Masalah perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi permasalahan global bagi seluruh negara di dunia, baik bagi negara maju maupun negara berkembang, sehingga dalam upaya penanganannya memerlukan kerjasama secara menyeluruh dan terpadu dari setiap negara di dunia. Permasalahan lingkungan menjadi perhatian dan kekhawatiran masyarakat internasional pada saat kalangan Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan peninjauan terhadap hasil-hasil gerakan Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-1 (1960-1970), guna merumuskan strategi Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-2 (1970-1980).
Dalam pengantar laporan yang disampaikan oleh U Thant (Sekretaris Jenderal PBB), dinyatakan bahwa, “…untuk pertama kali dalam sejarah umat manusia telah terjadi krisis dengan jangkauan seluruh dunia, termasuk baik negara maju dan negara berkembang, mengenai hubungan antara manusia dan lingkungannya. Tanda-tanda ancaman telah dapat dilihat sejak waktu yang lama: ledakan penduduk, integrasi yang tidak memadai antara teknologi yang amat kuat dengan keperluan lingkungan, kerusakan lahan budidaya, pembangunan tidak berencana dari kawasan perkotaan, menghilangnya ruang terbuka dan bahaya kepunahan yang terus bertambah mengenai banyak bentuk kehidupan satwa dan tumbuhan. Tidak ada kesangsian bahwa apabila proses ini berlangsung terus maka kehidupan yang akan datang di bumi ini akan terancam (Hardjasoemantri, 1999).”
Isu mengenai pelestarian lingkungan baru disadari oleh negara maju dan negara berkembang pasca pembangunan dunia yang menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan secara global. Salah satu permasalahan lingkungan yang mendapat perhatian dan harus dihadapi oleh masyarakat dunia saat ini adalah global warming (pemanasan global) yang menyebabkan perubahan iklim. Pemanasan global merupakan permasalahan modern dan rumit. Kemiskinan, ekonomi, pembangunan dan pertumbuhan penduduk menjadi penyebabnya. Bukan hal yang mudah untuk mengatasinya dan apabila tidak mempedulikannya akan membuat keadaan menjadi semakin buruk. Sebagaimana pernyataan, “…. Global warming is a “modern” problem-complicated, involving the entire world, tangled up with difficult issues such as poverty, economic development and population growth. Dealing with it will not be easy. Ignoring it will be worse (United Nation, 2010).
Warga negara memiliki hak ekologi yang diatur oleh hukum untuk berperan serta dalam upaya pelestarian lingkungan. Hal tersebut sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) pasal 5 ayat (3) yang menyatakan bahwa, “Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup”. Kaitan antara perilaku warga negara dengan krisis ekologi di perkotaan digambarkan oleh Sudarmadi, dkk (2011) sebagai penyebab kerusakan lingkungan karena didominasi oleh kurangnya kesadaran warga dalam pengelolaan lingkungan. Artinya, pengelolaan lingkungan selain sebagai hak yang dijamin undang-undang juga memperlihatkan ironi tersendiri sebab aktor utama perusak ekologi juga berasal dari perilaku warga negara.
Bukti-bukti yang tersebar luas di kehidupan kita berupa perilaku merusak lingkungan seperti pembuangan sampah sembarangan, illegal logging, sampai pembangunan antara sektor fisik dan upaya pelestarian lingkungan masih menunjukkan kondisi yang timpang. Nagra (2010) bahkan menganggap kerusakan lingkungan di abad sekarang adalah bencana global (global catastrope) dilihat dari luasnya dampak yang ditimbulkan yang melewati sekat-sekat teritorial. Dalam konteks ini, program-program pro lingkungan perlu diisi oleh penguatan moralitas peduli lingkungan sebagai pencegahan kejahatan ekologi (Budimansyah, 2015). Certoma dan Notteboom (2015) menjelaskan program pelestarian lingkungan oleh pemerintah (top-down) hanya bisa berjalan optimal jika didukung oleh pendekatan dari bawah (bottom-up) dalam bentuk gerakan sosial.
Terkait dengan upaya persuasif pemerintah dalam pemberdayaan lingkungan, Aldo Leopold (1949) dalam artikelnya yang berjudul “The Land Ethic” yang mengatakan bahwa hambatan paling serius terhadap usaha pelestarian lingkungan adalah fakta bahwa sistem pemerintahan maupun sistem pendidikan menempatkan aspek lingkungan secara terpisah dan tidak menaruh perhatian mengenai perlunya kesadaran akan lingkungan. Pada era modern, ekologi sepenuhnya terlepas dari kurikulum sekolah. Pada kurikulum perguruan tinggi pun, ruang lingkup pendidikan lingkungan hanya terbatas pada ranah konseptual dan sama sekali tidak menyentuh ranah praktikal. Berkembangnya kepedulian akan lingkungan selama beberapa dekade terakhir, membuat peneliti-peneliti dari berbagai bidang keilmuan menyimpulkan pendapat yang sejalan dengan pendapat Leopold.
Holmes Rolston (1996) misalnya, berpendapat bahwa kalangan intelektual dan pendidikan moral memberikan kontribusi yang sangat minim dalam mengenalkan nilai-nilai dan tanggung jawab warga negara terkait dengan upaya menjaga berbagai komponen yang penting dalam biosfer. Ia juga menambahkan bahwa berbagai spesies makhluk hidup terancam punah sehingga dalam beberapa kondisi tertentu, dunia pendidikan membutuhkan sebuah visi baru akan tanggung jawab lingkungan. Ronald Laura dan Matthew Cotton (1999) juga mengatakan bahwa fungsi sekolah kini cenderung untuk mendorong siswa untuk menjadi homo economicus yang akan memanfaatkan berbagai sumber daya alam demi kepentingan ekonomi semata. Oleh karena itu perlu dilakukan pembentukan kesadaran pelestarian lingkungan melalui pembelajaran di sekolah. Pembentukan kesadaran ini dapat ditransfigurasikan dalam pendidikan sejak usia dini sehingga siswa dapat menumbuhkan rasa kecintaannya terhadap alam.
Pendidikan lingkungan bukanlah hal yang baru tetapi mengalami sejarah yang panjang sejak abad ke 19, tepatnya pada tahun 1891, saat Wilbur Jackmann menerbitkan buku tentang alam untuk sekolah, yaitu Nature Study for the Common Schools. Setelah buku itu terbit, banyak kegiatan sekolah yang dilakukan di ruang terbuka (outdoor) dengan maksud agar siswa mampu memahami alam dengan memberi pengalaman langsung dengan belajar di luar kelas. Setelah itu, muncul pendidikan konservasi pada akhir tahun 1960-an di Amerika .
Terkait dengan usaha pemerintah Indonesia dalam upaya pembentukan kesadaran lingkungan, pada tahun 1986, Pendidikan Lingkungan Hidup dan Kependudukan telah dimasukkan ke dalam jenjang pendidikan formal di sekolah dengan dibentuknya mata pelajaran Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH). Departemen Pendidikan merasa perlu untuk mulai mengintegrasikan PKLH ke dalam semua mata pelajaran. Pada jenjang pendidikan dasar dan menegah (menengah umum dan kejuruan), penyampaian mata ajar tentang masalah kependudukan dan lingkungan hidup secara integratif dituangkan dalam sistem Kurikulum Tahun 1984 dengan memasukkan masalah-masalah kependudukan dan lingkungan hidup ke dalam hampir semua mata pelajaran.
Depdikbud juga terus mendorong pengembangan dan pemantapan pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup di sekolah-sekolah antara lain melalui penataran guru, penggalakan bulan bakti lingkungan, penyiapan Buku Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) untuk Guru SD, SLTP, SMU dan SMK, program sekolah asri, dan lain-lain. Sementara itu, LSM maupun perguruan tinggi mengembangkan pendidikan lingkungan hidup melalui kegiatan seminar, sarasehan, lokakarya, penataran guru, pengembangan sarana pendidikan seperti penyusunan modul-modul integrasi, dan buku-buku bacaan.
Pada tanggal 5 Juli 2005, Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan SK bersama No.05/VI/KB/2005 untuk pembinaan dan pengembangan pendidikan lingkungan hidup. Di dalam keputusan bersama ini, sangat ditekankan bahwa pendidikan lingkungan hidup dilakukan secara integrasi dengan mata ajaran yang telah ada.
Walau Indonesia telah berusaha untuk menerapkan kesadaran akan lingkungan melalui pendidikan lingkungan hidup, namun sebenarnya konsep pemeliharaan lingkungan hidup yang dilakukan di Indonesia masih sangat terbatas. Belum ada konten kurikulum yang secara jelas mengatur mengenai pentingnya kesadaran akan lingkungan.