Tidak dinonaktifkannya Gubernur Jakarta ternyata berbuntut panjang. Setelah menuai berbagai opini di masyarakat terkait dengan tidak dinonaktifkannya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang telah berstatus sebagai terdakwa, DPR hari ini akan melakukan inisiasi Panitia Khusus Hak Angket.
Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hak angket ini telah diatur dalam UU No. 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket DPR. Undang-Undang telah ada sejak jaman sistem pemerintahan parlementer di bawah UUD Sementara Tahun 1950 dan belum mengalami pencabutan sampai dengan hari ini. MK melalui putusannya tanggal 26 Maret 2004 telah menegaskan bahwa UU No. 6 Tahun 1954 ini masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945.
Hak angket bukan sekedar hak untuk mengajukan pertanyaan yang nantinya akan dijawab oleh Presiden (menteri yang mewakilinya), melainkan DPR nantinya akan menyelidiki masalah yang diduga melanggar peraturan perundang-undangan. Karena itu, anggota DPR yang nantinya duduk dalam Pansus Angket akan bertindak sebagaimana penyelidik dari kepolisian dan kejaksaan dalam menyelidiki masalah. Bedanya, penyelidikan ini dilakukan untuk menghimpun fakta-fakta dan bukti-bukti dari kasus yang mereka selidiki, bukan penyelidikan "pro yustisia" sebagaimana yang dilakukan penyelidik polisi dan jaksa.
Kedudukan Panitia Angket DPR sangatlah kuat jika dilihat dari perspektif hukum.
Dalam sistem parlementer misalnya, walau Perdana Menteri dapat membubarkan parlemen karena alasan-alasan tertentu, namun Pansus Angket dapat terus menjalankan pekerjaannya sampai terbentuk parlemen baru yang akan menentukan keberlangsungan Pansus Angket. Dalam sistem presidensial saat ini, pembubaran DPR tidak mungkin terjadi, kecuali Presiden berubah menjadi seorang diktator, lalu kemudian membubarkan DPR. Jadi, tugas dari Pansus Angket ini tidak akan terhalang oleh reses atau penutupan masa sidang.
Sebagai terdakwa kasus dugaan penistaan agama, Ahok disangkakan Pasal 156 atau 156 a KUHP. Pasal 156 mengatur pidana penjara paling lama empat tahun, sedangkan masa pidana penjara dalam Pasal 156 a maksimal adalah lima tahun.
Menurut Prof. Romli Atmasasmita, jika merujuk pada Undang-Undang Pemda dan UU Pilkada, status terdakwa seharusnya diberhentikan sementara. Hukumnya wajib dan tidak ada kecuali.
Guru Besar Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Prof. Mahfud MD juga berpendapat bahwa pemberhentian sementara Ahok tidak bisa menunggu tuntutan. Hal itu merupakan amanah dari Undang-Undang yang harus dilakukan. Tidak ada instrumen hukum lain yang bisa membenarkan Ahok menjadi gubernur, tanpa mencabut Pasal 83 ayat (1) terlebih dahulu. Ia juga mengatakan bahwa Presiden Jokowi seharusnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang untuk mencabut Pasal 83 ayat (1) jika tidak menonaktifkan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta supaya tidak melanggar hukum. Namun, bukannya memberhentikan sementara, pemerintah justru mengaktifkan kembali Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta setelah cuti kampanyenya dalam Pilkada DKI 2017 berakhir.
Pada hari Sabtu (11/02/2017), Wakil Ketua Komisi II DPR Almuzzammil Yusuf sudah mengatakan niatnya untuk menggulirkan hak angket. Hal ini lalu didukung juga oleh anggota DPR dari Fraksi PKS, Refrizal Sikumbang (12/02/2017) dan pernyataan dari Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon melalui akun Twitter pribadinya, Minggu malam.
Rencananya pada hari ini, DPR akan melakukan inisiasi Panitia Khusus Hak Angket untuk dugaan pelanggaran Undang-Undang yang dilakukan oleh pemerintah akibat tidak dinonaktifkannya Gubernur Ahok, yang telah berstatus terdakwa merujuk pada nomor register perkara IDM 147/JKT.UT/12/2016 di PN. Jakarta Utara.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Almuzzammil Yusuf menilai Presiden diskriminatif karena pada kasus mantan gubernur Banten dan mantan gubernur Sumatera Utara, setelah terbitnya surat register perkara dari pengadilan, Presiden langsung mengeluarkan surat pemberhentian sementara. Pakar Hukum Universitas Padjadjaran, Prof. Romli Atmasasmita (12/02/2017) juga mempertanyakan tanggung jawab moral dan politik pemerintah atas pemberhentian lima orang pejabat Pemda dalam status terdakwa. Lima orang pejabat Pemda yang dimaksud oleh Prof. Romli adalah: 1) Wakil Wali Kota Probolinggo, 2) Bupati Ogan Ilir, 3) Gubernur Sumatera Utara, 4) Bupati Bogor, dan 5) Gubernur Banten.
Kita tunggu saja bagaimana kelanjutan dari inisiasi Panitia Khusus Hak Angket yang akan dilakukan hari ini. Semoga nantinya akan ada penyelesaian yang jelas dari pemerintah maupun DPR terkait masalah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H