Setelah beberapa kali menulis artikel tentang peredaran minuman keras (miras), serta mengabarkan sejumlah kafe dan resto yang dijadikan Tempat Hiburan Malam (THM) di Cilegon, rupanya mendapatkan respon dari para ulama Banten.
Sejujurnya, saya tidak mengenal betul sosok kiyai yang menghubungi via chat WhatsApp dan mendesak bertemu di pendopo Kabupaten Serang beberapa waktu lalu.
Pertemuan siang itu, akhirnya saya bisa berdiskusi dengan para ulama yang baru saja selesai membahas penutupan pabrik miras PT Balairaja Barat Indah (BBI) bersama Bupati Serang.
Beliau adalah KH. Wari Sadeli, selaku Sekertaris Dewan Pakar Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (FSPP) Provinsi Banten dan KH. Jawari sebagai Ketua Laskar Santri Banten.
Para Kiyai mengajak diskusi singkat mengenai peredaran minuman keras yang masif di Kota Cilegon. Saya hanya bisa menceritakan hasil investigasi, serta bukti berupa foto dan video yang menunjukkan aktivitas kafe dan resto yang bebas menjual miras dari berbagai merk.
"Saya bingung, katanya Cilegon Bermartabat dan zero alkohol, tapi sekarang kenapa bebas menjual miras? " tanya Kiyai Wari.
Menurut Kiyai, jika peredaran miras dijual bebas di kafe dan resto, artinya tidak ada kontrol dan pengawasa dari Pemerintah. Apalagi saat ini kafe dan resto banyak yang berubah bentuk menjadi THM dan buka hingga dinihari.
"Identitas asli Cilegon itu adalah Kota Santri, karenanya siapapun kepala daerahnya harus sadar itu, biarpun kini dikenal sebagai Kota Industri, semata untuk memperkuat positioning sebagai kota santri," kata Kiyai Wari.
Menurutnya, institusi pesantren keberadaannya harus mengambil peran di Kota Cilegon, minimal sebagai faktor kunci penjaga kota dari segala bentuk kemaksiatan yang merusak moralitas generasi muda, serta merawat ruh Islam di Kota Cilegon. Para ulama harus aktif mengingatkan walikotanya.
"Makna Cilegon bermartabat dalam visi Kota Cilegon harus dimaknai sebagai daerah religius. Artinya, walikota harus serius memastikan di wilayahnya bebas THM dan bebas peredaran minuman keras!"