Lihat ke Halaman Asli

Kawah Papandayan, Eksotisme Wisata yang Rindu Jamahan Investor

Diperbarui: 20 Januari 2016   16:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemandangan Gunung Papapandayan dari kaki gunung. (KOMPAS.com/Tri Wahyuni)

"Ayo datang ke kawah Papandayan, temukan perbedaannya!" Mestinya ada baligo besar di perempatan maktal Kota Garut yang bunyinya seperti itu, minimal sebagai penanda bagi pelancong dan calon pelancong yang berniat menjengguk kawah Papandayan. Atau kalau tidak di Maktal, barangkali dipasang di pertigaan Simpang Bayongbong, perbatasan Kota Cisurupan dan Kota Cikajang sebagai alat promosi untuk menjaring wisatawan lokal yang kebetulan lewat di jalur itu sambil kebetulan pula membacanya.

Papandayan, jangan tanya di mana tempatnya sebab kalau Anda tidak tahu itu artinya Anda bukan seorang penjelajah dumay yang baik, sebab kalau Anda tak pernah mendengarnya berarti Anda hidup lingkungan yang chanel televisinya berisi berita melulu.

Papandayan, sebuah gunung yang pernah berhasil membuat sosok Amin Rais, Dedy Mizwar dan para selebriti Indonesia, itu tahun 2002 hadir di kaki Gunung Papandayan menjenguk sodara-sodaranya yang tertimpa musibah longsoran lahar dingin akibat letusan gunungnya.

Papandayan, yang lantai hutannya adalah permadani suagi berwarna hijau kecokelatan, berasa asem dan bisa dipakai untuk mengganjal rasa haus dan lapar sekaligus, yang atap langitnya adalah hamparan bunga abadi edelweis di tegal alun, yang tubuhnya berselimut asap belerang, yang kakinya selonjor ke tepi Sungai Cimanuk berkelok-kelok.

Hutan mati yang dahan dan rantingnya meranggas hitam, seperti tangan-tangan peri malam menggapai langit berbulan purnama, atau juga bak sekumpulan penari misteri dengan jemari yang kurus dengan tarian kematian, menjadi penanda bahwa Papandayan tidak berada di bulan.

Papandayan, apalagi yang harus kutuliskan agar bentuk kekaguman ini bisa tumpah? Apalagi ya? Kasi tahu gak ya? Yups... satu lagi. Papandayan sayang bukan seorang perawan desa.... para pemerkosa sudah sejak lama memerawani hutannya sampai ke daerah paling terlarang di puncaknya.

Hutan pinus di era 90-an sudah lama hanya berupa legenda yang sekarang tertulis di atas secarik file usang. Gunung Jaya dengan kolam air jernih di pinggir jalan, penjual es cendol di bawah naungan atap ijuk yang rela bersepi diri menunggu penderes getah pinus istirahat, kini hanya tersedia dalam potret buram tanpa bingkai.

Papandayan yang rambutnya semakin gundul ditebangi penjarah kayu, yang wajahnya bopeng-bopeng digarap petani sayuran sampai ke tepi hutan lindung, yang sumber airnya makin kering diperebutkan penduduk di kakinya, sambil terus-menerus memakinya dengan gergaji simso hingga akar-akar air lenyap di bawah lapisan arinya.

Papandayan, eksotisme yang butuh jamahan orang-orang yang paham apa artinya warisan kehidupan untuk anak-cucu, insan yang mengerti tangisan alam kala kegadisannya direnggut dengan paksa, manusia yang tahu apa artinya cinta dan rindu kepada rimbun hutan dan lumut spagnum yang bergelantung di atas dahan.

Papandayan memang kini tengah merana. Bukan karena sisa letusan 2002 yang melongsorkan jalan penghubung menuju Bandung, bukan karena asap belerangnya yang makin pekat di hidung, bukan pula karena pondok saladahnya yang makin tak terlindung. Bukan hanya itu... malainkan semuanya dikumpulkan jadi satu dalam bait prosa tangisan dan kesedihan yang dialunkan di tengah malam gelap menuju arsy Allah di Baitul makmur.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline