Kehidupan manusia di dunia adalah laboratorium yang banyak melahirkan karya, karsa dan daya cipta. Tempat masing-masing manusia bereksperimen; mengobservasi, menganalisis dan mengeksplorasi berbagai jenis dimensi makro kosmos-mikro kosmos atas nama dahaga kehendak dan keingintahuan.
Dahaga kehendak dan keingintahuan pada dasarnya secara alami tertanam jauh dalam diri setiap manusia sejalan dengan dianugerahi akal, hati dan jiwa. Penganugerahan kedua yang tegak setelah ditakdirkan lahir sebagai salah satu makhluk penghuni semesta alam raya. Dua penganugerahan yang tidak terbataskan perbedaan ciri fisik yang kerapkali dipermasalahkan manusia.
Padahal carut-marut realitas keragaman yang kerapkali kita pandang sebagai muara permasalahan dan penghakiman itulah yang kemudian banyak menyingkap hikmah, pembelajaran dan titik terang yang mengharuskan masing-masing manusia banyak mengevaluasi diri. Bukan sebaliknya, menjadi biang keladi yang melahirkan stigmatif, stereotip dan menggiring alienasi yang argumentatif.
Harus ditegaskan kembali, bahwa dari realitas keanekaragaman hayati, interkoneksi dan interaksi sosial -yang dalam konteks Islam dikenal dengan epistema hablum minannas dan hablum minal 'alam- yang mengejawantahkan hikmah itu sejatinya manusia sedang belajar "menempa" dan "menyapa". Menempa diri sendiri sebagai personalitas yang bebal dan papa. Menempa segala bentuk arogansi, egosentris dan hawa nafsu yang banyak meringkus dirinya hingga menjadi tipis dan mudah ditekan keberadaannya. Menempa sisi kepekaan potensial yang terbenam dalam dirinya sebagai hayawanun natiq dan hamba.
Sedang dalam hal menyapa, manusia selalu dalam posisi rapuh dan latah: amat sangat kekurangan, membutuhkan (fakir) dan harus siap menerima. Jika dianalogikan, manusia itu tak lebih seperti gelas kosong yang terus menganga. Apapun bisa merasuki dirinya. Sehingga tidak salah jika dalam satu hadist dikatakan kewajiban belajar manusia dimulai dari lahir hingga ke liang lahat. Dan itu secara tidak langsung menegaskan posisi manusia sebagai pembelajar. Lantas tidak salah jika kemudian manusia digadang-gadang sebagai tempat salah dan dosa.
Posisi manusia sebagai pembelajar yang demikian itu yang memungkinkan manusia memiliki peran ganda sebagai objek dan subjek yang sifatnya fleksibilitas. Di satu waktu bisa saja ia mengobati dahaga kehendak dan keingintahuannya dengan banyak "menempa" dan "menyapa" jauh ke dalam dirinya. Seakan-akan manusia selalu diberi kesempatan besar untuk meninjau dan mempertanyakan ulang hakikat keberadaan dirinya di dunia. Dan yang jelas tampak, manusia lahir ke dunia bukan di ruang hampa. Manusia mulai menyangsikan kehadirannya sembari berkali-kali melipatgandakan tanya. Berjibaku menyingkap misteri hidup yang belum saja sampai pada tujuan akhirnya. Keadaan tersebut menunjukkan manusia sebagai objek menarik yang tak ada habisnya.
Sementara di lain waktu, manusia sebagai subjek terlalu sering dibuat takjub dengan fenomena-fenomena alam semesta yang terkadang membuat dirinya terbelalak, tertegun dan tak berlogika. Hingga akhirnya manusia dengan segenap daya upaya mulai memahami pola yang berlaku dalam tatanan dunia. Tidak hanya dunia, manusia juga memahami korelasi yang intim di antara keduanya: alam semesta dan manusia. Bahwa keduanya berasal dari unsur dan sumber yang sama adalah fakta. Alam semesta dan manusia sama-sama memiliki potensial inti yang sama dari sang Maha Kaya.
Kendati sama-sama memiliki potensial inti, akan tetapi potensi yang terdapat dalam diri manusia lebih cenderung memiliki gaya menarik dan lebih sensitif. Alhasil sifat mendasar pertautan dua potensial itu berusaha merekognisi, menstimulasi dan mempertajam potensi diri manusia. Proses itu berlangsung di atas naungan payung besar yang bernama refleksi dan berbagai macam bentuk renungan. Sementara aktivitas refleksi dan berbagai macam bentuk renungan itu hanya akan tercapai tatkala manusia melakukannya dengan penuh penghayatan dan kesadaran.
Atas dasar itu pula lantas tidak heran jika kerapkali kita melihat khalayak ramai selalu berbondong-bondong berkompetisi dalam memenuhi hasrat keinginantahuan. Bahkan hasrat keinginantahuan itu dikelola secara massif, komprehensif dan struktural dalam tumbuh kembang institusi pendidikan. Baik formal, semi formal ataupun non formal. Dan itu pun harus ditebus dengan harga yang mahal. Semua itu dilakukan demi mencapai hakikat dan menemukan esensi atas hidup.
Dalam konteks menghayati diri saya pribadi sebagai manusia pembelajar, melalui buku yang berjudul Kaca Benggala Manifestasi Diri dan Upaya Menemukan Esensi, saya berusaha memotret sekaligus mengabadikan sebagian kecil proses mencari dan menemukan esensi atas hidup. Tentu saja, sepenggal proses itu banyak merujuk pada pengalaman hidup saya yang sifatnya subjektif. Meski demikian, saya berharap, tulisan sederhana ini akan memiliki manfaat bagi pembaca yang budiman.