Lihat ke Halaman Asli

Roni Ramlan

Pembelajar sejati, penulis dan pegiat literasi

Sang Pemantik Kesadaran Berliterasi

Diperbarui: 22 Maret 2022   12:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto dokumentasi pribadi

Gelar Tidak Membohongi Proses

Sungguh bahagia tak terkira tatkala saya mendapat kabar Dr. Ngainun Naim, M. HI dianugerahi gelar tertinggi akademik: Profesor. Setidaknya melalui SK penyematan gelar baru tersebut khalayak ramai-termasuk Naimisme: para murid sekaligus anak ideologisnya-secara leluasa dapat memanggil beliau: Prof. Naim (sapaan akrab) dengan absah dan fasih. Tanpa embel-embel yang lain. 

Tanpa embel-embel yang lain? Maksudnya seperti apa? Maksudnya itu memanggil tanpa adanya motif udang di balik batu. Memuji atau menyanjung beliau bukan dikarenakan ada maksud dan tujuan tertentu, melainkan karena takdim dan penghormatan terhadap guru. Seperti halnya yang telah kita ketahui bersama, mengambil hati seseorang yang dituju adalah salah satu cara untuk melancarkan kepentingan yang kita mau. Semacam grafitikasi berbangsa mental dan menyentuh gejolak jiwa, yang umumnya digunakan sebagai pemanis buatan yang diracik para pencari muka. 

Saya kira sudah menjadi rahasia umum, jika jauh-jauh hari sebelum diturunkan SK guru besar itu sebagian besar orang yang mengenal Dr. Ngainun Naim selalu memanggil beliau dengan sebutan Prof. Naim. Entah seberapa besar tingkat antusias khalayak ramai menyebut-nyebut nama Prof. Naim dalam kurun waktu sehari, sehingga ucapan itu pada akhirnya dengan begitu cepat terkabul. Dalam konteks inilah saya percaya bahwa ucapan yang dilafalkan secara intens adalah doa. Terlebih-lebih ucapan tersebut diamini oleh kuantitas orang yang tak terhingga. Tentu hal itu adalah senjata pamungkas yang manjur. 

Bagaimana bisa? Dan seperti apa pula logika kerja panggilan-sebagai rapalan doa-yang diucapkan dengan intensitas yang tinggi dapat mewujud sebagai kenyataan? Untuk mengetahui proses panjangnya mari kita kuak secara saksama. 

Perkataan yang sama jika diucapkan seringkali kepada seseorang sangat dimungkinkan dapat mengetuk dua pintu: dimensi ilahi dan dimensi potensi yang terbenam dalam diri manusia. Pintu vertikal dan horizontal. Mengetuk dimensi ilahi maksudnya ucapan yang lanyah itu mewujud sebagai doa. Doa yang dipanjatkan dengan istikamah dan sungguh-sungguh untuk kebaikan tertentu sangat dimungkinkan terwujud dengan Kun fayakun-Nya. Terkabulnya doa turut mengubah status, derajat dan level manusia sebagai hamba di hadapan sang Pencipta dan sesama makhluk-Nya.

Sementara ucapan lanyah yang kerapkali dipersembahkan kepada sesama manusia (dapat mengetuk pintu horizontal) pada dasarnya dapat merangsang (memotivasi, mendikte dan menstimulus) cara berpikir, mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan apa yang dipersepsikan sebagian yang lain terhadap seseorang tersebut. Atau malah doa itu justru menguatkan sesuatu hal yang diekspektasikan oleh orang tersebut. 

Mula-mula, apa yang diucapkan oleh orang lain tersebut bertumpu pada fakta potensial yang tampak timbul dari dalam diri seseorang tersebut. Sehingga yang diucapkan bukan bualan belaka. Bukan pula satire yang ditujukan untuk menjatuhkan seseorang yang dianggap sebagai lawan bebuyutan kita. Melainkan yang tampak timbul itu adalah fakta potensial yang menampakkan diri dalam wujud hobi, kesenangan dan sesuatu yang digeluti. Lantas orang lain menilai dan berasumsi bahwa penampakan potensi dalam diri seseorang itu dipandang mampu dikembangkan dan diasah lebih lanjut untuk menjadi lebih baik. 

Penilaian dan asumsi yang berulangkali dilontarkan khalayak ramai tersebut kemudian lambat-laun merasuk ke dalam alam bawah sadar seseorang yang dimaksud. Di alam bawah sadar itu pula penilaian dan asumsi bertransformasi menjadi rentetan target mimpi yang harus tercapai. Adapun bentuk tegas dari target mimpi yang harus tercapai tersebut didefinisikan sebagai cita-cita, kehendak personal, keinginan ataupun obsesi yang tercantum dalam kamus hidup seseorang.

Sedang adanya rentetan target yang terbenam dalam diri adalah salah satu faktor dan alasan seseorang mengapa ia harus bergerak cepat. Pendek kata, sebagian besar manusia bergerak karena adanya motif kebutuhan yang harus dipenuhi, dicapai dan diraih. Manusia hidup di bawah bayangan cita-cita, mimpi, obsesi dan segenap kepentingan yang membuncah di hati dan isian kepala. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline