Lihat ke Halaman Asli

Roni Ramlan

Pembelajar sejati, penulis dan pegiat literasi

Masa Depan Buku

Diperbarui: 22 September 2022   17:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah kita mengetahui enam kunci dalam proses menulis dan mengulas 3 J sebagai anak tangga yang kedua, menurut Prof. Naim barulah kita sampai pada level kepantasan untuk mewacanakan masa depan buku. Menurut beliau, di era teknologi informasi mutakhir ini dunia perbukuan mengalami proses revolusi zaman, sehingga pada akhirnya buku bermetamorfosis menjadi dua jenis, yakni buku cetak dan digital. 

Buku digital atau yang familiar disebut e-book banyak kita temukan dalam bentuk file PDF. Dan itu menjadi varian yang digandrungi khalayak ramai. Maka tak ayal jika kemudian kontestasi buku digital kian marak dijual dan berkembang pesat. Sebagai bukti konkret, kini banyak tersedia online shop tertentu yang menjual buku versi digital. Baik itu platform yang memang dimiliki oleh pihak penerbit buku, google books, atau memang pihak ketiga yang habis-habisan bermodalkan marketing produk sebagai modus usahanya. 

Fleksibilitas dan coast yang ringan menjadi dua jenis keuntungan yang ditawarkan oleh buku digital. Buku versi digital tentu akan lebih mudah dibawa, dibaca dan disimpan dibandingkan dengan buku versi cetak. Tiga keunggulan itulah yang menjadi alasan kenapa buku digital disebut fleksibilitas. Harga yang miring dan biaya pemeliharaan yang murah meriah berlaku untuk buku versi digital. Berbeda dengan buku versi cetak yang terkadang dijual dengan harga lumayan terbilang cukup tinggi, padahal itu belum termasuk biaya perawatan seperti sampul, rak, lem dan lain sebagainya.

Fleksibilitas yang ditawarkan oleh buku versi digital pada kenyataannya juga berdampak buruk bagi nasib peredaran buku cetak yang kian di ujung tanduk. Hal itu dibuktikan dengan dua dampak yang tampil ke permukaan: gulung tikarnya toko buku dan proses ISBN yang kian ketat. Tiga triwulan ke belakang kita (utamanya pecinta buku) sempat mendapatkan kabar duka, bahwa salah satu toko buku Gramedia di Yogyakarta tutup. 

Tak lama dari itu, kabar duka pun kembali menyelimuti kota marmer, di Tulungagung toko buku Togamas yang lumrahnya menjadi jantung sekaligus rumah bernaung untuk menambah koleksi buku para mahasiswa, guru, dosen dan khalayak ramai lainnya tiba-tiba diumumkan tutup secara permanen. Toko buku yang ada sejak 2010 itu pun akhirnya harus menyerah lebih awal menghadapi gempuran ombak besar akibat pesatnya persaingan revolusi industri perbukuan di era mutakhir. 

Akan tetapi duka itu tidak berhenti sampai di sana, di Tulungagung sendiri gulung tikarnya Togamas bersifat latah, sehingga menyebabkan toko buku Salemba ikut-ikutan gulung tikar. Toko buku yang terletak persis di belakang Masjid agung Al-Munawar itu kini telah tutup usia. Lantas akan ke mana lagi kami (para pecinta buku yang berdomisili di Tulungagung) harus belanja? Beberapa kawan yang berprofesi sebagai reseller buku, toko-toko buku yang ada di luar kota dan online shop pun kini menjadi lapak-lapak pilihan pelampiasan dahaga. 

Bangkrutnya toko buku tersebut tidak sepenuhnya murni disebabkan karena faktor persaingan revolusi industri beralihnya versi perbukuan--dari cetak ke digital--melainkan ditengarai pula oleh tradisi oral masyarakat. Dalam artian masyarakat kita masih cenderung mengagungkan tradisi bercerita dari mulut ke mulut; ghibah ataupun gosip. Dalam konteks menerima fakta, informasi, pengetahuan bahkan keyakinan yang dianut sekalipun sebatas bersandar pada apa kata orang tampak lebih cukup. Keengganan menggali informasi dari sumbernya secara langsung melalui aktivitas membaca dari buku dipersepsikan sebagai hal yang anti mainstream.

Bahkan kelatahan atas tradisi oral itu menyebabkan melekatnya cara pandang dan sikap pragmatis atas hilirisasi informasi yang dibawa oleh media sosial. Sehingga dengan seketika tidak sedikit orang yang meyakini informasi yang dibawa dan dihimpun teknologi informasi itu dipersepsikan sebagai kebenaran mutlak tanpa cela. Di sinilah letak ironinya, massifnya tradisi oral itu disertai dengan matinya rasionalitas, sikap kritis dan analitis yang seharusnya menjadi filter atas segala sesuatu yang masih bersifat abu-abu.

Itu belum termasuk praktek budaya praksis yang tumbuh liar menjangkiti kaum akademisi di tataran dunia akademik. Budaya copy paste (copas) yang senang main dan asal comot sana-sini dari sumber yang tidak otoritatif (tidak jelas); penyelesaian tugas sistem kebut semalam (sks) yang asal jadi; dan tradisi jual beli jasa pengerjaan tugas kuliah (sistem joki yang mengandalkan broker atau brother worker) menjadi sisi gelap dunia akademis yang turut mendiskreditkan daya minat akademisi untuk melahap, membeli dan mengoleksi buku. Tentu ini salah satu bagian dari segunung alasan yang menyebabkan kenapa output perguruan tinggi negeri ini tidak bermutu sekaligus "alergi" literasi.

Sedangkan masalah proses ISBN yang kian ketat, sebagaimana kita ketahui seksama telah mulai diberlakukan semenjak bulan April tahun 2022. Bambang Trim (Direktur Institut Penulis Indonesia, Direktur LSP Penulis dan Editor Profesional) dalam artikelnya yang berjudul Menjernihkan Makna ISBN (22/04) menyebutkan penyebab pihak perpustakaan nasional menerbitkan peraturan baru yang sangat selektif dan rumit itu ditengarai oleh angka ketidakwajaran penggunaan ISBN dalam dua tahun terakhir. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline