Sejak kecil kita selalu ditanya cita-cita apa yang kelak akan dicapai saat dewasa nanti?
Ragam profesi pun bermunculan dibenak anak. Menjadi dokter, guru, polisi, tentara, kiyai, adalah bagian dari cita-cita yang tertulis dalam selembar kertas. Kemudian semua kertas itu dimasukan ke dalam botol kaca. Digantungkan dengan utasan tali di ranting pohon besar.
Jadilah pohon cita-cita. Botol kaca yang bergelantungan itu seperti harta karun anak-anak yang menyimpan harapan di masa depan.
Begitulah gambaran kecil dalam film Serdadu Kumbang (2011). Di atas bukit tumbuh sebuah pohon besar. Meski di daerah terpencil, bukit itu memiliki banyak impian dan harapan anak-anak yang tumbuh di sana.
Serdadu Kumbang menjadi judul film keluarga yang syarat dengan nilai-nilai edukasi. Di saat anak-anak harus belajar di rumah saja karena pandemi covid-19, film yang mengangkat kisah anak-anak Desa Mantar, Sumbawa Barat ini sangat cocok menjadi tontonan edukasi.
Bukan Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen jika tidak memproduksi film anak yang berkualitas. Bersama rumah produksi Alenia Pictures, Ari dan Nia masih tetap konsisten menyajikan cerita anak nusantara yang penuh semangat dengan karakternya yang khas.
Kali ini, kisah seorang anak yang lincah sebagai joki kuda khas orang Sumbawa Barat, muncul tokoh utama bernama Amek. Sosok anak ini dihadapkan pada persoalan keluarga, dimana Bapak pergi menjadi TKI di Malaysia dan tidak pulang selama tiga tahun. Amek hidup bersama Ibunya dan kakaknya, Minun yang menjadi anak pintar di sekolah.
Di awal cerita, Amek yang tahun lalu tidak lulus ujian nasional itu pun merahasiakan cita-citanya. Di gantungan botol-botol itu tidak tersimpan cita-citanya. Padahal Amek bercita-cita ingin menjadi penyiar berita, namun tidak bisa diungkapkan kepada teman-temannya.
Amek malu untuk mengutarakan cita-citanya. Di sekolah dikenal sebagai anak yang bandel, jahil dan keras kepala, tapi Amek adalah anak yang cerdas, aktif, murah hati dan memiliki jiwa solidaritas yang tinggi terhadap teman-temannya.
Film Serdadu Kumbang seolah membuka mata hati kita. Di pulau sumbawa yang jauh dari Ibu Kota Negara, kehidupan sederhana dan fasilitas pendidikan masih serba kekurangan. Dampaknya sangat tragis, anak-anak gagal lulus ujian nasional.