Lihat ke Halaman Asli

Ketika Peduli Menjadi Salah

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1293519739165739892

Eforia keberhasilan timnas di ajang Piala AFF segera berbalik menjadi gelombang kecaman untuk para elit pemerintahan dan partai politik yang dianggap "mempolitisasi"  timnas, sesaat setelah timnas kalah 3-0 di Bukit Jalil. Seluruh analisa pertandingan yang bersifat tehnikal dikesampingkan dan satu-satunya kesalahan ditimpakan kepada para elit yang telah menjadi "penumpang gelap" prestasi timnas. Seperti Bukan  Tim Sepakbola Para pengamat sepakbola dan supporter timnas semua seperti sepakat bahwa kegiatan timnas sudah tidak lagi mencerminkan kegiatan tim sepakbola. Bis tim nasional mulai dipenuhi para penumpang, yang kebanyakan justru naik di tengah jalan. Bis tidak saja berjalan menuju stadion, tetapi sudah berkeliling tak tentu arah tergantung pesanan dari para penumpang yang justru bukan pemain sepakbola. Dari kekalahan di Bukit Jalil, kita tidak mempermasalahkan strategi Riedl untuk memilih bertahan , ataupun keputusan Riedl merubah "the winning team" saat menenggelamkan Malaysia 5-1 di babak penyisihan. Pola permainan yang cenderung bertahan, membuat Firman Utina banyak bergerak di sektor bertahan dan dua bek sayap Nasuha- Zulkifli sepertinya juga mendapat "order" untuk tidak sering membantu penyerangan. Tim menjadi terbebani dengan persepsi bahwa serangan Malaysia berbahaya. Evaluasi tehnikal dipinggirkan, yang mengemuka justru perdebatan mengenai upaya politisasi sepakbola. Di sisi lain, para elit partai baik Demokrat maupun Golkar saling melempar himbauan agar timnas tidak diganggu. Sesaat kekalahan datang, semua orang bahkan yang sebelumnya menjadi bagian dari "politisasi" berlomba mengeluarkan himbauan. Semoga kesadaran yang tidak  terlambat, ketika timnas harus menuntut balas 4-0 untuk menjaga asa menjadi juara. Pola Lama Partai Politik Kejadian politisasi timnas ini mengingatkan kepada fenomena partai politik yang bergiat di daerah bencana. Sudah sering menjadi kecaman, partai politik hanya terasa kehadirannya ketika sedang mempunyai agenda . Menjelang kampanye partai politik sibuk hadir dan mendekati masyarakat, tetapi hilang sesaat kemenangan sudah di genggaman. Atau jika hadir di tengah masyarakat, seringkali muatan politis dan bendera partai lebih ramai daripada bantuan yang diberikan. Kejenuhan masyarakat dengan manuver partai dan elit politik ini kemudian memuncak ketika mereka lagi-lagi membonceng prestasi timnas yang baru akan mengibarkan kejayaan. Eforia yang terjadi di masyarakat dan ekspose yang besar di media massa  , menarik partai dan elit politik untuk segera masuk dalam kegiatan-kegiatan timnas. Kita melihat berita Presiden SBY yang dua kali hadir di senayan lengkap dengan seluruh relasi politiknya, lalu kita melihat timnas dijamu di rumah Aburizal Bakrie, hingga Istighosah timnas di sebuah pondok pesantren. Kita merinding ketika mendengar sebuah panti asuhan dan kelompok-kelompok masyarakat mengadakan doa bersama , tetapi kita mengernyitkan dahi begitu melihat tayangan timnas menghadiri istighosah bersama sejumlah tokoh politik. Kita tersentuh melihat keluarga para  pemain menjamu tetangga untuk merayakan keberhasilan timnas, tapi semua kecewa melihat Aburizal bakrie serta merta mengundang timnas begitu berhasil masuk semifinal. Kita bangga SBY menyempatkan menengok latihan timnas, tapi kita terkaget-kaget dengan kengototan SBY menghadiri dua laga ketika  masyarakat berebut mendapatkan tiket. Tidak Terbuai Kemasan Dari opini masyarakat yang berkembang menolak  segala politisasi terhadap timnas , harusnya elit dan partai politik belajar menangkap pesan ini. Upaya politisasi dalam bidang apapun, alih-alih menghadirkan simpati dan dukungan justru akan menjauhkan partai dari masyarakat pemilih. Kepedulian terhadap timnas, terhadap korban bencana, serta terhadap masyarakat secara umum harus digerakkan oleh kalkulasi non politis, atau setidaknya tidak dibebani muatan politik yang lebih besar daripada kerja nyata yang dihasilkan . Saat ini , ketika elite  mulai menyadari kepentingan kampanye citra, secara bersamaan mulai muncul kesadaran dari masayarakat untuk tidak sekedar mempercayai kemasan dan citra. Rakyat  selalu punya cara tersendiri yang alamiah untuk menilai kedalaman tindakan dari para elite. Sama seperti adagium, kita bisa memperdaya sekelompok orang dalam sekian waktu, tetapi kita tidak bisa membohongi semua orang selamanya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline