Perempuan dan laki-laki berinteraksi dengan lingkungan dan mengelola sumber daya alam secara berbeda. Pada beberapa komunitas perbedaan-perbedaan ini mungkin lebih menonjol dibandingkan pada komunitas lain. Penelitian yang terus berlangsung mengungkapkan pola kompleks pengelolaan sumber daya alam dan pengaruh-pengaruh dari gender. Menurut Bank Dunia, bagi perempuan dalam komunitas hutan, setengah dari pendapatan mereka berasal dari hutan, sedangkan laki-laki mendapatkan sekitar sepertiga pemasukan mereka dari hutan; sementara itu Center for International Forestry Research (CIFOR) menemukan bahwa aktivitas laki-laki lebih memungkinkan untuk menghasilkan nafkah, sedangkan perempuan lebih terlibat dalam aktivitas pemenuhan kebutuhan dasar.
Para perempuan di pedesaan Indonesia, kerap kali diposisikan sebagai penyedia pangan oleh peran gender tradisional mereka, juga sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas pengasuhan anak dan mengurus rumah tangga. Laki-laki kerap kali dipandang atau digambarkan sebagai pencari nafkah utama (jika ada pekerjaan) dan umumnya mereka lebih mungkin memainkan peran utama dalam pengambilan keputusan mengenai sumber daya alam. Perempuan di wilayah pedesaan bisa bercocok tanaman pangan di tanah mereka, juga meramu berbagai bahan makanan, obat-obatan dan kebutuhan sehari-hari lainnya dari hutan (atau kombinasi keduanya dalam sistem wanatani). Mereka mungkin terlibat dalam kegiatan pemenuhan kebutuhan dasar maupun kegiatan ekonomi yang lebih luas, menyediakan makanan bagi keluarga ditambah pemasukan uang tambahan.
Peran mereka mungkin juga menuntut mereka untuk menjaga pengetahuan budaya, memastikan keberlanjutan kehidupan komunitas dan mengambil keputusan mengenai urusan sosial dalam komunitas. Pembagian peran dan tanggung jawab yang sangat bervariasi dan terus berkembang di antara laki-laki dan perempuan, tidak selalu mengisyaratkan adanya ketidakadilan gender. Seperti ditunjukkan oleh Sawit Watch dan Solidaritas Perempuan dalam bukunya yang berjudul Sistem Perkebunan Kelapa Sawit Melemahkan Posisi Perempuan, menyatakan bahwa pembagian semacam itu bukan masalah sejauh tidak menyebabkan ketidakadilan. Misalnya dalam pertanian Jawa tradisional, laki-laki mencangkul dan perempuan memanen; di rumah perempuan menggunakan pisau untuk memasak dan laki-laki menggunakan parang untuk memotong kayu. Hal ini menjadi masalah ketika peran dan tanggung jawab membatasi hak perempuan terhadap akses dan kontrol. Misalnya, perempuan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, baik dalam rumah tangga atau urusan desa, karena pengambilan keputusan dilakukan oleh laki-laki sebagai kepala rumah tangga, dan pertemuan-pertemuan desa hanya dihadiri oleh laki-laki sebagai kepala rumah tangga.
Memang pengambilan keputusan tentang kontrol atas tanah dan sumber daya alam kerap kali bukan ciri peran gender tradisional perempuan di pedesaan Indonesia. Hal ini berarti bahwa pentingnya peran dan sumber daya perempuan terhadap keberlanjutan kehidupan komunitas, bisa diremehkan atau diabaikan sama sekali ketika tanah dan sumber daya alam milik komunitas diambil alih untuk produksi komersial. Sebagai akibatnya, perempuan malah bisa bernasib lebih buruk daripada laki-laki.
Dalam masyarakat, perempuan akar rumput adalah pihak yang paling sering diabaikan, tidak didengarkan bahkan tidak dianggap penting. Padahal perempuan akar rumput adalah pihak yang menghidupi kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik dalam masyarakat.
Ada juga perbedaan gender dalam perusakan lingkungan ketika eksploitasi sumber daya alam skala besar, berlangsung di daerah yang sebelumnya dikuasai atau dapat diakses oleh komunitas lokal. Hal ini terjadi di wilayah yang mengalami perluasan cepat tambang batu bara di Kalimantan, misalnya, dan pengembangan perkebunan kelapa sawit skala besar di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua dan wilayah Indonesia lainnya. Perempuan harus menanggung resiko hilangnya mata pencarian, air dan ketahanan pangan terkait dengan perubahan pemanfaatan lahan. Dalam hal ini, perempuan dalam peran mereka sebagai pengurus rumah tangga, bisa merasakan kehilangan sumber daya alam lebih langsung dibandingkan laki-laki. Kehilangan ini ditambah dengan dampak-dampak negatif baru yaitu pencemaran terhadap air yang digunakan untuk memasak, mencuci dan minum.
Di wilayah hutan, yang kontrol resmi dan kepemilikannya dipegang oleh negara, hilangnya kuasa atas tanah, pohon dan aset lainnya menghancurkan laki-laki, perempuan dan seluruh komunitas sewaktu investasi masuk. Seperti dinyatakan oleh CIFOR dalam analisis gender pada riset kehutanan internasionalnya, bilamana aset yang dimaksud dimiliki oleh perempuan, posisi perempuan diperkuat dalam rumah tangga dan komunitas, yang memberi motivasi bagi mereka untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. "Namun, fokus sempit pada kepemilikan melupakan adanya kepemilikan oleh perempuan terhadap akses dan pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Walaupun memahami hukum adat dan hak-hak de facto adalah penting, jauh lebih banyak perhatian perlu diberikan pada ruang-ruang antara yang dapat diakses perempuan; ruang-ruang di sela-sela tanaman dan pepohonan milik laki-laki, atau pada lahan kritis dimana perempuan dapat mengumpulkan kayu bakar atau bahan pangan liar (CIFOR, Februari 2017)."
CIFOR mencatat bahwa ada "manfaat besar" dalam pelibatan baik laki-laki maupun perempuan di dalam kebijakan pengelolaan hutan, dan bahwa pelibatan perempuan dalam pengambilan keputusan terkait hutan di tingkat komunitas sudah menunjukkan adanya pengaruh yang menguntungkan dalam sejumlah persoalan pengelolaan hutan, termasuk kapasitas kelompok-kelompok komunitas untuk mengelola konflik.
"Di banyak hutan dan negara …kesetaraan gender yang lebih tinggi adalah salah satu kunci pengelolaan hutan yang berkelanjutan." (Lembar fakta CIFOR CGIAR, Analisis Gender dalam Penelitian Kehutanan)
Di Indonesia, Mia Siscawati dan Avi Mahaningtyas peneliti-peneliti Sayogyo Institute menyerukan agar prinsip-prinsip dan aksi terkait keadilan gender dimasukkan dalam perumusan ulang kerangka hukum bagi tanah hutan dan sumber daya alam serta pembangunan kapasitas yang sistematik mengenai keadilan gender dan tenurial dan tata kelola hutan bagi lembaga-lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan lembaga donor.
Pekerjaan-Pekerjaan Berbasis Gender
Barangkali ada konsekuensi lebih buruk bagi perempuan dibandingkan bagi laki-laki ketika perusahaan merekrut pekerja, karena adanya investasi yang masuk akan membuat rumit dan mengaburkan pembagian kerja berdasarkan gender yang sudah ada sebelumnya.
Dalam proyek tambang dan industri pengerukan lainnya, jarang ada pekerjaan langsung bagi perempuan, sedangkan di perkebunan, jikapun ada pekerjaan untuk perempuan, kecenderungannya pekerjaan tersebut berupah rendah, kurang terjamin dan lebih berbahaya.