Teori media normatif menekankan peran ideal media dalam masyarakat demokratis. Menurut Denis McQuail (2010), media seharusnya berfungsi sebagai penyedia informasi yang akurat dan berimbang, pengawas kekuasaan (watchdog), forum untuk diskusi publik, penjaga nilai etika dan moral masyarakat. Peran dari teori ini untuk menekankan bahwa kebebasan media harus diimbangi dengan tanggung jawab sosial.
Evolusi Media Massa di Indonesia
Era Orde Baru (1966-1998)
Sejarah media massa di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik yang melingkupinya. Selama era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto (1966-1998), lanskap media Indonesia didominasi oleh model pers yang otoriter. Krishna Sen dan David T. Hill, dalam karya mereka "Media, Culture and Politics in Indonesia" (2000), menggambarkan bagaimana media pada masa itu lebih berfungsi sebagai corong propaganda pemerintah daripada institusi independen. Banyaknya kebijakan yang mengontrol media ini juga berdampak pada media massa gagal dalam menjalankan fungsi normatifnya sebagai fasilitator diskursus publik yang sehat.
Era Reformasi (1998-sekarang)
Pasca runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, Indonesia memasuki era baru yang ditandai dengan liberalisasi di berbagai sektor, termasuk media. Perubahan signifikan ini membuka pintu bagi media untuk bergerak menuju model yang lebih selaras dengan teori tanggung jawab sosial seperti yang diuraikan McQuail . Mulai dari penghapusan alat kontrol pemerintahan, ratifikasi undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 yang menjamin kebebasan pers, dan munculnya badan - badan independen seperti Komisi Penyaran Indonesia (KPI). Namun, Ross Tapsell (2015) mencatat bahwa konsentrasi kepemilikan media oleh konglomerat dengan afiliasi politik menciptakan tantangan baru bagi independensi media.
Tantangan Kontemporer
- Dilema Independensi Editorial: Tekanan dari pemilik media dengan agenda politik atau ekonomi dapat mempengaruhi objektivitas pemberitaan.
- Disrupsi Digital: Mira Lim (2017) mengungkapkan bagaimana media sosial telah menciptakan ruang publik yang terfragmentasi, memfasilitasi penyebaran disinformasi dan ujaran kebencian.
- Persaingan dengan Sumber Informasi Alternatif: Media mainstream harus bersaing dengan platform digital, sering kali mengorbankan kualitas demi kecepatan.
Upaya Mempertahankan Relevansi dan Kredibilitas
Dari tantangan tersebut, perlu adanya upaya untuk mempertahankan relevansi suatu informasi pada media Indonesia untuk mempertahankan kredibilitasnya. mulai penguatan jurnalisme yang investigatif untuk mengimbangi arus informasi yang cepat namun dangkal, Kolaborasi dengan media lain untuk mengecek fakta dan mencegah adanya disinformasi, Inovasi format penyajian berita, dan Program literasi media melalui program - program edukasi publik.
Kesimpulan
Media massa Indonesia, meskipun telah menikmati kebebasan yang lebih besar dibanding era Orde Baru, media massa masih menghadapi tantangan dalam menjalankan fungsi normatifnya. Konsentrasi kepemilikan, tekanan ekonomi, dan disrupsi teknologi digital mempengaruhi kemampuan media untuk sepenuhnya mewujudkan peran idealnya. Ke depan, diperlukan kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan untuk menciptakan ekosistem media yang sehat. Hanya dengan demikian, media Indonesia dapat lebih mendekati peran normatifnya sebagai pilar demokrasi, menyediakan informasi berkualitas, memfasilitasi diskursus publik, dan menjadi pengawas kekuasaan yang efektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H