Lihat ke Halaman Asli

Urgensi Kesadaran Etika dan Estetika di Tengah Maraknya Propaganda

Diperbarui: 17 Februari 2017   18:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ditengah maraknya propaganda di dalam masyarakat yang populis, ada kesadaran akan pentingnya menjunjung norma etika dan estetika (Sumber: Reuters).

Sebelum saya membahas mengenai kesadaran etika dan estetika, alangkah baiknya jika kita memahami terlebih dahulu mengenai norma etika, kesadaran etika, kesadaran estetika, diskusi mengenai masalah-masalah keilmuan (polemik intelektual), lalu apa bedanya dengan tulisan yang bersifat agitasi atau propaganda.

Sekilas Mengenai Kesadaran Etika dan Estetika

Norma etika berbeda prinsip dengan norma sopan santun yang bersifat konvensional, relatif dan tergantung penerimaan sebuah komunitas. Norma sopan santun satu suku-bangsa tentu berbeda dengan norma sopan santun suku-bangsa lainnya. Norma etika juga berbeda dengan norma hukum, yang pada umumnya diformulasikan ke dalam hukum positif yang tertulis. Norma hukum akan jelas kapan dinyatakan berlaku, dan kapan tidak berlaku lagi. Norma etika berlaku universal dan berlaku selamanya. Hanya dalam keadaan tertentu, atau ada faktor-faktor tertentu, yang memungkinkan norma etika dapat dikesampingkan.

Harus ada justifikasi yang kuat untuk memungkinkan hal itu, seperti keadaan yang amat memaksa. Etika seringkali berhadapan dengan dilema, suatu situasi yang amat sulit, dan suatu pilihan yang amat sulit. Karena kaitan dari norma etika ini adalah kesopanan maka, tidak perlu kita merumuskan kode etik, code of conducts dan sejenisnya dalam bentuk yang tertulis. 

Norma-norma etika harus hidup di dalam hati-sanubari setiap orang. Dia harus tumbuh sebagai kesadaran.

Sebelum melakukan sesuatu, setiap kita hendaknya bertanya kepada hati nurani kita masing-masing: patutkah hal ini saya lakukan? Dasar dari segala norma etika adalah keadilan. Apakah adil, kalau saya mengatakan sesuatu atau melakukan sesuatu kepada orang lain? Ini adalah pedoman dalam tindakan yang kita lakukan. 

Persoalan etika, bukanlah persoalan bisa atau tidak bisa, mampu atau tidak mampu, dan dapat atau tidak dapat. Persoalan etika ialah persoalan boleh atau tidak boleh.

Saya bisa saja memukul orang lain, karena saya menguasai ilmu bela diri, tetapi bolehkah? Saya dapat saja memfitnah dan mencaci maki orang lain karena saya punya hak sebagai penulis yang tidak dapat dikontrol siapapun, tetapi bolehkah? Semua pertanyaan ini haruslah dikembalikan kepada kesadaran hati-nurani kita masing-masing. Dengan cara itu, kita akan memiliki apa yang disebut dengan “tanggungjawab etika” atau “tanggungjawab moral”.

Sia-sia saja kita merumuskan kode etik secara tertulis. Percuma saja kita merumuskan matriks yang memuat sederet kewajiban dan larangan untuk dihafal luar kepala. Semua itu tidak menjadi jaminan apa-apa agar norma ditaati. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu, tidaklah berbanding lurus dengan kesadarannya. Apalagi ketaatannya.

Banyak kita jumpai realita saat ini dimana seseorang dengan mudahnya lalu mengambil pemikiran yang beredar di masyarakat lalu menyimpulkan secara membabi buta tanpa memikirkan lagi mengenai konsekuensi etis dari perbuatannya. Etika lahir karena kesadaran akan adanya naluri solidaritas sejenis terhadap individu yang lain. Dengan kesadararan etika, akan timbul suatu tanggung jawab akan perlunya membangun peradaban yang lebih baik.

Sebagaimana yang dikatakan oleh A.A. Djelantik (1999) bahwa etika mendorong berkembangnya pengetahuan serta mendorong tersebarnya ide-ide dengan cara yang estetik, elegan, dan indah. Konsep ini telah dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten yang akhirnya berkembang menjadi ilmu tentang keindahan (estetika). Baumgarten menggunakan istilah estetika untuk membedakan antara pengetahuan intelektual dengan pengetahuan indrawi. Estetika ini telah muncul pada abad ke-18 untuk menandai ciri dari masyarakat yang berbudaya.

Sebagai masyarakat Indonesia yang dikenal karena budayanya, kita harus memahami konsep ini. Ketika menyampaikan sesuatu, kita hendaknya tidak hanya memikirkan betul atau benar, tapi patut atau tidak patut (etika), serta indah atau tidak indah (estetika). Membangun kesadaran etika dan kesadaran estetika menjadi penting bagi masyarakat Indonesia karena hal ini merupakan pondasi dasar untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis. Kesadaran inilah yang dibangun oleh masyarakat Yunani untuk memahami alam dan masyarakat mereka sebagaimana yang bisa kita lihat pada pandangan-pandangan Plato. Plato menjelaskan bahwa peradaban Yunani merupakan peradaban yang menjunjung tinggi aturan dan standar etis tertentu.  

Kesadaran akan aturan dan standar etika inilah yang merupakan syarat utama dari masyarakat yang harmonis dan berbudaya. 

Seringkali kebebasan berekspresi tidak sejalan dengan konsep etika dan estetika ini. Sunarso (2011) mengatakan bahwa idealnya sebagai bangsa yang menganut Pancasila, tingkah laku, semangat, dan jiwa masyarakat Indonesia harus dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila yang secara khas merupakan ciri pada elemen-elemen sosial budaya bangsa. Kesadaran etika dan estetika seperti uraian di atas, harapannya akan membantu kita untuk membedakan manakah tulisan yang berisi polemik intelektual, dan manakah tulisan yang dapat dikategorikan sebagai agitasi, propaganda dan perang urat syaraf. Tulisan yang dikategorikan sebagai tulisan agitasi atau propaganda memang tidak ditujukan untuk memperkaya ilmu, namun memprovokasi masyarakat. Kita harus waspada akan hal-hal sederhana semacam ini.

Sekilas Mengenai Diskusi Keilmuan (Polemik Intelektual)

Sebagaimana yang dikatakan oleh Yusril Ihza Mahendra (2007), dalam sejarah bangsa, kita telah menemukan banyak polemik yang tinggi mutu intelektualnya, dan memberikan kontribusi besar bagi proses pembentukan bangsa dan negara kita. Polemik itu antara lain, ialah polemik Sukarno dengan Mohammad Natsir tentang hubungan Islam dengan Negara, polemik tentang Islam dan Sosialisme antara Tjokroamitono dengan Semaun, dan Polemik Kebudayaan Timur dan Barat antara Sutan Takdir Alisjahbana dengan Armijn Pane. Demikian pula tulisan-tulisan bernada polemis yang dibuat oleh Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Sumitro Djojohadikusumo, dan Sjafruddin Prawiranegara di bidang pembangunan politik dan ekonomi. Polemik intelektual tentang Islam dan Sekularisme, yang terjadi antara Mohamad Rasjidi dengan Nurcholish Madjid, sangatlah menarik untuk dibaca. Demikian pula polemik Mohamad Roem dengan Rosihan Anwar yang berkaitan dengan sejarah politik di tanah air era tahun 1950-an. 

Kalau kita menelaah dengan seksama, polemik intelektual para negawaran sungguh sportif, ksatria, argumentatif, dan tidak menyerang pribadi seseorang, yang tidak ada hubungannya dengan materi yang diperdebatkan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline