Oleh
Hugo Warami
1. Pengantar
Mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo dalam Dialog Presiden dengan 28 Budayawan di Galeri Nasional, Jakarta mengatakan bahwa: "Tidak ada daerah yang dilupakan, tidak ada daerah yang dikesampingkan, tidak ada daerah yang dianaktirikan dan dianakemaskan. Semuanya adalah anak kandung Ibu Pertiwi. Harapan ini menumbuhkan kembali semangat diplomasi budaya, serta membangun pusat-pusat kebudayaan yang tidak hanya di wilayah urban saja, tapi juga di desa." Harapan tersebut kemudian menjadi kebijakan makro kebudayaan dalam proses pembudayaan manusia yang diperlukan untuk menyeimbangkan hidup (bdk. Warami, 2018: 1; Beritagar, 2016).
Selain itu, Warami (2018:3) menyebutkan bahwa Pandangan Presiden Joko Widodo tentang kebijakan pembangunan "Indonesia Sentris" melalui Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid (2016), bahwa Presiden Jokowi dalam Platform Kebudayaan bertujuan membangun koneksitas di antara seluruh suku bangsa. Koneksitas itu sangat penting dan mendasar terkait keutuhan identitas bangsa Indonesia. Hal Ini merupakan konsep ke-indonesia-an yang selama ini masih ter-fragmentasi karena berbagai kendala, baik itu kendala politik, budaya, ekonomi maupun infrastruktur. Presiden Jokowi sekarang telah melakukan kegiatan dengan cara membuka ruang-ruang bagi terjadinya perubahan. Jadi, pembangunan infrastruktur harus dilihat dalam konteks yang lebih utuh, yaitu upaya menyatukan dan memperkuat identitas bangsa sebagai satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air.
Pandangan di atas menjadi dasar strategi kebudayaan dalam upaya membangun kembali kebangkitan nasional Indonesia dalam era kekinian termasuk membangun sumber daya manusia (generasi muda) di Indonesia tetapi juga secara khusus membangun Tanah Papua. Kebijakan pembangunan yang disebut "Indonesia Sentris" merupakan konsep Presiden Jokowi tentang gagasan kebangkitan nasional dan persatuan Indonesia untuk bersama-sama mensejahterakan bangsa Indonesia yang mencakup 714 suku, lebih dari 1.100 bahasa daerah yang berbeda-beda, yang tinggal di 17.000 (17.508) pulau (lihat Warami, 2018:2).
Gagasan pembangunan sumber daya manusia (generasi muda) Papua telah dimulai sejak lama, bahkan gagasan-gagasan kolonial pun telah tertanam kuat dalam hati, jiwa, pikiran, dan perasaan sejumlah generasi muda Papua bahwa ke-Papua-an bermakna sebagai anti ke-Indonesia-an dengan mendasari diri pada perbedaan ras; cara pandang ini kemudian ditransformasikan menjadi objek representasi mental generasi muda sebagai nasionalisme Papua (bdk. Widjojo, 2009:39).
Tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan bagaimana melihat situasi kebangkitan pembangunan generasi muda Papua di Tanah Papua yang sulit, kacau, mengancam, dan membahayakan yang saat ini sedang terjadi menuju atau setidak-tidaknya mendekati situasi ideal atau harapan besar rumah 'Bhineka Tunggal Ika", yakni percepatan kesejahteraan rakyat Indonesia dalam rangka peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat dalam pembangunan bangsa.
2. Lintasan Ingatan Penderitaan
Kebangkitan pembangunan generasi muda Papua saat ini terjadi karena rekam jejak masa kelam Papua yang telah berlangsung selama bertahun-tahun yang dimulai sejak awal periode integrasi Papua ke dalam wilayah Indonesia. Sepanjang sejarah perjalanan masa lalu, telah terjadi rentetan kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang membuat generasi muda Papua pada umumnya masih berada dalam situasi kekhawatiran, ketakutan, dan ketidak-pastian. Menurut Marit dan Warami (2018:2) mereka tidak hanya khawatir bahwa kekayaan alam mereka dirampok dan tidak memberi manfaat bagi peningkatan kesejahteraan mereka, tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah milik yang paling dekat dengan mereka: rumah dibakar; kebun dirusak; bahkan, suami, saudara, ayah, anak dan nyawa sendiri bisa lenyap sewaktu-waktu. Sementara itu, jajaran pemerintahan lebih sibuk memperkaya diri. Aparat keamanan bukan menjadi tempat perlindungan (pengayoman), tetapi sebaliknya menjadi sumber ancaman. NKRI atau separatisme menjadi stigma atau atribut yang menakutkan, dan bukan lagi institusi yang menjanjikan keamanan dan kesejahteraan.
Belakangan ini, konflik Papua kembali meningkat tajam seiring dengan munculnya berbagai gejolak politik dan keamanan di Papua. Kekerasan demi kekerasan terjadi dan menimbulkan korban. Secara teoritis, menurut Situmorang (2011) bahwa konflik di Papua dapat dikatakan telah memasuki tahapan konflik yang sangat serius, yakni bukan lagi pada tingkat low intensity, melainkan sudah middle intensity, yang berpotensi meningkat ke tahap high intensity bilamana tidak ada resolusi segera. Potensi memasuki tahapan high intensity ini terbuka jika mencermati dua hal berikut ini. Pertama, gerakan sipil bersenjata telah muncul dan diikuti dengan gerakan politik dengan tuntutan referendum dan dialog politik. Kedua, para aktornya berasal dari generasi cerdas, milenia yang sudah sangat produktif dalam menggunakan kebebasan digital dalam menanggapi permasalahan konflik Papua dalam arus globalisasi menuju internalisasi isu Papua. Hal ini memproyeksikan bahwa konflik Papua berpotensi untuk berkelanjutan.