjalannya waktu neoliberalisme sudah terbukti bukanlah satu-satunya jawaban bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Pada titik inilah, perlu kemauan kita untuk lebih mempercayai kekuatan dan kearifan lokal dalam menemukan sistem pembangunan yang lebih membumi yang mengedepankan kemandirian bangsa. Jangan kita menjadi bangsa keledai, saat para cerdik cendekia membawa kita jatuh berkali-kali pada lubang yang sama. **** penikmat twitter @mantriss
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H