Lihat ke Halaman Asli

Roni Ramlan

Pembelajar sejati, penulis dan pegiat literasi

Kajian Keluarga: Siapakah Keluarga Allah?

Diperbarui: 17 November 2022   09:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Foto: Partisipan dalam acara kajian keluarga)

Kajian keluarga sesi dua telah dihelat pada Sabtu (12/11/2022) kedua di bulan pahlawan. Kajian ini bertempatkan didua tempat, yakni teras TK dan musala Baitul Qur'an Tulungagung. Tepatnya, area teras TK dihuni oleh wali santri perempuan sedangkan area musala ditempati oleh para wali santri laki-laki.

Seperti biasanya, partisipan dalam acara yang dikhususkan untuk wali santri ini didominasi wali santri perempuan. Sementara wali santri laki-laki yang berpartisipasi dalam acara hanya segelintir orang. Kendati demikian tentu saja fakta itu harus tetap disyukuri, karena masih ada wali santri yang terketuk hatinya untuk mengambil bagian dan haknya yang harus dicari.

Alasan utamanya, bagaimanapun tujuan acara ini bukan soal ketimpangan jumlah gender partisipan melainkan perihal wawasan pengetahuan, menata haluan dan titian langkah bersama untuk menggapai mimpi gemilang di masa depan. Kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Dalam kajian ini, ustadzah Robiah Al Adawiyah, Lc. selaku direktur Tahfidzul Qur'an Baitul Qur'an Tulungagung sekaligus pengasuh pondok pesantren Ar-Raudhah tampil sebagai penyaji materi. Adapun tajuk yang didedahkan pada kajian kali ini ialah Siapakah Keluarga Allah?

Disebutkan oleh beliau, bahwa salah satu keluarga Allah SWT di dunia adalah para penghafal Al-Qur'an. Yang familiar khalayak sebut dengan istilah hafidz, hafidzah atau hufadz. Sebagai pemantik, beliau mengangkat sirah kehidupan dan perjuangan sosok Imam Bukhari dalam menghafal Al-Qur'an dan hadits.

Disebutkan bahwa dalam proses menghafalkan Al-Qur'an dan hadits yang dilakukan oleh Imam Bukhari tidak lepas dari tradisi pendidikan dan lingkungan keluarga yang mendukung sewaktu kecil. Bahkan orang tuanya dengan sengaja menyetting ruang lingkup dalam kehidupan sehari-hari keluarganya yang mendukung untuk menjadikan putranya sebagai hufadz dan muhaditsin.

Dari sirah tersebut, kita mampu mengambil ibrah bahwa untuk mencetak generasi Qur'ani sekaligus para hufadz juga harus didukung oleh tradisi dan kebiasaan hidup yang sehat, halal dan baik. Kebiasaan sehat, halal dan baik itu berlaku untuk segala aspek yang bersangkutan dengan kebutuhan hidup kita. Sandang, pangan dan papan. Untuk lebih mudah, sebutkan saja proses itu dengan sikap wara' dan 'iffah.

Bersikap wara' dan 'iffah di era modernitas dan disrupsi ini memang memiliki tantangan tersendiri. Hiruk-pikuk kehidupan yang dihiasi oleh teknologi digital mutakhir dan globalisasi menjadikan upaya mencetak generasi para hufadz harus benar-benar ekstra dipantau secara intensif. Terlebih-lebih dalam hal food, fun dan fashion yang digandrungi oleh sang anak.

Dari sisi food, di zaman ini sangat banyak makanan yang tampak sehat, dan baik akan tetapi justru membawa madarat. Sebab aspek kehalalannya yang masih patut dipertanyakan. Atas dasar ini pula maka selaiknya orang tua mengontrol dan meninjau setiap makanan yang dikonsumsi oleh sang anak.

Poin penting yang harus diperhatikan juga, jangan sampai orang tua memberikan rezeki (makanan) yang bersumber dari uang yang subhat atau haram. Sumber rezeki ini juga menjadi salah satu faktor yang memengaruhi kemudahan belajar dan menyerap hal-hal baik yang dilakukan sang anak. Termasuk dalam proses menghafalkan Al-Qur'an.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline