Lihat ke Halaman Asli

Manggali Patarwani

Manggali Patarwani

Menuntut Ilmu Content Marketing Hingga ke Negeri Dewata

Diperbarui: 3 Juni 2020   23:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Bagi saya, media sosial tidak lebih dari sekadar saluran penyampai hasrat. Hasrat bercerita, berkomunikasi dan bersosialiasi dengan ruang publik yang tidak dibatasi oleh tembok-tembok fisik. Tetapi itu dulu. Kini, saya terkaget-kaget dengan cara khalayak menggunakan media sosial sebagai perwakilan tiap persona. Secara utuh. Baik untuk kebutuhan pribadi yang sifatnya privat, hingga ke kebutuhan manusia untuk berniaga dan memperoleh pendapatan. Pada satu sisi, fitur-fitur media sosial terasa demikian menjanjikan karena dapat mengakomodasi berbagai aspek kebutuhan manusia. Tetapi di sisi lain, rasanya ngeri juga. Betapa kini teknologi seperti tubuh kedua kita, yang mewakili kehadiran kita di dunia maya. Holistik, menyeluruh, seakan rela menggantikan keberadaan kita saat kita terlampau letih dan jenuh bermain-main di alam nyata.

Keterheranan inilah yang akhirnya mendorong saya untuk datang ke event Kompasiana Blogshop bersama JNE. Sejak membaca pengumuman acara, pikiran saya kembali melayang ke halaman-halaman Facebook dan Instagram yang kini ramai dipenuhi gambar-gambar promo produk. Rasanya sebal sekali tatkala menggeser layar ponsel, yang muncul hanya pack shot produk beraneka ragam disertai dengan caption yang khas, “Mau kulit mulus? Yuk, sis, diorder.”Kadang saya bingung, bagaimana ya kalau yang mau order itu laki-laki. Apa iya tetap dipanggil ‘sis’? Ah tetapi bisa saja kan nama lelaki itu Warsis atau Siswanto.

Pokoknya saya jadi penasaran, apakah metode marketing di media sosial harus seperti itu? Kok spamming sekali. Saya juga sering kok melihat iklan atau postingan promo produk yang dikemas dengan manis dan apik. Produk atau toko difoto secara artistik lalu diberi pengantar berupa kisah pembuatan produk tersebut yang bahkan bernilai berita. Tidakkah itu malah lebih ampuh untuk menarik perhatian calon pembeli?

Selamat datang di Universitas Udayana!
Tanggal 28 April lalu. Setelah menumpang pesawat dan singgah sejenak di rumah kerabat, saya pun tiba di Gedung Paskasarjana Universitas Udayana. Ternyata meja registrasi telah ramai dipadati Kompasianer dan para mahasiswa. Wow! Tentu saja ini tidak mengagetkan, pelaku bisnis kreatif yang dilakoni melalui media sosial kebanyakan adalah anak muda. Kalangan yang melek gadget. Sembari menunggu antrian, saya menikmati pula sudut pesembahan JNE yang bertajuk Pesona Nusantara. Di situ, saya dapat melihat penganan dari berbagai propinsi di Indonesia. Mungkin pihak JNE ingin memperlihatkan bahwa persebaran penganan tradisional di Indonesia dapat dibantu dengan kehadiran JNE, yang siap mengantar sajian-sajian itu berpergian hingga ke berbagai penjuru negeri. Tidakkah dengan demikian JNE juga berpartisipasi mengenalkan ragam budaya Indonesia sehingga dapat melintasi banyak propinsi?

Setelah duduk di dalam ruangan, saya dapat melihat wajah-wajah antusias yang sepertinya tidak sabar mendengar berbagai kiat berbisnis online. Jangan-jangan hanya saya satu-satunya peserta di ruangan tersebut yang memiliki motivasi selain berjualan. Heheheh.. Tidak apa-apa, yang penting saya dapat mengerti seluk beluk normatif seputar berdagang di media sosial.

Waktu yang saya tunggu pun segera tiba. Nurulloh sang moderator mempersilakan Iskandar Zulkarnaen dari Kompasiana untuk menjelaskan perihal content marketing. Dalam pemaparan Iskandar (disapa dengan sebutan Mas Is), maka saya dapat mengetahui bahwa dalam konteks media sosial, kita tidak sepatutnya melakukan interaksi tanpa memikirkan kualitas konten. Demikian pula ketika melakukan marketing, ada hal-hal yang perlu diperhatikan supaya produk yang kita tawarkan dapat menarik perhatian calon pembeli dan bahkan membuat mereka yang tadinya tidak berminat, menjadi ingin membeli produk kita. Mas Is menekankan perlunya orisinalitas (baik secara diferensiasi produk dan konten yang menyertainya), kesabaran, timely dan relevan (peka pada tren saat itu dan kebutuhan kerumunan), serta daya tarik produk.

Untuk teknik berinteraksi, Mas Is menyampaikan kepada peserta bahwa kita perlu memperhatikan semangat bersenang-senang, connect with people, memperoleh pendapatan, menunjukkan kapasitas (penjual), dan menolong/melayani orang lain. Setelah Mas Is, ada pemaparan dari Wahyu Aditya dari KDRI yang mengedepankan aspek desain visual bagi industri kreatif saat ini. Nah, tunai sudah rasa penasaran saya soal etiket berjualan online. Dengan mengetahui pemaparan para pembicara, saya jadi tahu jenis penjual yang sekadar berjualan dan mana yang berjualan sembari memperhatikan dan menghargai keberadaan audience. Ah sayangnya masih banyak penjual yang tidak mendengar pemaparan para pembicara ini, sehingga lini waktu Facebook dan Instagram saya mungkin masih akan dibombardir dengan gambar produk yang tak hanya asal unggah, tetapi juga minimal secara konten pengantar dan kualitas informasinya.

Terakhir, saya menyimak penjelasan dari Johari Zein selaku Direksi JNE. Beliau mengatakan bahwa JNE siap memfasilitasi kebutuhan orang-orang yang kini sedang gandrung pada cara belanja online. Ia pun mengaku tidak tahu hingga kapan kecenderungan perilaku berbelanja online ini berlangsung. Hmm. Pasar besar rupanya bisnis online ini. Mau tidak mau, saya juga jadi merasa tergoda untuk jadi pelaku bisnisnya. Padahal niat awalnya hanya untuk mendengar opini soal etiket berdagang di dunia maya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline