Lihat ke Halaman Asli

Maniar Turnip

Mahasiswi Ilmu Komunikasi

Mendukung LGBT, Sekedar Ikut-ikutan atau Kesadaran Sendiri?

Diperbarui: 6 September 2020   16:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebagai masyarakat modern di abad 21, kita sudah tidak asing lagi dengan istilah LGBT. LGBT adalah akronim dari lesbian, gay, biseksual, dan transgender yang digunakan untuk mengganti istilah "komunitas gay" pada tahun 90an di negara Amerika. 

Pada awalnya, komunitas LGBT mendapat banyak kecaman karena dianggap sebagai perilaku menyimpang dan mendapat perlakuan diskriminasi dari banyak orang. Perjuangan komunitas LGBT untuk mendapat persamaan hak serta toleransi bermula sejak terjadi insiden pemberontakan di Stonewall, Kota New York. 

Perjuangan kesetaraan hak LGBT pun berbuah manis saat gugatan kaum LGBT dimenangkan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat. MA Amerika mengesahkan UU Federal yang digunakan untuk melarang tindak diskriminasi di tempat kerja dan melindungi para karyawan kaum LGBT (Siringoringo, 2020).

Hal in tentu menjadi napas lega bagi kaum LGBT tak hanya di Amerika, namun juga di seluruh dunia. Contoh, ada banyak orang yang berpartisipasi dalam Pride Parade atau Gay Parade di Meksiko. 

Banyak bendera pelangi yang dikibarkan, musik dinyalakan secara nyaring, serta pasangan keluarga dan aktivis LGBT beramai-ramai turun ke jalanan untuk menunjukkan orientasi seksual mereka (VOA Indonesia, 2019). 

Beberapa selebriti Indonesia seperti Dena Rachman dan Cindercella pun turut meramaikan Pride Parade di Kota New York. Dalam unggahan Instagram kedua artis ini, nampak keduanya turut menyuarakan kesetaraan hak LGBT dan menyampaikan bahwa keduanya sangat menghargai setiap kebebasan pilihan hidup seseorang (Rosita, 2019). 

Sebagai seorang publik figur, keduanya tentu mendapat komentar postif dan negatif. Dari sekian banyak komentar negatif yang diterima, ternyata banyak juga yang mendukung dan sependapat dengan Dena dan Cindercella saat mengikuti parade ini.

Fenomena ini dapat dikaitkan dengan Teori Kolonialisme Elektronik, dimana teori ini berfokus pada cara media global yang memengaruhi cara konsumen berpikir, melihat dan bertindak. 

Menurut McPhail, proses sosialisasi dari Teori Kolonialisme Elektronik ini membuat media menjadi citra baru yang diserap ke dalam pikiran dan akhirnya perlahan-lahan konsumen media tersebut mulai bertingkah, berbicara atau pun berpakaian seperti masukan dari media yang mereka konsumsi. 

Mereka pun merasa mempunyai kesamaan dengan kelompok yang berada di belahan dunia lain lewat sosial media universal daripada dari lingkungan sekitarnya sendiri.

Hal ini dapat dilihat pada Dena dan Cindercella yang turut ikut menyuarakan kesetaran hak LGBT di New York. Unggahan kedua artis ini tentu sangat berpengaruh dalam sosial media, terbukti dari banyaknya artis dan fans yang setuju dan akhirnya juga turut mendukung kaum LGBT. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline