Perkembangan industri halal telah dirasakan manfaatnya oleh semua kalangan, tidak terkecuali generasi muda tanah air. Salah satu sektor industri halal dengan perkembangan paling pesat di Indonesia adalah industri kosmetik halal. Era globalisasi saat ini telah menuntut para produsen kosmetik untuk bisa bersaing dengan produk-produk berkualitas dari seluruh penjuru dunia. Terlebih, produk kecantikan telah menjadi kewajiban, khususnya bagi para kaum hawa untuk dapat digunakan kapan saja dan di mana saja.
Dengan demikian, para pelaku industri kosmetik terus berinovasi menciptakan produk yang ramah lingkungan dan mudah dibawa dalam perjalanan. Hal tersebut telah menciptakan persaingan pesat tentang bagaimana produsen kosmetik mampu memenuhi kebutuhan para konsumen sehingga konsumen bisa menggunakan kosmetik dalam berbagai keadaan dengan rasa nyaman dan tanpa kesulitan apa pun.
Namun, di balik semua persaingan tersebut ada fenomena ironis, sebab praktik pengujian produk kosmetik pada hewan masih lazim dan legal di sebagian negara di dunia. Lalu, apakah produk-produk kosmetik yang menggunakan hewan sebagai pengujian tersebut tetap halal dan boleh untuk digunakan?
Pengujian kosmetik pada hewan, yang meliputi tikus, kelinci, hamster, dan bahkan primata, melibatkan penderitaan yang tidak terbayangkan bagi makhluk hidup tersebut. Proses ini sering kali mencakup pemberian bahan kimia langsung ke kulit atau mata hewan, serta uji toksisitas yang dapat menyebabkan penderitaan fisik dan psikologis yang parah.
Para kritikus menegaskan bahwa praktik ini tidak hanya tidak etis, tetapi juga tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat, karena perbedaan biologis antara hewan dan manusia sering membuat hasil uji tidak relevan atau bahkan menyesatkan. Persoalannya menjadi semakin kompleks ketika dipertimbangkan dari sudut pandang keislaman, terutama bagi konsumen Muslim yang peduli akan etika dan kesejahteraan hewan.
Dalam Islam, penting untuk memperhatikan prinsip kesejahteraan hewan (maqasid al-hayah) dan perlindungan terhadap makhluk hidup. Meskipun tidak ada nash (teks langsung dari Al-Qur'an atau Hadis) yang secara eksplisit membahas penggunaan hewan dalam pengujian kosmetik, prinsip-prinsip Islam tentang keadilan, kesejahteraan, dan penghindaran dari melakukan perbuatan yang menyebabkan penderitaan pada makhluk hidup harus diperhatikan.
Dalam konteks ini, para ulama dan cendekiawan Muslim telah mengeluarkan fatwa dan pernyataan yang menyoroti masalah penggunaan hewan dalam pengujian kosmetik. Fatwa-fatwa ini sering kali menekankan perlunya menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia akan kecantikan dengan kesejahteraan hewan.
Misalnya, Dewan Muslim Britania Raya telah mengeluarkan pernyataan yang menyatakan bahwa pengujian kosmetik pada hewan tidak selaras dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dalam Islam, dan seharusnya dihindari sebisa mungkin. Di tengah perdebatan ini, banyak organisasi hak-hak hewan yang terus memperjuangkan penghentian pengujian kosmetik pada hewan.
Mereka menekankan pentingnya pengembangan metode pengujian alternatif yang lebih etis dan lebih akurat, seperti pengujian in vitro (di luar tubuh) dan menggunakan model komputer untuk memprediksi keamanan produk. Di samping pandangan agama, banyak negara dan organisasi internasional seperti Crueltry Free International juga telah mengambil langkah-langkah untuk mengurangi atau menghentikan penggunaan hewan dalam pengujian kosmetik.
Uni Eropa, misalnya, telah melarang pengujian kosmetik pada hewan sejak 2013, sementara negara-negara lain telah mengikuti jejak yang serupa. Meskipun ada peningkatan kesadaran akan masalah ini, terutama di negara-negara maju, masih banyak produk kosmetik di pasaran yang berasal dari pengujian pada hewan.
Sebagian besar negara bahkan tidak memiliki regulasi yang ketat terkait pengujian kosmetik, yang berarti bahwa praktik ini dapat dilakukan tanpa batasan yang jelas. Sebagai konsumen Muslim yang peduli, penting untuk menyadari sumber dan proses pembuatan produk kosmetik yang kita gunakan.