Pria muda itu berdiri gamang. Tubuhnya terbalut pakaian yang tergolong janggal: sebuah kostum badut berwujud bebek, ditambah aksesori kacamata selam tersemat di kepalanya. Seorang host (yang selama ini lebih saya kenal sebagai komedian, personel grup vokal, serta tukang hipnotis yang entah betulan entah bohongan) berdiri tepat di sebelah si pria bebek. Kamera televisi menyorot wajah mereka berdua.
Tangan si pria bebek menggenggam erat sepuluh gepok uang seratus ribuan. “Mau sepuluh juta di tangan kamu, atau lanjut?” tanya sang host mengujinya. “Ini aja”, jawabnya pasrah sambil mendekatkan tumpukan ung itu ke dadanya.
Sekilas saya menyangka pertunjukan akan berakhir, ketika tiba-tiba sang host mengujinya lagi, “Yakin nggak mau lanjut? Kali aja di balik salah satu tirai ini ada mobil lho”. Terhitung ada tiga kali Ia mengulangi pertanyaannya itu. Berkali-kali memilih uang sepuluh juta di tangannya, berkali-kali juga si pria bebek itu tampak ragu. Singkat kata, Ia termakan bujuk rayu. “Lanjut deh”, ujarnya.
Memutuskan lanjut, Ia pun memilih salah satu nomor yang mewakili hadiah di balik salah satu tirai. Tirai perlahan dibuka. Hingga akhirnya muncul tulisan “ZONK” besar di balik tirai. Di sekelilingnya berdiri tiga orang dengan dandanan awut-awutan. Mereka berloncatan seperti kera dengan ekspresi mengejek. Betul-betul mengejek. Lebih parah, penonton di studio (yang tak lain sebetulnya adalah rekan-rekan si pria bebek) pun diminta mengikuti koreografi mengejek dengan menirukan gerakan tangan mengucek air mata. Sang host menarik kembali uang 10 juta dari tangan si pria bebek. Perasaannya hancur lebur. Ia menutup mukanya dengan kacamata selam di kepalanya.
Pertanyaannya, perlukan apa yang dialami si pria bebek kita tertawakan? Ketika ia kehilangan seluruh peluang mendapatkan hadiah, seolah acara diprogram untuk menjadikannya bahan lawakan. Bahan ejekan. Atau memang olok-olok lah yang ingin ditampilkan oleh televisi?
Bahkan konsep acaranya sendiripun secara pribadi saya anggap sudah kelewatan. Ketika seseorang sudah dinyatakan mendapat hadiah, namun Ia diuji untuk memilih hadiah yang sudah ada di tangannya atau mempertaruhkannya demi hadiah yang nilainya bisa jauh lebih besar? Menurut saya itu adalah bentuk perjudian.
Yang porno-porno diblokir sementara perjudian seperti ini dianggap bukan masalah, bahkan ditayangkan pada prime time? Mohon maaf Bapak-bapak yang ada di pemerintahan, Anda sudah menerapkan standar ganda.
Menyaksikan sekilas saja, saya sudah ngeri membayangkan dampak dari acara ini. Orang-orang akan berpikir dengan ikut kuis (atau judi), mereka bisa kaya raya tanpa harus kerja keras. Anak-anak yang menyaksikan acara ini pun akan dengan mudah meniru untuk mengejek temannya ketika kesusahan. Tak peduli betapa hancur hati temannya itu.
Padahal televisi pada hakekatnya adalah menjadi media pendidikan dan hiburan yang sehat. Jika sampai mengajarkan perilaku yang minus seperti ini, tentu saja tidak sehat sama sekali secara moral. Tapi sayangnya, sampai dengan detik ini memang televisi di Indonesia masih menganut paham yang penting rating. Ya sudahlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H