Terhadap presiden terpilih, saya berharap menjadikan agenda pembenahan sistem AGRARIA atau pertanahan di Indonesia.
Selaku warganegara yang peduli namun awam, saya tak akan menguraikan secara detil namun sebatas prinsip umum. Memahami prinsip umum membutuhkan nurani dan keberpihakan pada masyarakat, serta visi pentingnya struktur kuat percepatan pembangunan.
Sistem yang ada setidaknya melibatan 4 (empat) instansi pemerintah yang disengaja atau tidak saling kolaborasi menambah beban rakyat, roda perekonomian dan yang paling parah merusak moral bangsa.
Terhadap pertanahan, ada tiga aspek: Kepemilikan, Pajak dan Ijin Penggunaan. Ketiga aspek ini dikelola oleh empat instansi yang semrawut sistem pengelolaan dan hubungan antar instansinya. Sudah menjadi nasib bangsa Indonesia, Negarawannya tak mampu menyusun sistem perundang-undangan yang selaras melayani visi yang telah dicanangkan.
1a. Kelurahan (di kota)
1b. Desa (di kabupaten-). yang kepalanya adalah hasil pemilihan langsung demokrasi
2. Kantor Pajak Bumi dan Bangunan (Pemerintah Pusat-Departemen Keuangan)
3. Badan Pertanahan Nasional (Pemerintah Pusat)
4. Tata Kota (Pemerintah Derah)
5. Pejabat Pembuat Akte Tanah (Notaris atau Camat untuk di kabupaten)
Saat mengurus Kepemilikan lahan, rakyat dipaksa berhadapan dengan keempat instansi ini, yang dalam praktek memanfaatkan kekacauan demi keuntungan pribadi, dengan pameo terkenal "bila bisa dipersulit kenapa harus dipermudah".
- Saat melengkapi berkas sertifikasi lahan ke BPN, kantor BPN mewajibkan Akta Jual Beli, rekomendasi lurah, pajak dilunasi (PBB) , peruntukan dari tata kota (Keterangan Rencana Kota/Advice Planning).
- Saat membuat Akta Jual Beli, para pihak yang bertransasi melunasi pajak 10% (5% PPh. 5% BPHTB, validsi) plus PPAT 2%
- Setelah berkas lengkap baru BPN mau bekerja mengurus sertifkasi.
Sepintas hal ini tak bermasalah, tetapi pada iklim moral dan etika pejabat yang demikian rendah, melengkapi persyaratan terebut adalah tidak mudah dan sangat mahal.
Menjadi tarif umum, pungutan liar namun resmi oleh kepala desa 10-15%. Hal yang direstui seluruh bangsa, korupsi oleh kepala desa demi mengganti kerugian akibat sistem demokrasi pemilihan kades. Masih beruntung bila kepala desa memasang prosentase dari NJOP-PBB, bila prosentase dari nilai transaksi akan lebih tinggi lagi.
Kantor PBB kian membebani dengan mengkerek Tarif PBB hampir setiap tahun. Kantor PBB membutakan mata bahwa, tarif PBB yang ditetapkannya dijadikan patokan bagi berbagai pungutan resmi maupun tidak resmi. Kantor PBB adalah sumber inflasi di Indonesia.
Sebagai contoh tahun 2014, saat mengurus AJB tanah 2000m didesa yang PBB nya baru dikerek dari Rp20.000 ke Rp48.000. (Perlu diketahui tanah tersebut bila dijual Rp40.000/m dibawah NJOP, belum tentu laku). PPh dan BPhtB sejumlah Rp10jt tambah validasi, Kepala Desa yg baru bangkrut pilkades 15% sejumlah RP15jt, PPAT Camat/Notaris 2% Rp2jt.
Bila pemohon tidak jeli seperti yg terjadi pada 99% pemohon, formulir rekoemdasi yang digunakan adalah yang ada didesa. Saat diajukan ke BPN, BPN meminta formulir yang digunakan yang berasal BPN. Perlu diingat sangat sedikit yang mengurus langsung dari AJB ke Sertifikat mengingat besarnya biaya, sehingga harus bertahap. Saat meminta Rekomendasi baru dengan Formulir BPN, Kepala Desa akan mengenakan tarif yang serupa. Pemohon akan kena beban dua kali atas biaya rekomendasi kepala desa.