Lihat ke Halaman Asli

[Untukmu Ibu] Atas Nama Cintaku Padamu

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

No. Peserta 470

Ibu, aku memulai coretan ini saat memoriku terpenuhi akan kerinduan padamu. Sedikitpun aku tak pernah mengharapkan jalan cerita seperti ini. Tapi ini kehidupan. Tuhan adalah satu-satunya penguasa. Dia memberikan kehendak dalam setiap jiwa. Namun, sebesar apapun kehendak insan manusia, sekeras apapun usaha perwujudannya tetap saja terbentur oleh keterbatasan.

Ibu, aku teringat puluhan tahun yang lalu. Saat kita masih hidup dalam serba kesulitan. Di sebuah desa yang benar-benar jauh dari segala-galanya. Jauh dari pusat kota, jauh dari kemakmuran, jauh dari kelayakan hidup, jauh pula dari segala macam kemajuan. Hidup benar-benar butuh perjuangan luar biasa untuk orang kecil seperti kita. Tapi senyummu seolah menepis seluruh derita. Matamu menyorotkan kegigihan yang menjelma menjadi kekuatan dan menyapu seluruh sengsara.

Ibu, aku ingin mengobati rinduku dengan berkisah tentang perjuanganmu dahulu.

Kala itu, kau dudukkan aku di boncengan sepedamu yang berkarat. Dengan kaki telanjang kau susuri jalanan yang jauh lebih pantas disebut sungai batu yang berlumpur. Aku tidak tahu rasa apa yang mengalir dari otot-otot kakimu. Sakitkah oleh tusukan runcingnya bebatuan. Jijikkah oleh balutan lumpur coklat yang mungkin telah bercampur dengan berbagai kotoran binatang. Aku hanya bisa menerka, pastinya kau kumpulkan seluruh tenaga dengan cara hebat yang kau punya. Yang terpenting bagimu adalah menjaga keseimbangan agar sepeda yang kau tuntun dapat terus berjalan dengan tanpa sedikitpun melukaiku.

Ibu, saat kau membawa gadis kecilmu menyusuri sungai batu yang berlumpur, saat kau memintanya duduk manis di atas sepedamu, dan saat kau menahan semua kepedihan akan kerasnya perjuanganmu, saat itu gadis kecilmu tak mengerti apapun tentang kehidupan. Bahkan gadis kecilmu itu tak sekalipun paham untuk apa kau berjuang mati-matian membawanya menyusuri sungai batu berlumpur setiap pagi.

Ibu, lebih dari seperempat abad yang lalu, di desa terpencil kita, tak ada yang peduli terhadap pendidikan. Tak ada orang yang merasa butuh pendidikan. Bersekolah hanya akan menguras harta benda secara sia-sia. Semua bersikap masa bodoh. Kehidupan bagi mereka adalah menjalani takdir apa adanya. Dari lahir menjadi tumbuh hingga akhirnya mati. Itulah kehidupan. Cukup mengikuti siklus yang telah ditetapkan Tuhan seperti itu.

Tapi tak seperti itu Ibu berpikir. Lebih dalam dan lebih arif memberi makna kehidupan, itulah Ibu. Saat itu mungkin orang menganggap ibu tidak waras. Atau lebih parah menyebutnya sebagai keputusasaan hidup hingga membuat Ibu bersikap tak layaknya kebanyakan orang. Entah apa yang kau pikirkan saat itu, akupun tak mengerti. Hingga saat ini, di saat aku telah melampaui kedewasaanku, disaat aku harusnya mengukir senyum kebanggaan dibibirmu. Ibu, aku baru sadar akan maksud perjuanganmu mengantarku ke sekolah setiap pagi.

Setiap pagi selama enam tahun kau tidak pernah menanggalkanku dari sepedamu. Dua kali dalam sehari selama enam tahun kakimu selalu bertarung dengan bebatuan runcing yang berlumpur. Dua jam setiap hari selama enam tahun tak kurang dari 3 km jarak yang kau tempuh dengan langkah kaki. Ibu, semua itu kau lakukan hanya untuk mengantarkanku ke sekolah.

Mungkin inilah yang disebut rahasia Tuhan. Ia tak pernah menampakkan hasil terlebih dulu. Ia ingin melihat makhluknya berjuang keras meraih sebuah asa. Ada benarnya juga jika dikatakan hidup adalah ujian. Karena Tuhan selalu memberikan hadiah indah bagi yang mampu melewati ujiannya. Jika keputusan dan hadiah Tuhan adalah misteri, maka hari ini aku telah membuka jawabannya. Jawaban beserta hadiah indah yang tak sempat kupersembahkan untuk Ibu. Hadiah dari Tuhan yang sangat pantas dan layak untuk seorang Ibu hebat sepertimu. Ibu, ini hadiah untuk perjuanganmu. Ini jawaban atas mimpi-mimpi besarmu.

Ibu, aku sungguh merindukanmu. Tubuhmu yang penuh kekuatan kala itu, kini tak lagi mampu menopang tubuh gadis kecilmu ini. Kakimu yang mengeras oleh gesekan batu telah lebur menjadi butiran debu yang halus. Semangatmu yang berkobar telah padam dalam dekapan bumi. Senyummu yang menenangkan telah terputus oleh batasan usia. Tanganmu, matamu, suaramu, dan semua tentangmu kini hanya tertinggal dalam rekaman memoriku.

Ibu, aku tidak tahu bagaimana caramu melihatku saat ini. Aku hanya yakin engkau dapat melihat semua yang ada padaku saat ini. Harapan yang pernah kau sematkan dalam diriku, hari ini telah terwujud. Mimpi yang kau tanam dalam jiwaku, hari ini telah menjadi nyata.

Ibu, ini adalah harapan terbesarmu, mimpi terindahmu. Bukankah kau ingin aku merubah kehidupan desa kelahiran kita? Ibu, sekarang kau tak akan menjumpai sungai batu berlumpur yang hampir menyiksamu sepanjang hidup. Ibu, sekarang tak ada lagi ibu-ibu sepertimu yang harus merelakan rasa sakit bersarang dikaki mereka demi mengantarkan anaknya sekolah. Ibu, kau tahu aku telah membangun sekolah di desa kita ini. Kau juga bisa melihat aku telah membangun jalan di desa ini.

Ibu, semua yang kau keluhkan atas keterpurukan tanah kelahiran kita ini, kini tiada lagi. Kau lihat betapa hebatnya masyarakat kita saat ini. Semua hidup dengan sejahtera. Bahkan kau tak akan lagi melihat anak-anak bekerja di usia dini. Pemandangan yang mengharukan setiap pagi kini menghiasi jalanan Desa ini. Andai kau bisa duduk bersamaku di sini, diteras rumah yang menjadi satu-satunya peninggalanmu, sambil menyeduh hangatnya teh melati, kita dapat tersenyum bangga melihat puluhan anak-anak berjalan mengenakan pakaian seragam sekolah. Kaki mereka sudah berbalut sepatu-sepatu yang berkilau. Karena sekarang tak ada lagi lumpur yang dulu selalu membalut kakimu, dan sesekali percikannya menodai rokku yang warnanya senada karena terlalu lama kupakai.

Ibu, ini kabar yang lebih menggembirakan. Sekarang para orang tua tak lagi khawatir akan menguras sia-sia harta mereka. Kini tak ada lagi orang tua yang pusing memikirkan biaya sekolah anaknya. Ibu, gadis kecilmu ini telah memenuhi janjinya padamu. Kau tak ingin ada ibu-ibu lain yang merasakan derita sepertimu bukan? Kau ingin seluruh anak desa ini bersekolah bukan? Kau memintaku mendirikan sekolah-sekolah yang bebas biaya bukan? Ibu, lihatlah semua itu telah kuwujudkan atas nama cintaku padamu.

Ibu, kau tahu bahwa sekarang pemerintah pusatpun telah membebaskan biaya sekolah. Tapi Bu, ini sangat menyakitkan andai kau tahu banyak pihak yang menyalahgunakannya. Kau pasti akan menangis jika masih menemui ibu-ibu yang lari pontang-panting mencari pinjaman untuk membayar biaya sekolah anaknya. Tapi ibu tak perlu khawatir, gadis kecilmu ini tak akan melupakan sumpahnya. Atas nama cintaku padamu akan aku wujudkan semua mimpi dan harapanmu.

Ibu, gadis kecilmu yang dulu, kini mengerti. Aku mengerti kenapa ibu rela dianggap gila. Aku mengerti kenapa niat Ibu tak sedikitpun goyah. Aku mengerti kenapa Ibu memberikan pengorbanan yang begitu besar. Dan aku mengerti, cintamu tidak hanya untukku, tapi untuk seluruh anak negeri ini.

Ibu, aku teringat terakhir kali matamu berkedip. Kau genggam erat tanganku dengan keringat dingin yang mengalir deras dari pori-pori kulitmu. Bibirmu hanya bergerak pelan yang tak menimbulkan bunyi apapun. Tapi matamu menatapku dengan sangat tajam seolah menyampaikan pesan sakral.

Ibu, nafasmu mulai tersendat. Sesekali genggaman lembutmu berubah cengkeraman yang kuat. Warna putih bibirmu membedah bendungan air mataku yang kujaga rapat-rapat. Tatapan mata terakhirmu dapat kubaca. “Nak, jadilah orang yang berguna bagi sesama, jika kehidupan kita saat ini menderita maka jangan biarkan generasi yang akan datang mengalami kepedihan yang sama”. Ibu, aku tak sanggup menyaksikan pemandangan pedih ini. Genggaman tanganmu terlepas, kelopak matamu menutup, dan tak kurasakan lagi denyut nadi berdetak. Ibu, harusnya ini belum saatmu.

Ibu, apa Tuhan akan mengabulkan jika aku memintamu lebih lama lagi. Setidaknya sampai senyum bangga terukir di bibirmu. Hanya itu yang aku inginkan. Ibu, kau baru menanam padi lalu kenapa begitu saja kau tinggalkan. Lantas siapa yang akan memanennya.

Ibu, dadaku mulai terasa sesak. Dalam keberhasilan yang begitu hebat ini, aku harus menahan perih. Satu-satunya orang yang menjadi pendorongku telah pergi sebelum aku mampu memberikan hadiah terindah ini. Ibu, jika aku tak bisa melihat senyum kebanggaan di bibirmu, maka lihatlah semua yang telah kulakukan. Atas nama cintaku padamu, kupersembahkan kebahagiaan seluruh warga daerah ini untukmu. Lalu katakan pada Tuhan bahwa ini adalah bukti baktiku padamu. Ibu, berbahagialah di tempat terindahmu.

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community http://www.kompasiana.com/androgini

Silahkan bergabung di FB https://www.facebook.com/groups/175201439229892/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline