Lihat ke Halaman Asli

Gerakan Literasi Menuju Manusia Cerdas: Perspektif Kritis Pendidikan Guru di Wilayah 3T

Diperbarui: 26 November 2018   10:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

GERAKAN LITERASI MENUJU MANUSIA CERDAS:

PERSPEKTIF KRITIS PENDIDIKAN GURU DI WILAYAH TERDEPAN, TERLUAR DAN TERPENCIL[1]

  

HUGO WARAMI

Pos-el:warami_hg@yahoo.com

PENGANTAR

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bertujuan untuk mengembangkan potensi (literasi) peserta didik (siswa) agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan sebagai salah satu hal yang terpenting dalam kehidupan manusia, karena melalui pendidikan dapat menciptakan manusia yang berpotensi, kreatif, dan memiliki ide cemerlang sebagai bekal untuk memperoleh masa depan yang lebih baik (Warami, 2016).

FAKTA DAN PROBLEMATIKA

Menurut UNESCO (2012) dalam Warami (2016) bahwa minat baca masyarakat Indonesia baru mencapai 0,001, di mana dari 1000 penduduk Indonesia, hanya satu orang yang memiliki minat baca (http://www.paudni.kemendikbud.goid/berita/8459.hml), serta PERMENDIKBUD Nomor 23 Tahun 20015 yang mengungkap tentang penumbuhan budi pekerti yang mencakup gerakan literasi sekolah (GLS) dengan mewajibkan siswa membaca buku nonpelajaran selama 10-15 menit sebelum pelajaran di mulai. 

Selain itu, menurut Supiadi (2016:2) gerakan literasi sekolah bertujuan menciptakan lingkungan sekolah yang menjadi lingkungan pembelajar sepanjang hayat dengan membudayakan akivitas membaca dan menulis.Untuk mendukung prinsip dasar dari gerakan literasi di atas, diperlukan adanya sistem pendidikan nasional yang baik.

Menurut Supiadi (2016:3-4) menyebutkan bahwa sekolah sebagai tempat menimba ilmu belum sepenuhnya menumbuhkan budaya membaca dan menulis (literasi) sebagai bagian dari pengembangan diri peserta didik (siswa). Hal tersebut terlihat ketika bel 'loceng' berbunyi, peserta didik sebagian besar akan memilih kantin sekolah sebagai tempat untuk menghaiskan waktu istirahat dari pada diperpustakaan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline