Lihat ke Halaman Asli

Sulaeman

Dosen Pendidikan Sejarah FKIP UHAMKA

Modernitas dan Keterlupaan Sejarah

Diperbarui: 24 Juli 2019   15:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Manusia tengah hidup dalam "abad ketundukan". Ditandai dengan kepala-kepala yang tunduk pada layar 5 inci, setiap waktu. Bahkan dalam kondisi tertidur pun, roh enggan menjauhi jasadnya, karena dikerangkeng oleh frekuensi sinyal.

Fenomena ketundukan hanyalah ekor dari panjangnya masalah yang muncul atas kecenderungan melemahnya kesadaran nilai-nilai luhur. Layar 5 inci menjelma menjadi candu teknologi. Akibatnya, orang semakin tidak mampu mengekspresikan karakteristik kemanusiaannya.

Di ruang publik, sulit mendengar orang saling berinteraksi, mereka selalu memasang wajah curiga. Sama sulitnya menemukan keramah-tamahan, bahkan di tempat kerja dan rumah-rumah. Membuat kita terapung-apung tiada arti dan merasakan sepi dalam keramaian.

Trisno S. Sutanto melalui opininya yang dimuat oleh Kompas (30/8/2018), mengatakan bahwa dunia modern telah memisahkan "agama dengan tradisi", "leluhur dengan keturunan", dan " masyarakat dengan lingkungan". Kata orang "modern" sederet ancaman itu merupakan hal yang wajar. Sebab, kita sedang mengikuti parade kemodernan, jangan sesekali mengubah haluan.

Lalu, apakah masyarakat atau bangsa yang tidak ikut dalam iring-iringan parade itu akan tertinggal, tertatih-tatih dan rentang usianya singkat? ataukah keraguan yang dipertanyakan itu disebabkan keterlupaan kita pada sejarah?

Tergilas Modernitas

Sosiolog berkebangsaan Inggris, Anthony Giddens mengistilahkan modernitas sebagai Juggernaut atau "panser raksasa" yang mesinnya digerakkan atas kehendak manusia. Juggernaut menggilas apa pun termasuk tradisi, akar sejarah, sistem sosial, kebudayaan, ideologi, agama dan meluluhlantakkan kehidupan. Panser raksasa ini tidak bisa dipagari hanya dengan rasionalitas saja.

Disisi lain, Indonesia sedang ada pada tahap lepas landas dari tipe masyarakat agraris menuju industrialis. Tanpa digilas Juggernaut pun tubuh bangsa ini sedang mengalami turbulensi. Cirinya antara lain, masyarakat menjadi over consumptive, mengelola alam dengan sikap eskatologis dan erosi kultural melebar hingga ke desa-desa mengubah tatanan sosial yang penuh kearifan lokal.

Penulis berpendapat secara kontemplatif, bahwa modernitas memunculkan patologi baru dan menjalar tanpa kendali masyarakat yang cenderung memilih kalah. Kita hanyut bersamanya tanpa kemapanan pendirian, seolah lupa dengan nilai-nilai sosio kultural.

Kita Lupa

Pada situasi terhimpit paradigma kemodernan yang lebih sial adalah nasib sejarah. Di sekolah, pelajaran sejarah berhenti pada konstruksi berpikir konvergen, misalnya siswa hanya bertanya "kapan terjadinya?", "di mana terjadinya?", dan "siapa tokohnya?". Sama halnya ketika siswa bersuara untuk menjawab "di mana Ibu Kota Indonesia?" dianggap telah tuntas memahami sejarah, apalagi setelah mendapat hasil ujian di atas rata-rata. Jika membiarkan alam berpikir semacam itu pada siswa, mengakibatkan pemahaman sejarah generasi muda berakhir instan dan pengetahuannya terekam pada memori jangka pendek saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline