Lihat ke Halaman Asli

Masalah Status Gubernur Ahok Berlanjut ke PTUN

Diperbarui: 17 Februari 2017   18:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengaktifan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta akhirnya menimbulkan masalah demi masalah baru (Sumber: The Jakarta Post).

Hukum adalah social construct sehingga apabila hukum tidak ditegakkan dengan baik, pasti akan menimbulkan konstruksi sosial yang kacau balau. 

Inilah yang bisa dipetik dari kasus Ahok. Sebagai terdakwa kasus dugaan penistaan agama, Ahok disangkakan Pasal 156 atau 156 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 156 mengatur pidana penjara paling lama empat tahun, sedangkan masa pidana penjara dalam Pasal 156 a maksimal adalah lima tahun. Menurut Prof. Romli Atmasasmita, jika merujuk pada Undang-Undang Pemda dan UU Pilkada, status terdakwa seharusnya diberhentikan sementara. Hukumnya wajib dan tidak ada kecuali.

Guru Besar Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Prof. Mahfud MD juga berpendapat bahwa pemberhentian sementara Ahok tidak bisa menunggu tuntutan. Hal itu menurutnya merupakan amanah dari Undang-Undang yang harus dilakukan. Tidak ada instrumen hukum lain yang bisa membenarkan Ahok itu menjadi gubernur, tanpa mencabut Pasal 83 ayat (1). Ia juga mengatakan bahwa Jokowi seharusnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang untuk mencabut Pasal 83 ayat (1) jika tidak menonaktifkan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta supaya tidak melanggar hukum. Namun, bukannya menonaktifkan, pemerintah justru mengaktifkan kembali Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta setelah cuti kampanye berakhir.

Keputusan Pemerintah untuk mengaktifkan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI ini lalu menimbulkan berbagai opini di masyarakat. Wakil Ketua Komisi II DPR, Almuzzammil Yusuf menilai Presiden diskriminatif karena pada kasus mantan gubernur Banten dan mantan gubernur Sumatera Utara, setelah keluar surat register perkara dari pengadilan, Presiden langsung mengeluarkan surat pemberhentian sementara. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Pakar Hukum Universitas Padjadjaran, Prof. Romli Atmasasmita (12/02/2017) yang juga mempertanyakan tanggung jawab moral dan politik pemerintah atas lima pejabat Pemda yang diberhentikan dalam status terdakwa. Lima pejabat Pemda yang dimaksud adalah: 1) Wakil Wali Kota Probolinggo, 2) Bupati Ogan Ilir, 3) Gubernur Sumatera Utara, 4) Bupati Bogor, dan 5) Gubernur Banten.

Sebagaimana yang saya tulis pada Hari Sabtu (11/02/2017), sikap Pemerintah yang meremehkan keberadaan dari UU Pilkada dan UU Pasal 83 ayat (1) akhirnya menimbulkan masalah demi masalah baru. Hari ini rencananya DPR akan melakukan inisiasi Pansus Hak Angket untuk mempertanyakan pengaktifan kembali Ahok yang telah berstatus terdakwa merujuk pada nomor register perkara IDM 147/JKT.UT/12/2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Selain itu, sejumlah pengacara yang tergabung dalam Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) pada pukul 11.00 WIB hari ini juga akan menggugat status pengaktifan kembali Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Disinilah urgensi dari kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan, pastilah mengatur suatu ketentuan secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian menjadi sistem norma dengan norma lain.

Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten, dan konsekuen, yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan yang sifatnya subjektif.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline