Sebelumnya harus ditegaskan di muka, bahwa tulisan ini adalah lanjutan dari postingan artikel sebelumnya. Untuk mendapatkan alur yang sinkron, saya sarankan silakan baca dulu postingan sebelumnya.
***
Sebelum melakukan olahraga pagi para peserta kopdar sempat jagongan bersama di lobi asrama. Saya baru ngeh ternayata ada dispenser air mineral, kopi dan teh gratis di lobi. Pagi itu, di lobi sudah ada beberapa orang yang duduk di kursi. Mereka sangat gayeng memintal obrolan. Tampak di antara mereka sudah saling mengenal satu sama lain. Tak jarang suguhan gelak tawa menjadikan pagi kian syahdu. Sedangkan saya dan Pakdhe Sus menuruni anak tangga demi anak tangga sembari sesekali memandang ke arah jagongan pagi yang sedang berlangsung.
Hal yang saya lakukan tatkala sampai di lobi adalah bersalaman dan berkenalan. Maklum ini adalah kali pertama saya mengambil bagian, pun para peserta kopdar kedatangnya silih bergantian. Setelahnya baru kami (saya dan pakdhe Sus) mengambil wedang sesuai minat. Teh manis hangat adalah minum yang saya suka. Suka dalam kadar yang lebih rendah jika dibandingkan teh tawar dan air putih. Saya sedikit trauma menikmati kopi sebelum perut terisi di pagi hari. Sebab, penyakit maag dan perut kembung acapkali meradang jika hal itu dilakukan.
Kami duduk di antara para peserta yang telah terlebih dahulu hadir. Setelah mengobrol, akhirnya saya tahu sosok Cak Inin (sapaan akrab dari pemilik nama Mukiminin, M. Pd.), belakangan saya tahu kalau beliau owner penerbit Kamila Press, penulis, guru sekaligus konsultan Umroh-Haji Plus di PT. Arminareka Perdana. Hadir pula Bu Kanjeng (sapaan akrab dari Dra. Sri Sugiastuti) sang ratu antologi. Ratusan buku antologi sudah terlahir dari tangan kreatifnya. Beliau penulis prolifik yang tulisannya kerap dimuat di website gurusiana dan melintas.id.
Selain Cak Inin dan Bu Kanjeng, hadir juga master Emcho (pemilik nama lengkap Much. Khoiri) sang founding father komunitas Rumah Virus Literasi, Dosen Unesa sekaligus editor dan penulis produktif. Seperti biasa, di setiap pertemuan beliau selalu menampilkan dua wajah: serius dan humoris. Saat sosoknya berperan sebagai master Emcho beliau akan mengaktivasi diri dalam mode penulis prolifik dan kawakan. Berbagai teori dan strategi terkait khazanah literasi akan lanyah beliau dedahkan. Sebaliknya, saat berperan sebagai Dulgemuk, beliau akan menyetel diri sebagai sosok humoris. Tak jarang beragam pengalaman lucu, anekdot dan tingkah yang menggelitik beliau racik sebagai jamuan. Bak dua jiwa yang terjebak dalam satu tubuh.
Pagi itu saya juga bersua dengan beberapa sosok yang benar-benar asing bagi saya. Belakangan setelah beberapa kali bertemu dan ngobrol santai di lokasi acara akhirnya saya tahu bahwa sosok asing itu bernama Bu Mien Sumintarsih, Bu Mimin Rukmini, Bu Hendrik, Bu Wulan dan Dwi Rukmi Endang. Keadaan itu secara tidak sadar mampu sedikit membuka topeng pribadi introvert saya. Pelan-pelan tapi pasti saya mulai berani menyelami satu dari sekian pulau dari kopdar. Pulau itu bernama merajut jejaring di antara penulis.
Harus diakui secara lantang memang, merajut jejaring di antara penulis adalah salah satu manfaat dan tujuan yang dapat dituai dari dihelatnya kopdar. Jujur, sebelumnya saya tidak membayangkan akan mampu beradaptasi dan mencair secara cepat dengan sosok yang baru saya kenal. Bak menemukan keluarga baru, saya benar-benar tidak malu dan canggung menceritakan tentang ketertarikan diri tehadap dunia literasi sekaligus mengulik latar belakang personal. Terlebih, ikatan kekeluargaan baru itu kian hangat manakala Bu Kanjeng menyodorkan camilan khas dari Gunungkidul.
Menikmati teh hangat ditemani camilan di pagi hari merupakan momentum terbaik untuk merekatkan banyak hati kian dekat. Momentum langka yang tampak sederhana namun menyisakan banyak manfaat. Mengukir pengalaman, membangun jejaring pertemanan dan sharing wawasan pengetahuan adalah tiga dari sekian manfaat yang didulang dalam pertemuan para penulis hebat. Mungkin yang demikian itu tidak akan pernah terjadi—dituai dan dirasakan secara langsung--manakala saya memutuskan diri untuk tidak terlibat.
Tentu yang demikian itu adalah nikmat kesempatan luar biasa yang selaiknya saya syukuri. Toh, tidak semua orang dapat merasakan dan terlibat langsung sebagai bagian acara di dalamnya. Mungkin betul, jiwa raganya sehat, rezekinya lancar dan umurnya panjang namun soal waktu dan mengambil kesempatan belum tentu bisa selalu lapang. Bisa jadi ada banyak faktor dan halangan yang siap siaga terjegal.