Menjelang akhir tahun 2020, KPK melakukan OTT kepada dua orang Menteri Kabinet Indonesia Maju. Kasus pertama terkait kebijakan perizinan ekspor benih lobster di Kementerian KKP. Kasus kedua terkait program pemberian dana bantuan sosial kepada masyarakat yang terdampak pandemi covid-19 di Kementerian Sosial.
Terlepas dari permasalahan hukum yang dihadapi pejabat publik tersebut, ada beberapa isu strategis yang perlu menjadi perhatian seluruh instansi pemerintah. Pertama, kasus korupsi dan gratifikasi yang masih terjadi di kementerian/lembaga pemerintah. Kedua, buruknya kualitas barang dan jasa publik seperti sarana dan prasarana publik. Selain itu, organisasi publik juga menghadapi tantangan efisiensi sumber daya yang terbatas serta bagaimana melaksanakan efektivitas program untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Masyarakat tentu berharap agar pelayanan publik di Indonesia dapat menyamai akuntabilitas publik di negara seperti Malaysia atau Singapura yang telah berhasil melakukan transformasi kelembagaan. Di kedua negara tersebut organisasi publik telah berhasil menjadi badan publik yang modern dan berorientasi pada pengguna layanan.
Lemahnya penataan lembaga-lembaga publik di Indonesia merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya kualitas pelayanan publik. Padahal sebenarnya pemerintah Indonesia telah menjalankan program reformasi birokrasi dalam satu dekade terakhir. Namun kelihatannya reformasi birokrasi belum menunjukkan hasil yang memuaskan terutama dalam hal peningkatan kinerja instansi pemerintah.
Rendahnya kualitas pelayanan publik serta masih tingginya perilaku koruptif para pejabat publik menyebabkan stigma sebagai organisasi yang birokratif, kurang responsif dan belum berorientasi pada kepentingan masyarakat sulit dihilangkan. Tulisan ini mencoba menjelaskan secara ringkas mengapa hal itu masih terus terjadi dan bagaimana cara mengatasinya.
Result-based oriented
Selama ini yang menjadi patokan dalam pengukuran kinerja instansi pemerintah ialah apakah kegiatan telah sesuai dengan proses atau aturan administratif yang berlaku. Namun karena banyaknya inkonsistensi aturan administratif dalam suatu kebijakan publik maka pejabat-pejabat korup sering memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.
Selain itu, pengukuran kinerja biasanya dilakukan untuk mengukur apakah organisasi publik telah menghasilkan keluaran (output) yang telah ditetapkan dalam dokumen anggaran. Dalam hal ini, pengukuran kinerja terkait dengan realisasi anggaran pada akhir tahun.
Dengan kata lain, pendekatan pengelolaan kinerja berbasis output ialah apabila anggaran suatu unit kerja yang tidak terserap secara maksimal maka biasanya kinerja organisasi dimaksud menjadi rendah. Oleh karena itu, kedua jenis pengelolaan kinerja dimaksud memiliki kelemahan karena lebih menekankan pada proses dan keluaran (output) namun belum mengukur dampak atau nilai tambah kepada penerima manfaat layanan publik.
Sebagai pembanding, organisasi-organisasi sektor publik di negara-negara maju telah menitikberatkan pengelolaan kinerja yang berbasis hasil atau outcomes. Akuntabilitas kantor pemerintah ditentukan oleh seberapa besar dampak kegiatan organisasi dimaksud dalam menghasilkan manfaat bagi pengguna layanan publik.
Apabila paradigma baru ini dilakukan di seluruh Kementerian/Lembaga Negara maka tentu akan menghasilkan manfaat yang jauh lebih besar daripada hanya mengukur capaian output kegiatan atau program pemerintah.
Dengan menggunakan pendekatan result-based management, setiap manajer publik diharapkan untuk memahami dengan jelas manfaat suatu program serta indikator-indikator keberhasilannya dari pada hanya sekadar mencapai target output untuk menghabiskan dana anggaran.