Ada yang mengusik hati dan kepala saya ketika membaca Laporan Pelanggaran HAM Internasional yang diterbitkan oleh Human Rights Watch (HRW) pada Januari 2017. Laporan tersebut mengulas dugaan terjadinya pelanggaran HAM di Pusat Rehabilitasi Galuh (Galuh Rehabilitation Center). Yayasan ini adalah tempat yang diperuntukkan untuk penderita gangguan mental/psikis. Jadi bahasa kasarnya: sebuah Rumah Sakit Jiwa. HRW membeberkan data, bahwa ada setidaknya 90 penderita sakit jiwa yang ditampung disana, dengan fasilitas yang sebenarnya hanya cukup untuk 30 orang. Tak puas membaca penjelasan sekilas pada Human Rights Report tersebut, saya lalu berusaha menemukan alamat website mereka untuk mengetahui lebih jauh, dimana lokasi tempat ini dan mengapa pelanggaran HAM bisa terjadi.
Pada situs resmi Human Right Watch, saya tidak lagi menemukan tulisan, tabel, dan angka-angka statistik, melainkan gambar-gambar dan video yang diambil secara khusus oleh tim investigasi HRW untuk Indonesia. Mereka mengemasnya dalam suatu galeri photo essay bertajuk: Living Hell.
Keji dan tidak berperikemanusiaan. Hanya itu saja kalimat yang ada di benak saya, setelah melihat bagaimana penderita sakit jiwa ini, diperlakukan tak ubahnya seperti binatang.
Dimana lokasi Galuh Rehabilitation Center dan siapa saja yang ada disitu?
Galuh Rehabilitation Center terletak di Bekasi, sekitar satu jam perjalanan dari Kota Jakarta. Yayasan ini merupakan salah satu pusat perawatan, atau boleh dikatakan rumah, bagi penderita gangguan kejiwaan.
Galuh Rehabilitation Center memiliki setidaknya 254 pasien dari berbagai usia, termasuk diantaranya anak-anak. Tempat ini dibuka pada tahun 1982, didanai dengan uang hasil donasi, dan menggunakan obat-obatan herbal untuk mengobati pasien.
Yayasan ini digratiskan untuk penderita down syndrome, penderita gangguan mental karena penyalahgunaan obat-obatan, dan juga untuk penderita schizophrenia. Namun, tempat ini tidak dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang layak, tidak memiliki peralatan-peralatan psikiatri modern, dan tidak mendapatkan kunjungan secara teratur dari perawat atau dokter.
Galuh Rehabilitation Center merupakan salah satu dari sekian banyak yayasan bagi penderita sakit jiwa, yang masih menggunakan kerangkeng/belenggu/borgol bagi para pasiennya, praktek yang sebenarnya sudah dilarang penggunaannya sejak tahun 1977.
Pihak pengelola terpaksa harus membelenggu pasien untuk membatasi gerak mereka. Alasannya sederhana, kurangnya petugas medik, terlalu banyaknya pasien, dan minimnya fasilitas lembaga!
Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pegawai yayasan atas perlakuan mereka yang tidak humanis pada para pasien. Keadaanlah yang menjadikannya begitu. Bayangkan saja, beberapa gelintir pegawai di yayasan ini, harus menangani 254 pasien sakit jiwa yang kondisi mentalnya aneh-aneh. Betapa repotnya!
Setelah mulai terpublikasi media internasional pada tahun lalu, kini Yayasan Galuh telah memiliki ruang isolasi sehingga tidak lagi harus memborgol pasien. Namun, pihak yayasan masih saja kesulitan dan harus berjuang keras untuk menyediakan peralatan dan obat-obatan yang dibutuhkan oleh pasien-pasien mereka. Pengelola juga kerepotan untuk menemukan dokter atau perawat dengan keahlian yang sesuai.