Dalam setiap gelaran politik, sudah biasa ada penumpang gelap yang ingin menyusup memasukan kepentingan sempitnya dengan mengatasnamakan keutuhan negara dan kepentingan rakyat. Gunjang-ganjing akan dilakukannya amandemen UUD NRI Tahun 1945 guna memasukan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) untuk dicantumkan pada Batang Tubuh UUD NRI Tahun 1945 menjadi celah bagi para penumpang gelap untuk mengajukan amandemen pula terhadap Pasal 7 "Presiden dan Wakil Presiden memegang Jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan". Prasa "satu kali" ini yang mereka ingin ubah menjadi "dua kali" masa jabatan.
Adalah Dr.Muhammad Qodari,S.Psi.,M.A atau biasa disebut M.Qodari Direktur Eksekutif Indo Barometer mantan peneliti di Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) sebagai juru kampanye dan penasehat Sekretariat Nasional Jokowi Prabowo 2024. Kalau melihat latar pendidikan akademik dan aktivitas hariannya, tentu M.Qodari ini bukan jenis manusia kaleng-kaleng. Sarjana (S-1) Bidang Psikologi Sosial di raih dari Universitas Indonesia, pasca sarjana (S-2) mendalami bidang Political Behavior diraih dari Universyti of Essex,Inggris dan gelar Doktor ilmu politik diraih dari Universitas Gadjah Mada.
Sangat sederhana sekali M.Qodari membuat dasar pijakan mengapa pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 harus diamandemen, yaitu : (1) untuk mencegah polarisasi ekstrem masyarakat supaya tidak terjadi tragedi nasional yang berdarah-darah, (2) selain itu Jokowi dan Prabowo telah menjadi imajinasi politik rakyat Indonesia.
Untuk pembenaran pernyataannya dibumbuilah dengan analisa logika algoritma biner dan ruang gema atau echo chamber dan segala bahasa lain yang semakin memperlihatkan kebingungannya. Data tentang dasar tersebut banyak bertebaran di aplikasi pencarian data di internet. Ujung kesimpulannya adalah solusi dari permasalahan itu semua maka Jokowi dan Prabowo disatukan menjadi Presiden dan Wakil Presiden pada Pilpres 2024 yang akan didukung oleh seluruh partai dan nantinya akan melawan kotak kosong. Supaya hal ini dapat terwujud maka pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 harus diamandemen.
Atas tesis M.Qodari kita ucapkan; luaaaar biasaaa..!!, penuh dengan decak kagum. Kekaguman bukan pada tesisnya, tetapi pada kebersediaan Dr.Muhammad Qodari,S.Psi.,M.A untuk membodohkan dan mempermalukan diri sendiri. Kalau dilihat dari latar pendidikan akademik dan aktivitas kesahariannya, menjadi tidak logis M.Qodari punya analisa sesempit ini. M.Qodari seperti pasien terpapar covid-19 dalam kondisi puncak badai sitokin sebuah riam respon imun yang berlebihan. Akibatnya pasien berhalusinasi dan menjadi kebingungan serta tidak berpikir normal.
Karena itu timbulah pertanyaan dan menjadi liarlah pikiran melihat political behavior Mr. M.Qodari, ada apa dibalik ini semua ?. siapa yang sedang bermain main menangguk ikan di air keruh ?, berapa uang yang dikeluarkan?, berapa uang yang akan didapatkan ?. semua itu baru pikiran liar yang tertuliskan, belum ada data dan fakta yang bisa disajikan sebagaimana layaknya pembuktian hukum. Mari bersabar, dan biarlah waktu yang akan membuka dan menjawabnya.
Kotak Pandora pasal 7.
Poin pertama : Jika nanti terjadi amandemen terhadap pasal 7 UUD NRI Tahun 1945, nyatalah betapa keterlaluan dangkalnya otak pikiran para anggota MPR itu. Bagaimana mungkin negara ini disempitkan menjadi urusan satu dua orang manusia bernama Jokowi dan Prabowo. Kalau kita mau pakai tesisnya M Qodari sebagai dasar pijakan, apa jaminan setelah Jokowi selesai di periode ketiga kemudian tidak terjadi polarisasi ekstrem di masyarakat ?. karena terjadi polarisasi ekstrem atau tidak terjadinya polarisasi itu masih asumsi, lalu mengapa pasal 7 sesuatu hal yang dasar yang harus diubah ?. hal ini saja sudah tidak logis.
Poin kedua : Pemilu di Indonesia adalah sebuah keniscayaan, Pemilu akan berhenti ketika Indonesia sudah bubar. Sedangkan Jokowi dan Prabowo dibatasi oleh aturan lima tahunan. Apakah karena takut polarisasi kemudian setiap lima tahun dilakukan amandemen ?. inipun tidak logis juga. Karena masalahnya ada pada polarisasi maka polarisasinya yang diselesaikan, bukan UUD yang harus diamandemen.
Poin ketiga : jika pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 jadi diamandemen dan presiden boleh tiga periode. Mungkinkah sang Jenderal flamboyan Prof.Dr.H.Susilo Bambang Yudhoyono turun gunung mencalonkan diri menjadi calon predsiden ?. jawabannya sangat mungkin. Alasannya, karena SBY baru dua kali masa jabatan. Jadi SBY berdasarkan konstitusi berhak mencalonkan diri menjadi presiden. Dan ingat tahun 2009, SBY memenangkan kontestasi Pilpres dengan raihan suara 60,80 persen.
Sampai hari ini, SBY merupakan imajinasi politik rakyat Indonesia sang Ratu Adil yang datang menyelamatkan dengan bantuan sosial program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Kalau sudah begini, keadaan menjadi terbalik. Dipasangkanlah SBY dan Puan Maharani bersandinglah PDIP dengan Demokrat , lalu didukung oleh partai-partai lain diluar Gerindra. Tinggalah Jokowi dan Prabowo merana, tidak cukup tiket parliamentary threshold untuk mencalonkan menjadi calon presiden dan wakil presiden.