Judul tulisan ini tidak asing bagi para penggemar produk Apple. Di brosur pertama Apple, tulisan ini terpampang. Bauhaus telah menginspirasi Apple untuk membuat produk dengan design yang sangat simpel sejak tahun 1981. Dan sampai sekarang, konsistensi kesimpelan produk Apple masih bisa kita lihat. MacBook, keyboard-nya sangat simpel apalagi mousepad-nya, hanya kotak tanpa tombol. iPad dan iPhone juga hanya punya satu tombol. Bauhaus Dessau (source: Wikimedia) Di saat Windows 8 consumer review diluncurkan, saya menghadiri peluncurannya di kantor Microsoft di gedung Bursa Efek Indonesia. Seorang presenter yang bertanggung jawab terhadap Windows Phone, bercerita bahwa Metro style design yang dianut oleh WP dan Windows 8 merupakan penelitian bertahun-tahun Microsoft untuk bersaing debgan design Apple. Salah satu inspirasi dari design tersebut adalah Bauhaus juga (Dua inspirasi lainnya: Swiss dan motion designs). Malah, kesimpelan Metro style design menurut saya lebih simpel dari produk Apple. Microsoft sangat terpengaruh oleh design petunjuk di bandara: font yang simpel dan bersih dari efek serta icon yang hanya satu warna. Dan saya suka. Karena, saya suka kesederhanaan.
Less is more. God is in the details
Keringkasan ada di dunia "otak kanan" dan "otak kiri" Keringkasan tidak hanya milik dunia "otak kanan" (seni, kreatif) namun dunia "otak kiri" (analisis) juga memanfaatkannya. Saya kuliah di Departemen Statistika IPB. Ini adalah departemen yang sangat "otak kiri": menganalisa. Quote pertama yang saya dapatkan adalah
Keringkasan adalah jiwa kemampuan berikir
Quote ini tercetak di atas kertas quarto polos yang ditempel di pintu kelas. Di ruangan inilah ospek berlangsung. Belakangan baru tau kalau quote ini dipasang untuk mengelabui departemen akan rusaknya pintu yang ukurannya ga selebar quarto bekas ospek beberapa tahun sebelumnya. Saya belum mengerti apa maksud dari quote tersebut. Pak Andi Hakim Nasoetion, yang merupakan guru besar statistika IPB, yang juga revolusioner dunia pendidikan Indonesia − pencetus PMDK, pembuat nama "pascasarjana" (dibaca pascasarjana bukan paskasarjana) untuk sebutan S2, menyurutkan masa kuliah S1 dari 7/8 tahun menjadi 4 tahun, mengajarkan kami untuk mengambil saripati (menyarikan) dari data/informasi yang ada. Intinya, bagaimana meringkas data yang ukurannya segambreng agar didapatkan informasi yang berguna. Contoh pertama yang sangat sederhana adalah data tinggi badan dari mahasiswa di kelas yang berjumlah 70 orang. Jika seseorang bertanya berapa tinggi badan mahasiswa di kelas, apa jawaban yang akan Anda sampaikan? Tentu saja Anda tidak akan membacakan tinggi badan ketujuh puluh mahasiswa bukan? Anda akan mencari saripati dari data itu. Yang paling sederhana mungkin Anda bisa menyampaikan 3 informasi: rata-rata, tinggi badan tertinggi dan terendah. Atau, Anda bisa menyebutkan statistik 5 serangkai: min, kuartil 1, median, kuartil 3 dan max. Atau Anda bisa bikin histogram atau pie chart dengan mengelompokkan tinggi badan mahasiswa. Menyarikan data justru jauh lebih berarti daripada menyebutkan data mentahnya. Contoh yang lebih rumit, misalnya Anda punya data makroekonomi dan pasar modal. Untuk ngasih info hubungan antara pasar modal dan makroekonomi Anda melakukan simplicity dengan membuat sebuah model statistika yang hanya satu baris. Anda memodelkan dengan analisis statistika canggih yakni menggunakan VAR, ARCH/GARCH, ECM/VECM. Lalu didapatkan sebuah baris model dan Anda menginterprestasikan dalam tiga paragraf. Ya, dari data makroekonomi dan pasar modal yang memiliki data historis yang panjang, Anda dapat menyederhanakannya dalam satu baris. Untuk membikin satu baris model ini, dibaliknya adalah kerumitan dan kecanggihan − yang bisa bikin keram otak. Inilah yang disebut....
Simplicity is the ultimate sophistication
Skripsi di Departemen Statistika IPB banyak yang hanya lima halaman. Mungkin Anda yang nulis skripsi ratusan halaman akan kaget. Hehehe... Untuk membuat skripsi, saya dan dua teman di-training sama sebuah perusahaan di Jakarta. Ketika draft skripsi teman saya yang lima halaman dikasih ke Dirut Perusahaan itu, dia ketawa geli. Namun setelah itu, dia memuji berkali-kali dan bilang kalau dia bisa dengan cepat mencerna dan memahami skripsi teman saya itu... Syukurlah... :D Di akhir semester, seorang dosen mengajarkan "The power of simplicity". Dan baru deh ngerti apa maksud quote di pintu yang rusak itu... hahaha.... Di kerjaan, mantan boss saya ternyata menganut keringkasan yang sangat akut. Pernah satu weekly report kami hanya satu halaman yang terbagi dalam enam sections. Lima sections berisi charts dan tabel sedangkan analisis hanya dikasih tempat satu section. Bayangin kalau Anda jadi saya, gila ga tuh?! Udah berkali-kali ngebujuk mantan boss buat nambahin halaman jadi dua, dia tetap bergeming. Boss saya juga kalau nulis report tipis aja, ngalahin saya. Tidak semua orang suka keringkasan Sebagai analis, ternyata tidak semua tidak suka dengan keringkasan. Saya pernah dihina dengan tulisan saya yang sederhana yang hanya belasan halaman. Setelah bertemu dengan orang itu, eh ternyata dia maunya report saya tiga kali lebih tebal. Hm... padahal ya kalau mau segitu halaman ga usah menghina. Bukannya saya tidak bisa tapi ya enggak aja, hahaha... Secara emang biasanya report ya segitu aja tebalnya. Membuat report yang tebal dengan memasukan semua informasi sangatlah mudah. Semua orang mungkin bisa melakukannya. Beda, kalau data Anda segambreng, namun Anda hanya punya space satu halaman untuk menuliskannya. Mungkin Anda akan sakit kepala, informasi apa yang harus disampaikan. Ya hanya..., memasukkan semua informasi akan membuat saya capek aja ngetiknya. Nah, bagaimana dengan Anda, suka keringkasan atau kerumitan? :D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H