Lihat ke Halaman Asli

Mang Pram

TERVERIFIKASI

Rahmatullah Safrai

Romantika Papandayan, Menyesap Rindu pada Yasinta

Diperbarui: 29 Oktober 2019   15:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumen pribadi

Kopi menjadi minuman yang terkadang akan menjadi puitis di tangan jemari penyair. Ditemani senja maka akan lebih romantis dengan alur cerita drama. Tapi bagi saya, kopi adalah kenikmatan, sastra, atau pun kiasan pahitnya patah hati, kopi menyimpan banyak kenangan yang menghantarkan pada petualang hidup ini.

Segelas kopi tersaji di atas meja di ruang kerja sahabat lama. Dari sela-sela jendela, semburat cahaya memang sudah mulai terpancar. Sebentar lagi senja. Tidak bermaksud membuat cerita romantis tentang kopi dan senja. Hingga magrib menjelang, tidak banyak perbincangan. Kopi dan aromanya begitu akrab untuk terus aku sesapi. Cahaya keemasan senja berlalu sebentar saja. Semua itu seperti kunci untuk membuka sebuah kenangan yang sudah tertumpuk beberapa tahun lalu dalam memori ingatan.

Saya memang pecinta kopi, paling hafal adalah Kopi Kupu-kupu asal Rangkasbitung. Selebihnya, jika bukan kopi dalam kemasan plastik sachetan, bubuk kopi yang terseduh air panas adalah sebenarnya kopi, jawabannya antara robusta atau arabika. Mencoba mengingat khas kopi yang menyentuh seluruh bagian lidah dan rongga mulut.

Selesai menunaikan sholat magrib, obrolan tersulut pada sebuah kenangan perjalanan bersama sahabat lama saya ini.
"Masi ingat dengan Yasinta?" kata Waseh.

Mendengar kata secantik itu, ingatanku langsung tertuju pada seorang gadis asal Padang. Awal perkenalan di tempat yang tidak seromantis di dalam film, yaitu sebuah pelataran minimarket di Jalur Nagrek.

"Yasinta dan arabika Papandayan," saya menjawab pasti. 

Telapak tangan Waseh melayang di depan mata, reflek saya sambut, seketika terbentur. Tos! Soal perempuan cantik seolah merangsang ingatan dimana darah mudah bujang bergejolak.

"Ingat saat petualang yang masi takut mendaki gunung tinggi, tapi menginginkan berjumpa bunga edelweis," kata Waseh.

Kata petualang sepertinya tidak cocok jika disematkan kepada saya. Waseh adalah seorang pendaki sejati yang sudah menaklukan gunung-gunung di tanah Jawa, Sumatra, dan pedalaman di Pegunungan Papua. Saya hanya penikmat pemandangan laut, pantai, dan pulau-pulau. Sedikit religius mendatangi tempat peninggalan sejarah, seperti tempat ziarah para wali dan bangunan kuno peninggalan peradaban di masa lalu.

Gunung Papandayan menjadi tujuan pendakian pertama di luar wilayah Banten di tahun 2015 silam. Sebelumnya Gunung Pulosari, Gunung Karang, dan Gunung Gede Bojonegara sudah berhasil ditaklukan di tanah para jawara. Hingga kemudian obrolan di sepanjang perjalanan Kapal Ferry Penyebrangan Bakauheni -- Merak, setelah menjelajahi wisata Gunung Anak Krakatau dan pulau-pulau di sekitar perairan Selat Sunda, Waseh memberikan tantangan kepada saya untuk mendaki gunung.

"Hayolah, jangan main pantai melulu," kata Waseh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline