Lihat ke Halaman Asli

Roni Ramlan

Pembelajar bahasa kehidupan

Menguak Kelahiran SPL

Diperbarui: 26 September 2021   09:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Logo organisasi Lentera (Dokumentasi Pribadi)

"Melupakan identitas diri sebagai seorang pembelajar yang harus terus berproses dan berkembang, adalah kelaliman diri yang kerapkali kita lakukan. Sementara memelihara rasa bodo amat adalah hobi baru kita di tengah gempuran zaman yang penuh keberapi-apian," Dewar Alhafiz.

**

Bulan keempat di 2019, tepatnya tanggal 19 April, saya berinisiatif membentuk salah satu grup WhatsApp yang berbasis literasi. Grup WhatsApp itu bernama Sahabat Pena Lentera. Grup WhatsApp yang kemudian familiar di telinga para penghuninya dengan akronim SPL. 

Begitu juga dalam tulisan ini, untuk mempermudah dan tidak terlalu belepotan dalam penyebutan nama grupnya maka saya akan menggunakan akronim SPL pada ulasan selanjutnya.

Secara nasabiah, kelahiran grup WhatsApp SPL ini tidak bersifat ujug-ujug terbentuk dengan sendirinya, melainkan ada latarbelakang dan ceruk alasan yang masih terngiang dalam benak saya. Keberadaan latarbelakang dan ceruk alasan itu setidaknya menjadi batu pijakan untuk menjelaskan seberapa jauh dan besar saya menaruh ekspektasi atas terbentuknya SPL.

Awal mula terbentuknya SPL dilatarbelakangi kuat oleh adanya kesadaran dan motif personal tatkala saya berkecimpung dalam organisasi yang bernama Lentera. Lentera adalah akronim dari kepanjangan Lintas Edukasi dan Kajian Seputar Rumah Tangga. Satu organisasi pra-nikah (21/11/2018) yang fokus menggembleng jiwa tandus--wawasan pengetahuan, cara pandang dan tujuan utama-- para jomblo untuk menyongsong kehidupan berumahtangga. 

Dalam sepak terjangnya, organisasi pra-nikah ini berkolaborasi dengan Puspaga (pusat perlindungan anak dan keluarga) dinas sosial kabupaten Tulungagung. Meski demikian, Lentera mendaulatkan diri sebagai organisasi yang independen, bukan lembaga swadaya masyarakat mau pun politik. 

Melalui kolaborasi itu, secara garis besar Lentera telah melakukan tiga agenda utama: menghelat program ESQ (Emotional and Spiritual Quotient) di beberapa sekolah dan kampus IAIN Tulungagung (sekarang: UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung/UIN SATU), melakukan kajian bulanan dan bedah buku. 

Dari ketiga agenda utama tersebut jika fokus pembahasan itu diakumulasikan ke dalam bentuk presentasi, maka 60 persen menyodorkan tentang kajian pra-nikah dan rumah tangga sementara sisanya berusaha menggali potensi diri. Menggali potensi diri dalam hal apa? Misalnya tentang public speaking, manajemen diri dan minat menggeluti literasi. Kebetulan, tatkala itu saya diamanahi sebagai koordinator bidang kajian. 

Melalui amanah itulah saya berusaha menawarkan berbagai macam program. Misalnya, diskusi tipis-tipis tentang hakikat cinta dan bahagia, hakikat berkeluarga hingga memahami hakikat diri sendiri sebelum memantaskan diri sebagai pendamping hidup untuk orang yang kita cinta. Sebagai realisasinya, kami (baca: saya dan teman-teman pengurus) sempat mengangkat judul diskusi Cinta dalam Pandangan Filsafat dan Tasawuf

Dalam kajian itu, saya menyuguhkan perihal cinta menurut Erick From, sementara mas Novel Nurkholis--yang sekarang mengabdikan diri sebagai ASN di salah satu sekolah Banyuwangi--menampilkan cinta dalam pandangan Khalil Gibran dan Maulana Jalaluddin Rumi. Pernah pula, di sesi pertemuan lain saya mengangkat tema diskusi tentang cinta versi tasawuf Emha Ainun Najib.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline